news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Argentina dengan Tiga Striker: Lebih Cair, Lebih Mematikan

26 Juni 2019 13:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lautaro Martinez merayakan gol bersama Sergio Aguero. Foto: AFP/Carl Souza
zoom-in-whitePerbesar
Lautaro Martinez merayakan gol bersama Sergio Aguero. Foto: AFP/Carl Souza
ADVERTISEMENT
Beberapa saat setelah Argentina mengalahkan Qatar dalam pertandingan terakhir fase grup Copa America 2019, Lionel Messi berkata bahwa di momen itulah perjalanan Albiceleste di turnamen tersebut baru saja dimulai. "Kami hanya punya dua pilihan. Pertama, kerahkan seluruh tenaga. Kedua, tidak berusaha sama sekali dan pulang menanggung malu," kata kapten Timnas Argentina itu.
ADVERTISEMENT
Bagi Argentina, kemenangan atas Qatar adalah momentum krusial yang menyelamatkan muka mereka. Kemenangan 2-0 atas juara Asia itu membuat Argentina akhirnya berhak lolos ke perempat final. Sebelum itu, anak-anak asuh Lionel Scaloni tersebut terancam angkat koper lebih dini menyusul kekalahan dari Kolombia dan hasil imbang dengan Paraguay.
Khusus untuk Messi, lolosnya Argentina ke perempat final ini berarti terbukanya kesempatan untuk mempersembahkan trofi perdana bagi negara tercinta. Sudah hampir tiga dasawarsa Argentina puasa gelar dan Messi, sebagai pesepak bola yang dianggap terbaik sepanjang masa, punya tanggung jawab untuk menuntaskan dahaga tersebut.
Untuk alasan itu, Messi boleh bernapas lega. Namun, ada pula alasan lain yang semestinya bisa membuat La Pulga tidak cuma bernapas lega tetapi juga menatap sisa turnamen Copa America dengan lebih optimistis. Alasan yang dimaksud adalah permainan Argentina tatkala mengalahkan Qatar.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya perlu diketahui bahwa Messi, secara individual, tidak tampil terlalu impresif pada laga menghadapi Qatar. Acuannya adalah statistik Opta. Di situ disebutkan bahwa Messi tidak sekali pun mampu menyentuh bola di kotak penalti Qatar.
Untuk pemain seperti Messi, gagal menyentuh bola di kotak penalti lawan adalah sebuah hal yang memalukan. Menghadapi tim-tim elite Eropa saja dia bisa dengan mudah melakukan itu secara berulang-ulang. Menghadapi Qatar yang notabene kekuatan baru di dunia sepak bola, tidak seharusnya dia mencatatkan hal seperti itu.
Namun, statistik terkadang memang tidak bisa digunakan untuk menjelaskan segalanya. Perlu konteks yang tepat agar statistik tidak menyesatkan, bahkan membutakan. Dalam hal ini, konteks yang dimaksud adalah permainan Argentina secara keseluruhan dan bagaimana Messi terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Messi sendiri, meskipun harus terasing dari 'daerah kekuasaannya', tetap mampu menunjukkan performa lumayan. Ini terbukti dari 2 umpan kunci, 2 dribel sukses, dan 2 tembakan yang berhasil dia catatkan. Selain itu, Messi juga merupakan pemain Argentina yang paling banyak menguasai bola (68) setelah Rodrigo De Paul (92) dan Leandro Paredes (87).
Ini berarti, secara keseluruhan, tidak ada masalah berarti dari sistem Argentina. Kontribusi Messi memang terbatas tetapi dua rekannya di lini depan, Lautaro Martinez dan Sergio Aguero, mampu mencetak gol kemenangan. Selain itu, Paulo Dybala yang masuk sebagai pengganti Lautaro sukses mencatatkan satu assist untuk Aguero.
Inilah yang layak membuat Messi menatap sisa turnamen dengan lebih optimistis. Pada laga melawan Qatar itulah Argentina menemukan formula yang pas untuk membawa mereka lebih jauh di Copa America kali ini.
ADVERTISEMENT
Leandro Paredes, metronom Argentina. Foto: Reuters/Washington Alves
Dalam laga menghadapi Kolombia dan Paraguay, Scaloni selalu memainkan pakem dasar 4-4-2 di mana Messi didampingi oleh salah satu dari Aguero dan Lautaro. Di pertandingan kontra Qatar, tiga penyerang tadi dimainkan secara bersamaan. Formasi dasar Argentina pun berubah menjadi 4-3-3 dan lewat sini Argentina mampu tampil lebih baik.
Pada prinsipnya, formasi 4-3-3 milik Argentina ini bukan 4-3-3 yang biasa dipraktikkan di tempat lain. Di atas kertas, Messi memang ditempatkan sebagai sayap kanan, sementara Aguero di sayap kiri. Akan tetapi, praktiknya tidak seperti itu. Alih-alih 4-3-3 yang bergantung pada sayap, 4-3-3 milik Argentina ini sebenarnya merupakan modifikasi dari pakem 4-3-1-2.
Dalam heatmap milik WhoScored, terlihat bahwa Messi lebih banyak bergerak di area tempat pemain No 10 berada. Sementara itu, Aguero dan Lautaro pada dasarnya merupakan duet penyerang tengah yang bisa bermain melebar untuk mencari serta memberi ruang pada kawannya. Dengan begini, permainan Argentina pun menjadi lebih cair.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, ketika menghadapi Kolombia dan Paraguay, Messi sudah mendapat peran seperti itu. Namun, formasi 4-4-2 yang digunakan Scaloni rupanya tidak mampu memberikan efek yang sama dengan 4-3-1-2. Ini bisa terjadi karena sifat dasar dari yang berbeda dari dua formasi tersebut.
Dalam pakem dasar 4-4-2, sebuah tim sudah pasti akan menggunakan sisi sayap lebih sering untuk melancarkan serangan. Sementara, Argentina sendiri tidak memiliki banyak pemain sayap kelas atas. Ada nama Angel Di Maria yang sebenarnya bisa masuk kategori itu, tetapi pemain Paris Saint-Germain itu bukan pemain sayap konvensional yang nyaman bermain dalam formasi 4-4-2.
Alhasil, pakem 4-4-2 Argentina pun menjadi pakem yang dipaksakan. Saat melawan Kolombia, yang ditempatkan di sisi sayap oleh Scaloni adalah Di Maria dan Giovani Lo Celso. Lalu, saat bentrok dengan Paraguay, giliran Roberto Pereyra dan De Paul yang dipasang di sana. Padahal, minus Di Maria, pemain-pemain tadi biasa beroperasi di area sentral.
ADVERTISEMENT
Lo Celso lebih pas dimainkan di tengah, bukan di sayap. Foto: Reuters/Luisa Gonzalez
Di skuat Argentina saat ini, pemain-pemain yang lebih fasih beroperasi di tengah memang jauh lebih dominan. Akhirnya, lewat formasi 4-3-1-2 tadi, Scaloni menyadari hal itu. Serangan dan permainan Argentina secara keseluruhan dipusatkan di tengah. Hasilnya pun lebih baik.
Pada babak perempat final nanti Argentina akan menghadapi Venezuela. Di atas kertas, negara yang dikenal luas berkat Telenovela-nya itu bukan tandingan sepadan bagi Argentina. Namun, fakta bahwa mereka ada di perempat final sudah semestinya jadi tanda bahaya bagi 'Tim Tango'.
Venezuela sendiri mengandalkan kemampuan bertahan ciamik dalam Copa America kali ini. Sebelum memastikan kelolosan ke perempat final lewat kemenangan 3-1 atas Bolivia, Venezuela terlebih dahulu mengais poin lewat hasil imbang tanpa gol dengan dua kontestan Piala Dunia 2018, Peru dan Brasil. Hasil ini menunjukkan di mana kekuatan Venezuela sesungguhnya berada.
ADVERTISEMENT
Dalam tiga pertandingan fase grup, Venezuela secara konsisten menerapkan pakem defensif 4-1-4-1. Dari tiga gelandang sentral yang ada pun dua di antaranya memiliki tipe petarung, yaitu Tomas Rincon dan Junior Moreno. Hal ini sangat membantu mereka dalam mengatasi tekanan tim-tim yang punya talenta lebih baik.
Selama 270 menit, hanya satu gol bersarang ke gawang Venezuela. Ini angka yang cukup baik. Apalagi, dari tiga pertandingan berikut hanya ada 10 tembakan yang mengarah ke gawang mereka. Tentunya, minimnya angka kebobolan Venezuela itu tak bisa dipisahkan pula dari kepiawaian kiper muda Wuilker Farinez di bawah mistar. Farinez, meski bertubuh kecil (181 cm), sangat cekatan dalam mengamankan gawangnya.
Kiper muda nan tangguh milik Venezuela, Wuilker Farinez. Foto: Reuters/Edgard Garrido
Pertahanan kokoh itu dipadukan Venezuela dengan kemampuan mengeksekusi serangan balik cepat secara efektif. Tiga gol yang disarangkan Venezuela saat mengalahkan Bolivia berasal dari serangan sayap. Dua di antaranya berujung umpan silang dan gol sundulan, sementara satu lagi berakhir dengan sepakan indah Darwin Machis. Machis sendiri mencetak dua gol dalam laga itu.
ADVERTISEMENT
Bukan kebetulan jika dua gol Venezuela berasal dari sundulan. Sebab, striker utama mereka adalah Salomon Rondon yang memang unggul dalam duel bola-bola atas. Rondon memang akhirnya belum mencetak gol, tetapi cara yang digunakan untuk memanjakannya itu mampu dimanfaatkan pemain lain.
Tim seperti itulah yang akan dihadapi oleh Argentina, Sabtu (29/6/2019) dini hari WIB mendatang. Venezuela punya soliditas dan mereka tidak takut beradu fisik untuk mencegah lawan memetik kemenangan. Tidak mudah, memang, untuk mengalahkan mereka. Namun, gol yang dicetak Bolivia menunjukkan bahwa Venezuela justru bisa dibobol lewat kombinasi serangan dari tengah.
Kebetulan, menyerang dari tengah adalah senjata andalan Argentina saat ini. Seharusnya, dengan materi pemain yang lebih bagus ketimbang Bolivia, Argentina bisa mencetak gol lebih banyak pula ke gawang Venezuela.
ADVERTISEMENT
Hanya, pakem 4-3-1-2 Argentina itu memang akan memunculkan celah di sektor sayap dan itulah yang harus diwaspadai sepenuhnya. Dengan demikian, Scaloni wajib mendisiplinkan dua full-back di timnya agar tidak terlalu kerap meninggalkan posisinya. Scaloni dulunya adalah seorang full-back dan seharusnya dia lebih tahu bagaimana caranya bersikap di situasi demikian.