YLKI Beri Delapan Catatan ke Pemerintah Soal Kenaikan Tarif Ojol

10 Maret 2020 19:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tarif ojek online mengalami kenaikan mulai hari ini, Senin (2/9/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tarif ojek online mengalami kenaikan mulai hari ini, Senin (2/9/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Perhubungan telah menetapkan tarif ojol atau ojek online naik mulai 16 Maret 2020 untuk wilayah Jabodetabek. Kenaikan ini mencakup tarif batas bawah (TBB) dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.250 per km atau naik Rp 250 per km dan Tarif Batas Atas (TBA) dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650 per km atau naik Rp 150 per km.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk biaya jasa minimal per 4 km pertama yang sebelumnya Rp 8.000 hingga Rp 10.000 juga ikut naik. Budi menjelaskan, biaya jasa minimal per 4 km naik menjadi Rp 9.000 dan Rp 10.500.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi memberikan delapan catatan kepada Kementerian Perhubungan atas kenaikan tarif ini.
Pertama, YLKI meminta pemerintah tidak mengambil kebijakan publik berdasarkan tekanan massa.
"Dari sisi kebijakan jangan sampai dilakukan hanya karena aksi demonstrasi, sebagai kebijakan publik itu tidak sehat kalau dilakukan karena adanya tekanan dari massa dan driver," kata Tulus di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa (10/3).
Dia juga meminta agar pengemudi ojol tidak mengerahkan massa untuk menekan pemerintah sebab akan jadi preseden buruk. Dia ingin kenaikan tarif ojol bukan dari tekanan massa, tapi berdasarkan kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Kedua, menurut dia, tingkat keselamatan sepeda motor paling rendah dibandingkan kendaraan yang lain, apalagi jika diartikan sebagai 'angkutan umum'. Kata dia, sekalipun di industri otomotif tidak membuat untuk angkutan umum, munculnya ojol sebagai kecelakaan sejarah karena terlambat merespons angkutan umum yang memadai dan manusiawi.
Ketiga, dalam hal moda transportasi khususnya ojol skala utama adalah aspek keselamatan bagi pengemudi. Kalau rendah, harus ada kehati-hatian tinggi sehingga tidak terjadi kecelakaan.
"Berdasarkan data kecelakaan, Korlantas Polri mencatat 70 persen kecelakaan melibatkan sepeda motor dengan korban meninggal dunia hingga 30.000 orang per tahun, jumlah yang luar biasa besar jika dibandingkan dengan korban virus corona di seluruh dunia yang berkisar 8.000 jiwa," kata Tulus.
Keempat, pelayanannya juga harus diperhatikan. Kata Tulus, saat ojol muncul pertama kali, pengemudi selalu dibekali masker dan penutup kepala. Saat ini sudah tidak lagi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dia minta kebijakan awal driver dibekali masker dan penutup kepala. Apalagi saat ini tengah ramai penyebaran virus corona.
Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Kelima, pengaturan hubungan mitra dan aplikator dengan ketidaksesuaian supply dan demand. Kata dia, kurang adil kalau konsumen dibebani keluhan tersebut.
Keenam, nantinya ojol harus diposisikan sebagai transportasi pengumpan. Kata dia, kalau angkutan massal sudah siap, MRT, LRT, BRT dan segala macam sudah tersedia, ojol hanya pengumpan ke tranportasi massal.
Ketujuh, dari sisi keselamatan dan pelayan ojol perlu didorong salah satunya kualitas kendaraan dan pengemudi, termasuk dalam memberdayakan pengemudi difabel.
Kedelapan, dari sisi asuransi, penumpang harus dijamin dengan asuransi yang ada. Menurutnya, konsumen di setiap transaksi konsumen dengan angkutan umum harus dilindungi Jasa Raharja apalagi ojek online.
ADVERTISEMENT
"Jadi, kenaikan ojol ini bukan hanya perkara setuju atau tidak setuju tapi kompromi untuk driver dan konsumen. Dalam pembahasan, memang dari besaran yang dilakukan hingga akhir keputusan masih dalam koridor keterjangkauan konsumen," jelasnya.