Wamenkeu Jelaskan Data Mahfud MD soal Transaksi Gelap PNS Kemenkeu Rp 35 T

31 Maret 2023 11:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
29
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menkopolhukam Mahfud MD dan Wamenkeu Suahasil Nazara konferensi pers soal dana mencurigan Rp 300 triliun di Kemenpolhukam, Jumat (10/3/2023). Foto: Haya Syahira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menkopolhukam Mahfud MD dan Wamenkeu Suahasil Nazara konferensi pers soal dana mencurigan Rp 300 triliun di Kemenpolhukam, Jumat (10/3/2023). Foto: Haya Syahira/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menjelaskan data yang digunakan Menkopolhukam Mahfud MD soal transaksi mencurigakan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp 35 triliun.
ADVERTISEMENT
Suahasil mengatakan, ada dua klasifikasi surat PPATK terkait transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu. Pertama, surat dikirimkan ke Kemenkeu sejumlah 135 surat, yang melibatkan 363 ASN/PNS Kemenkeu dengan nilai Rp 22,04 triliun. Kedua, surat dikirimkan ke aparat penegak hukum (APH) sebanyak 64 surat, yang melibatkan 103 PNS Kemenkeu, dengan nilai Rp 13,07 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (27/11), disampaikan bahwa hanya Rp 3,3 triliun transaksi PNS Kemenkeu tersebut. Bahkan menurutnya, transaksi Rp 3,3 triliun ini hanya meliputi debit dan kredit karyawan, penghasilan resmi, transaksi keluarga, jual beli aset, hingga jual beli rumah sejak 2009-2023.
"Nomor satu Rp 35 triliun, di Kemenkeu bilang Rp 22 triliun. Kenapa ada perbedaan? Karena kita melihat tabel pie chart tadi Kemenkeu tidak menerima surat yang dikirimkan kepada APH. Oleh karena itu, surat yang dikirim ke APH kita kelompokan ke oranye. Kalau nomor satu sekarang kita pecah mana yang benar-benar dikirim ke Kemenkeu dan APH, jadinya tabel kanan, dipecah dua. Surat dikirim ke Kemenkeu dapatnya Rp 22 triliun, surat dikirim ke APH dapatnya Rp 13 triliun, kalau dijumlah Rp 35 triliun," ujar Suahasil saat media briefing di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (31/3).
Penjelasan Kemenkeu mengenai transaksi mencurigakan. Foto: tangakapan layar Zoom.
Suahasil melanjutkan, sebanyak Rp 53,8 triliun merupakan transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan PNS Kemenkeu dengan pihak lain. Dari jumlah ini, surat PPATK hanya dikirim ke aparat penegak hukum, yakni sebanyak 2 surat yang isinya melibatkan 23 pegawai Kemenkeu dan pihak lain, senilai Rp 47,0 triliun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sebanyak Rp 260,5 triliun transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan. Dari jumlah ini, sebanyak 65 surat PPATK dikirimkan ke Kemenkeu yang melibatkan perusahaan senilai Rp 253,5 triliun, sementara 34 surat dikirimkan ke aparat penegak hukum yang melibatkan perusahaan senilai Rp 14,1 triliun.
Sehingga jika diakumulasikan, jumlah transaksi mencurigakan di PNS Kemenkeu maupun dengan pihak/perusahaan lain sebesar Rp 349,8 triliun. Suahasil menegaskan, perbedaan data selama ini karena memang Kemenkeu tidak menerima surat PPATK yang dikirimkan ke aparat penegak hukum.
"Datanya itu klasifikasinya aja yang beda. Begitu klasifikasi disetel, sama. Jumlah surat PPATK 300 surat, sama. Total nominalnya Rp 349,8 triliun, sama, informasi yang sama, tapi cara menunjukkannnya kita pakai pie chart yang tadi," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut ada kekeliruan pemahaman yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani perihal angka terkait transaksi mencurigakan.
Mahfud tidak menjelaskan lebih lanjut sebelah mana kekeliruan yang disampaikan oleh Sri Mulyani. Polemik yang saat ini terjadi ialah terkait angka Rp 349 triliun.
Mahfud kemudian memberikan penjelasannya. Ia membuka data yang membagi 3 klaster soal dana Rp 349 triliun itu. Berikut datanya:
Total: Rp 349.874.187.504.061
ADVERTISEMENT
Menurut Mahfud, perbedaan yang terjadi ialah terkait dengan data klaster nomor 1 yakni Rp 35 triliun. Sementara yang disebut Sri Mulyani ialah Rp 3,3 triliun.
"Kemarin Bu Srimul di Komisi XI menyebut hanya Rp 3 triliun, yang benar Rp 35 triliun," kata Mahfud dalam rapat bersama Komisi III, Rabu (29/3).