
Adapun keputusan tersebut salah satunya didasarkan atas fenomena bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi terbesar kedua rumah tangga miskin. Tulus menilai, dengan mengetahui fakta itu semestinya regulasi yang ditetapkan pemerintah lebih ketat untuk perlindungan konsumen dan pengendalian tembakau.
"Bu Sri Mulyani mengatakan, rumah tangga miskin lebih banyak uangnya untuk membeli rokok. Kalau tahu lebih banyak harusnya ada aksi dong, jangan sudah tau banyak tapi enggak ada aksi untuk melindungi mereka," kata Tulus pada konferensi pers yang digelar TCSC IAKMI, Senin (7/11).

Kementerian Keuangan mencatat, konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan, dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan. Ini adalah kedua tertinggi setelah beras.
Tulus menilai, kenaikan 10 persen cukai rokok menunjukkan bahwa pemerintah masih terlalu memperhatikan kepentingan industri rokok, dibanding perlindungan kepada masyarakat dan aspek pengendalian tembakau. Untuk itu, menurutnya cukai rokok naiknya harus lebih besar lagi.
"Kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen masih terlalu kecil. Sebab sejak awal, yang kita dorong dari sisi pengendalian tembakau adalah kisaran 15-20 persen," ujarnya.
Sedang memuat...
0 01 April 2020
S
Sedang memuat...
Seiring optimalisasi kenaikan cukai untuk melindungi masyarakat, Tulus menilai bahwa pemerintah juga perlu membuat regulasi larangan penjualan rokok secara eceran. Pasalnya, banyak anak di bawah umur dan rumah tangga miskin yang membeli rokok secara eceran.

"Kita dorong harusnya pemerintah juga punya nyali. Selain kenaikan cukai, maka di sisi lain harus berani melarang penjualan rokok ketengan untuk memotong mata rantai penjualan ke anak remaja dan juga rumah tangga miskin," kata Tulus.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan, kenaikan cukai 10 persen untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia masih rendah sekali. Kendati begitu, menaikkan cukai rokok menurutnya sebuah langkah positif.
"Tapi pemerintah harus pahami, bahwa jumlah kenaikan 10 persen ini belum cukup akan mengendalikan konsumsi rokok secara efektif bagi remaja maupun bagi orang yang sudah kecanduan," kata Hasbullah.

Menurutnya, dengan perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, juga desakan dari buruh untuk menuntut kenaikan upah hingga 13 persen, maka kenaikan cukai pada rokok tak terlalu signifikan membuat harga jual rokok terlampau tinggi bagi masyarakat.
"Oleh karena itu WHO mengkaji, kami juga banyak kajian, harusnya (cukai rokok naik) 20 persen-an, minimum kenaikan," kata dia.
Sependapat dengan Tulus, Hasbullah juga berharap pemerintah lebih tegas. "Jadi perlu disadari pemerintah. Tampaknya pemerintah belum berani menaikkan yang signifikan untuk menurunkan konsumsi rokok," pungkasnya.