Virus Corona dan Kejatuhan Bursa Saham AS

18 Maret 2020 12:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja melihat pergerakan saham dari layar monitor di Wall Street di New York City. Foto: Eisele / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melihat pergerakan saham dari layar monitor di Wall Street di New York City. Foto: Eisele / AFP
ADVERTISEMENT
Ketakutan pada virus corona menyebabkan penurunan paling tajam dalam sejarah bursa saham Amerika Serikat (AS).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, virus corona juga membuat negara-negara menutup perbatasan mereka. Kondisi ini mengganggu kehidupan sehari-hari di seluruh dunia, karena pemerintah berbagai negara mulai mengambil langkah-langkah ekstrem untuk mengurangi keparahan wabah global.
Dikutip dari Reuters, Rabu (18/3), pasar keuangan AS mengalami hari terburuknya dalam 30 tahun terakhir. Meskipun ada tindakan darurat yang diambil oleh bank sentral demi mencegah resesi, namun pasar saham AS tetap saja tak berdaya. Bursa saham AS anjlok 12 hingga 13 persen, triliunan dolar menguap begitu saja.
Padahal sebulan yang lalu, pasar keuangan baru saja mencetak rekor tertinggi. Hal ini sempat menimbulkan asumsi bahwa wabah yang berasal dari China tersebut tidak akan menyebabkan gangguan seperti yang terjadi saat Ebola, SARS dan MERS menyerang.
ADVERTISEMENT
Sayangnya yang terjadi justru berbanding terbalik. Sekarang ada lebih banyak kasus dan kematian yang dilaporkan di luar China. Angkanya mencapai 180.000 kasus di seluruh dunia dan lebih dari 7.000 kematian.
Kanada, Chili dan negara-negara lain mulai menutup akses mereka untuk wisatawan. Peru bahkan mengerahkan personel militer bertopeng untuk memblokir jalan-jalan utama. Sementara Irlandia melancarkan kampanye untuk merekrut lebih banyak petugas kesehatan. Di sisi lain, maskapai memangkas penerbangan, mengurangi pekerjaan dan mengajukan pinjaman miliaran dolar kepada pemerintah bahkan meminta hibah.
Ilustrasi pergerakan saham. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Berbeda dengan sebagian besar negara, Meksiko dan Brasil masih mengadakan demonstrasi politik besar sedangkan Inggris tetap membuka sekolahnya.
Negara-negara bagian AS memohon kepada pemerintah Trump untuk mengkoordinasikan respons nasional terhadap wabah tersebut. Mereka menuding bahwa langkah-langkah tambal sulam yang diberlakukan oleh pemerintah negara bagian dan lokal tidak cukup untuk menghadapi keadaan darurat. Apalagi di AS, virus ini telah menewaskan sedikitnya 74 warga Amerika.
ADVERTISEMENT
Beberapa jam kemudian, Presiden Donald Trump memutuskan bahwa Amerika bakal menghentikan sebagian besar kegiatan selama 15 hari. Trump juga melarang adanya pertemuan orang dalan jumlah besar. Ini menjadi upaya agresif baru untuk mengurangi penyebaran virus corona.
Karena Tweet Trump Setitik, Rusak Saham Sebelanga Foto: Shannon Stapleton
Dalam pidatonya, Trump menjuluki virus yang sangat menular itu sebagai ‘musuh tak terlihat.’ Trump mengatakan kemungkinan terburuk, wabah itu baru akan berakhir pada Juli, Agustus atau bahkan lebih lama. Yang lebih mengejutkan, Trump mengingatkan bahwa resesi mungkin terjadi.
Meski demikian, hingga hari ini Amerika Serikat belum menutup perbatasannya atau mewajibkan jam malam atau memerintahkan penutupan bisnis dalam skala nasional.
Banyak negara bagian dan kota telah mengambil langkah-langkah ekstrem itu. Penduduk area San Francisco misalnya, didesak untuk tidak berpergian selama tiga pekan mulai Selasa lalu.
ADVERTISEMENT
Seorang penasihat Gedung Putih mengatakan, Amerika Serikat dapat memompa USD 800 miliar atau lebih ke dalam ekonomi untuk meminimalkan kerusakan ekonomi.
Di sisi lain, para menteri keuangan Uni Eropa sedang merencanakan respons yang terkoordinasi untuk menghadapi virus itu. Sama seperti Trump, Eropa menganggap virus tersebut dapat menjebloskan Uni Eropa ke dalam resesi.
Kantor WHO di Jenewa, Swiss. Foto: Shutter Stock
WHO Minta Semua Negara Melakukan Tes
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta semua negara untuk meningkatkan tes. Menurut WHO, tes merupakan cara terbaik untuk memperlambat pandemi.
“Kami memiliki pesan sederhana untuk semua negara - tes, tes, tes," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesu pada konferensi pers di Jenewa. “Semua negara harus dapat menguji semua kasus yang dicurigai. Mereka tidak bisa melawan pandemi ini dengan mata tertutup,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Di Italia, pada Senin lalu, 349 orang dikonfirmasi meninggal dunia. Artinya, kini total telah ada 2.158 orang meninggal di negara tersebut, dengan hampir 28.000 kasus. Sebelumnya, 368 kematian dilaporkan pada hari Minggu. Jumlah korban harian ini lebih mengerikan daripada yang dilaporkan oleh China saat puncak wabah terjadi.
“Banyak anak berpikir itu menakutkan," Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg mengatakan pada konferensi pers yang didedikasikan untuk menjawab pertanyaan anak-anak tentang pandemi.
“Tidak apa-apa untuk takut ketika banyak hal terjadi pada saat yang sama," kata Solberg.
Beberapa negara melarang pertemuan massal seperti acara olahraga, budaya dan agama untuk memerangi penyakit pernapasan yang menyebar cepat.
Spanyol dan Prancis, di mana kasus dan kematian telah mulai melonjak, memberlakukan lockdown selama akhir pekan. Pusat bisnis dan perjalanan Dubai, Timur Tengah, akan menutup semua bar dan lounge hingga akhir Maret. Thailand berencana untuk menutup sekolah, bar, bioskop dan arena sabung ayam yang populer.
ADVERTISEMENT
Pakar kesehatan masyarakat di berbagai negara berharap tindakan itu akan membantu menekan jumlah kasus baru. Sebab jika pasien membeludak, rumah sakit dan tenaga medis akan kewalahan menangani, seperti yang terjadi di Italia.
Komite Olimpiade Internasional akan mengadakan pembicaraan dengan para kepala organisasi olahraga internasional. Mereka ragu Olimpiade Tokyo 2020 yang direncanakan digelar pada 24 Juli bisa dilangsungkan sesuai rencana.