UU HPP Sudah Disahkan, Bagaimana Dampaknya ke Ekonomi?

8 Oktober 2021 12:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sudah disahkan di Rapat Paripurna pada Kamis (8/10). UU tersebut mengatur berbagai hal mulai dari tarif PPN, NIK menjadi NPWP, pajak karbon, hingga pemberian tax amnesty jilid II.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana dampak disahkannya UU HPP ke perekonomian Indonesia?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyambut baik adanya peraturan tersebut. Menurut dia ada berbagai hal seperti integrasi data kependudukan ke database pajak yang diperlukan.
"UU HPP secara objektif ada yang diperlukan seperti integrasi data kependudukan dengan database pajak, kemudian pajak karbon, menutup celah penghindaran pajak lintas negara, pajak minimum sampai kepastian hukum soal sanksi pajak," kata Bhima saat dihubungi, Jumat (8/10).
Namun, Bhima menegaskan ada catatan lain yang membuat reformasi pajak tidak optimal dan cenderung kontra terhadap pemulihan ekonomi. Ia menyebut soal PPN yang tarifnya akan naik ke 11 persen sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi khususnya dampak ke daya beli kelas menengah.
ADVERTISEMENT
"Jika barang harganya naik maka terjadi inflasi, sementara belum tentu daya beli kelas menengah dan bawah akan langsung pulih di 2022. Akibatnya masyarakat punya dua opsi, mengurangi belanja, banyak berhemat, atau mencari alternatif barang yang lebih murah," ujar Bhima.
"Situasinya sangat sulit bagi kelas menengah dan bawah karena PPN tidak memandang kelas masyarakat, mau kaya dan miskin beli barang ya kena PPN," tambahnya.
Bhima mengatakan efek penyesuaian tarif PPN juga berdampak ke dunia usaha. Menurutnya para pengusaha sudah mulai ancang-ancang ingin ekspansi jadi berpikir ulang soal kondisi permintaan barang di 2022.
Bhima merasa para pengusaha jadi bertanya apakah harga barang perlu diturunkan menimbang kenaikan PPN atau apakah stok barang yang ada di gudang sekarang bisa laku terjual dengan harga yang lebih mahal di level konsumen akhir. Ia menganggap situasinya bisa mencekik pelaku usaha dari produsen sampai distributor.
ADVERTISEMENT
"Kenaikan tarif PPN memberikan ketidakpastian yang tinggi. Sementara inflasi diperkirakan bisa 4,5 persen pada 2022 dengan adanya kenaikan tarif pajak. Demand pull inflation ditambah tax rate akan menjadi tantangan besar bagi pemulihan konsumsi rumah tangga," katanya.
Bhima menjelaskan di banyak negara selama pandemi dan pemulihan ekonomi, justru tarif PPN diturunkan sebagai stimulus terhadap konsumsi rumah tangga domestik. Untuk kejar rasio pajak masih banyak cara lain yang lebih adil dan pro terhadap pemulihan ekonomi.
Menurut Bhima, permasalahan berikutnya adalah tax amnesty dengan tarif yang rendah bisa menurunkan kepercayaan Wajib Pajak.
"Kalau dendanya kecil, ya akhirnya jadi insentif untuk ikut tax amnesty lagi. Jadi tax amnesty adalah insentif untuk tidak taat pajak," terang Bhima.
ADVERTISEMENT
Bhima menyesalkan tax amnesty jilid II tetap masuk dalam UU HPP. Menurut dia pengampunan pajak itu merupakan sebuah langkah mundur dalam peningkatan kepatuhan pajak.
Bhima menilai bukannya kepatuhan pajak yang didorong, justru memberikan ruang bagi Wajib Pajak yang sudah diberi kesempatan tax amnesty 2016 lalu, untuk ikut tax amnesty lagi.
"Yang terjadi justru ada penurunan kepercayaan terhadap pemerintah karena tax amnesty ternyata berulang lagi, tidak sesuai dengan komitmen tax amnesty di 2016 lalu bahwa setelahnya adalah rezim penegakan hukum perpajakan," terang Bhima.
Sri Mulyani dan Komisi XI DPR sepakat RUU KUP akan disahkan jadi UU Harmonisasi Perarturan Perpajakan. Foto: Instagram/@prastowoyustinus
"Banyak yang berasumsi kalau ada tax amnesty jilid II, kenapa tidak mungkin ada tax amnesty jilid III? Akibatnya tax amnesty akan dijadikan peluang bagi pengemplang pajak," tambahnya.
Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menjelaskan fungsi pajak yang pertama adalah budgeter atau anggaran dan juga fungsi regulerend atau mengatur. Ia mengatakan beberapa poin yang tercantum dalam UU HPP terbagi ke dalam 2 fungsi tersebut.
ADVERTISEMENT
"Seperti misalnya kenaikan PPN saya kira pemerintah sedang menjalankan fungsi pajak yang pertama, karena diharapkan dengan meningkatnya tarif PPN yang lebih tinggi pemerintah bisa mendapatkan pertumbuhan penerimaan pos pajak khususnya pada pos PPN untuk membiayai belanja negara," terang Yusuf.
"Di samping itu kita tahu bahwa target defisit anggaran juga di set lebih rendah di tahun depan, sehingga tentu memerlukan penerimaan negara yang lebih tinggi," tambahnya.
Meski begitu, Yusuf merasa dampak UU HPP ke perekonomian secara luas masih bergantung pada kondisi pandemi COVID-19 tahun depan. Kalau COVID-19 bisa dikondisikan tentu perekonomian akan berjalan baik yang berpengaruh ke penerimaan pajak.
"Jika asumsinya perekonomian sudah berjalan seperti sebelum terjadinya pandemi tentu peluang tercapainya tujuan semakin besar. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, tentu akan sangat dipengaruhi bagaimana kinerja lapangan usaha utama dalam perekonomian seperti industri, perdagangan, dan pertanian," tutur Yusuf.
ADVERTISEMENT