Bagaimana Johan Cruyff Menyulap Barcelona Menjadi Tim Impian

29 Mei 2020 15:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Johan Cruyff memberi arahan kepada Pep Guardiola. Foto: La Liga
zoom-in-whitePerbesar
Johan Cruyff memberi arahan kepada Pep Guardiola. Foto: La Liga
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tak banyak waktu tersisa malam itu. Jika tak ada gol tercipta dalam delapan menit, Barcelona dan Sampdoria harus menjalani adu penalti untuk menentukan siapa yang berhak mengangkat Si Kuping Besar.
Barcelona sedang memegang kendali. Eusebio Sacristan yang seharusnya menyisir sisi sayap bisa merangsek sampai ke area depan kotak penalti Sampdoria. Melihat itu, Ivano Bonetti tak tinggal diam.
Bonetti, dengan segenap sisa tenaganya, merebut bola dari kaki Eusebio. Sayang, upaya Bonetti itu tidak dianggap legal oleh wasit Jerman, Aron Schmidhuber. Sang pengadil menilai Bonetti terlalu bersemangat dalam aksinya.
Peluit pun ditiup. Roberto Mancini, Toninho Cerezo, dan pemain-pemain Sampdoria lain tidak puas. Mereka sebenarnya tahu tak ada gunanya mencoba untuk mengubah keputusan Schmidhuber tetapi protes tetap dilayangkan.
Schimdhuber tak tertarik. Dia segera berlari kecil mengitari kerumuman berseragam putih-biru dan mengambil tindakan tegas. Tangannya diacungkan ke arah gawang Sampdoria. Tendangan bebas untuk Barcelona.
Dari belakang, Ronald Koeman berlari dan tiba-tiba saja pria Belanda itu sudah berada di sebelah Hristo Stoichkov. Satu dari dua pemain itu bakal menjadi algojo. Ada Jose Mari Bakero juga yang terlihat di sana, tetapi dia hanyalah distraktor.
Tak lama, jarak antara Stoichkov dan Bakero menyempit. Ini cuma bisa diartikan satu hal: Koeman-lah yang akan menjadi eksekutor. Tak mungkin Stoichkov mengeksekusi bola dengan ancang-ancang sependek itu.
Para pemain Sampdoria menyadari itu. Tiga dari enam yang bertugas menjadi pagar betis pun mengambil ancang-ancang untuk menyetop bola sepakan Koeman. Namun, usaha mereka sia-sia. Bola tembakan Koeman berhasil melewati terjangan mereka.
Gianluca Pagliuca yang mengawal gawang Sampdoria sebenarnya sudah berada di posisi bagus. Akan tetapi, bola meluncur terlampau cepat. Ketika Pagliuca mengulurkan tangannya, si kulit bulat sudah telanjur menggetarkan jala gawangnya.
Koeman pun berlari kegirangan ke tepi lapangan diikuti rekan-rekannya. Di bagian lapangan yang lain, tampak Johan Cruyff melompat melewati papan sponsor. Gol itu memang spesial. Eksekusinya begitu brilian.
Bagi Barcelona, gol Koeman itu adalah salah satu yang terpenting dalam sejarah mereka. Sampai waktu habis, Sampdoria gagal membobol gawang Andoni Zubizarreta. Itu artinya, Barcelona berhak atas gelar European Cup pertama mereka dalam sejarah.
Malam itu, 20 Mei 1992, Barcelona menjadi Tim Impian.

Pemberontakan di Hesperia

Bagaimana Barcelona bisa menjadi Tim Impian sungguh-sungguh ajaib. Sebab, hanya empat tahun sebelum itu, mereka berada dalam sebuah krisis besar. Ada perseteruan hebat antara para pemain dan Presiden Josep Lluis Nunez.
Penyebabnya klasik: Uang. Para pemain Barcelona saat itu merasa ditipu oleh Nunez di dalam kontraknya.
Saat itu Barcelona tengah menjadi target investigasi besar-besaran oleh Direktorat Jenderal Pajak Spanyol. Pemerintah merasa para pemain Barcelona punya utang pajak dalam bentuk hak komersil alias image rights.
Jose Ramon Alexanko, kapten Barcelona era 1980-an. Foto: FC Barcelona
Di dalam kontrak para pemain Barcelona, tidak ada pemisahan antara dua hal tersebut. Menurut mereka, kesalahan ada di pihak klub yang tidak memisahkan kontrak bermain dengan kontrak hak komersil.
Namun, ketika Dirjen Pajak datang mengetuk, manajemen Barcelona memerintahkan para pemainnya membayar sendiri pajak hak komersil tadi kepada pemerintah. Inilah yang kemudian berujung pada Pemberontakan Hesperia.
Hesperia adalah hotel tempat 21 pemain Barcelona, plus pelatih Luis Aragones, mengadakan konferensi pers untuk mengutuk Nunez. Gerombolan itu dipimpin kapten Barcelona, Jose Ramon Alexanko, yang telah berada di klub sejak 1980.
"Presiden Josep Lluis Nunez telah menipu kami sebagai manusia dan mempermalukan kami sebagai profesional. Dengan demikian, meski permintaan ini biasanya menjadi hak anggota klub, kami meminta Presiden mengundurkan diri," ucap Alexanko saat itu.
Pemberontakan Hesperia itu terjadi pada pengujung musim 1987/88. Musim di mana Barcelona hanya mampu finis di posisi enam La Liga. Musim di mana mereka tertinggal sampai 23 poin dari Real Madrid yang keluar sebagai juara.
Barcelona sebenarnya sukses merebut trofi Copa del Rey pada musim tersebut. Dalam laga final yang digelar sebulan sebelum pemberontakan, Alexanko mencetak gol tunggal kemenangan Blaugrana atas Real Sociedad.
Akan tetapi, kesuksesan itu tak dapat menutupi borok di tubuh Barcelona. Hasil buruk di La Liga pun tidak membantu. Pada titik itu, tampak bahwa Nunez bakal segera berada di pintu keluar dari Camp Nou.
Josep Lluis Nunez, Presiden Barcelona yang merekrut Johan Cruyff. Foto: FC Barcelona
Hanya, Nunez adalah politikus ulung. Tahu posisinya terancam, dia membuat kebijakan populer. Aragones akhirnya benar-benar pergi di akhir musim. Sebagai gantinya, Nunez memulangkan Cruyff yang saat itu sedang meniti karier kepelatihan bersama Ajax.

Revolusi Radikal

Saat ditunjuk menjadi pelatih, Cruyff sudah meninggalkan Barcelona selama sepuluh tahun.
Cruyff pensiun sebagai pemain pada 1984 dalam balutan seragam Feyenoord dan setahun kemudian dia menjadi pelatih Ajax. Di Ajax, Cruyff mulai menyusun metode bermain yang kelak akan memberinya kesuksesan sebagai pelatih Barcelona.
Metode Cruyff itu adalah modifikasi dari taktik mentornya, Rinus Michels. Jika Michels menggunakan pakem (yang di atas kertas tampak seperti) 1-3-3-3, Cruyff memilih 3-4-3, atau 3-4-2-1. Namun, idenya tak berbeda. Penguasaan bola jadi yang utama.
Saat datang ke Barcelona sebagai pemain pada 1973, Cruyff mendapati sebuah tim yang tengah mengalami krisis prestasi. Ketika tiba sebagai pelatih, yang dilihat Cruyff adalah sebuah krisis morel.
Segera, Cruyff mengambil tindakan. Nunez boleh jadi sosok yang merekrutnya tetapi Cruyff tak mau sang presiden ikut campur dalam dapur taktiknya.
"Kalau aku perlu bicara denganmu, aku akan ke kantormu. Jangan pernah masuk ke ruang gantiku," kata Cruyff ketika itu kepada Nunez.
Johan Cruyff ketika menjadi pelatih Barcelona. Foto: La Liga
Tak sampai di situ, Cruyff juga langsung melakukan perombakan besar-besaran di skuat Barcelona. Sejumlah bintang, seperti Victor Munoz, Ramon Caldere, dan Bernd Schuster, ditendang. Total, ada 15 pemain yang disingkirkan Cruyff saat itu.
Yang menarik, Cruyff memilih mempertahankan Alexanko, juga Zubizarreta. Padahal, sebagai pemain senior, Alexanko dan Zubizarreta juga terlibat dalam Pemberontakan Hesperia. Namun, bagi Cruyff, kedua pemain itu masih berguna.
Zubizarreta, tentunya, adalah salah satu kiper terhebat dalam sejarah sepak bola Spanyol. Alexanko, sementara itu, dipandang Cruyff sebagai pemimpin ruang ganti.
Sebagai ganti dari 15 nama yang ditendang, Cruyff merekrut 12 pemain, termasuk di antaranya Bakero, Eusebio, dan Julio Salinas. Para pemain ini kemudian ditempa dengan konsep sepak bola yang telah dimatangkan Cruyff di Ajax tadi.
Walau begitu, Cruyff tahu bahwa pemain-pemain yang dia miliki saat itu belum benar-benar sesuai keinginannya. Oleh karenanya Cruyff pun turut merevolusi kurikulum di La Masia, akademi Barcelona.
Sebelum Cruyff datang sebagai pelatih, La Masia bukanlah akademi spesial. Parameter kesiapan seorang pemain tidak diukur dari segi teknik, melainkan fisik. Pemain yang diperkirakan tingginya tak mencapai 180 cm, misalnya, bakal disingkirkan.
Oleh Cruyff, itu diubah. Apa gunanya punya pemain kekar yang tak tahu caranya mengolah bola? Salah satu jebolan La Masia pertama yang menikmati buah dari revolusi ini adalah Guillermo Amor. Pada 1988, Amor dipromosikan Cruyff dari Barcelona B.
Berbekal revolusi itu, Cruyff sukses mengantarkan Barcelona juara Piala Winners 1988/89 dan Copa del Rey 1989/90. Akan tetapi, dua titel itu tidaklah cukup. Ditambah lagi, Koeman dan Laudrup yang sama-sama datang pada 1989 mulanya gagal bersinar.
Cruyff sempat hampir dipecat pada akhir musim 1989/90. Para direktur klub sudah sepakat untuk memberhentikannya tetapi Nunez memveto kesepakatan tersebut. Cruyff selamat dan, lebih dari itu, dia bisa menikmati buah revolusi La Masia-nya.
Pada musim 1990/91, Sergi Barjuan, Albert Ferrer, dan Pep Guardiola dipromosikan ke tim utama. Stoichkov pun didatangkan dari CSKA Sofia untuk menjadi Faktor X baru Barcelona. Inilah musim di mana Cruyff bisa betul-betul memetik hasil kerjanya.
Barcelona memang kalah di Supercopa de Espana, tersisih di semifinal Copa del Rey, serta takluk dari Manchester United di final Piala Winners. Akan tetapi, mereka sukses menggamit trofi La Liga pertamanya sejak 1985.
Gelar juara La Liga itu diraih Barcelona dengan cara spesial. Mereka menjadi tim paling produktif di liga dan mengakhiri musim dengan keunggulan 10 poin atas runner-up Atletico Madrid. Cruyff sendiri tidak secara kontinyu mendampingi Barcelona musim itu.
Cruyff adalah perokok berat. Ditambah dengan stres yang menderanya sebagai pelatih Barcelona, dia jatuh sakit. Jantungnya meronta dan Cruyff harus menjalani operasi bypass. Selama lebih dari sebulan, kendali tim ada di tangan Carles Rexach, sang asisten.
Meski Cruyff absen, Barcelona nyatanya tetap digdaya. Para pemain itu benar-benar sudah memahami apa yang diinginkan oleh sang entrenador. Pekerjaan Rexach selama Cruyff absen pun menjadi amat mudah.
Gelar La Liga itu menjadi tonggak penting dalam perjalanan Cruyff sebagai pelatih Barcelona. Gelar itu memberinya kredensial dan kekuatan politis di dalam klub. Posisi tawar Cruyff begitu tinggi dan manajemen harus mengikuti segala permintaannya.
Dream Team Barcelona asuhan Johan Cruyff. Foto: La Liga
Jelang dimulainya musim 1991/92, Cruyff mendatangkan Miguel Angel Nadal dari Real Mallorca dan Juan Carlos dari Atletico Madrid. Tim yang sudah kuat itu pun semakin kuat saja.
Barcelona mengawali musim dengan menekuk Atletico Madrid di ajang Supercopa. Akan tetapi, mereka sempat kesulitan di La Liga dan European Cup. Dari delapan pertandingan pertama, tiga kekalahan diderita Barcelona.
Titik balik baru dicapai Barcelona pada awal November, dalam sebuah laga European Cup menghadapi Kaiserslautern.
Barcelona sudah menang 3-1 atas Lautern pada leg pertama di Camp Nou. Akan tetapi, pada leg kedua di Fritz Walter Stadium, Barcelona tampil luar biasa buruk. Saat turun minum, mereka berada dalam posisi tertinggal 0-1.
Di situlah Cruyff menunjukkan kematangannya sebagai seorang pelatih. Dia tak cuma piawai dalam utak-atik taktik tetapi juga pandai dalam mengangkat morel anak-anak asuhnya. Ketika masuk ruang ganti, Cruyff sama sekali tidak marah.
"Musim kami sedang terancam dan dia cuma mengeluhkan betapa dinginnya cuaca di luar. Tiba-tiba saja semua tekanan terangkat. Dia sangat yakin tim itu bisa meraih kesuksesan," kenang Nadal dalam wawancara dengan FourFourTwo.
Barcelona akhirnya memang kalah dalam pertandingan itu. Namun, mereka tetap berhak lolos ke babak berikutnya. Sejak itu, Barcelona tampil seperti harapan Cruyff. Musim 1991/92 pun ditutup dengan gelar La Liga serta European Cup.

Semua karena Politik

Cruyff mendapat kesempatan melatih Barcelona lantaran Presiden Nunez butuh amunisi politik. Delapan tahun setelah ditunjuk, Cruyff dipecat oleh Nunez, juga lewat sebuah manuver politik.
Meski baru meninggalkan Barcelona pada 1996, tanda-tanda Cruyff bakal ditendang sebetulnya sudah terlihat sejak 1992, ketika dia terlibat dalam perselisihan dengan Nunez. Cruyff selamat karena bisa memberikan gelar juara La Liga.
Pada musim panas 1993, Romario didatangkan dari PSV Eindhoven. Kedatangan striker bengal asal Brasil itu membuat Barcelona semakin produktif. Akan tetapi, di La Liga, mereka mendapat perlawanan hebat dari Deportivo La Coruna.
Barcelona memang akhirnya keluar sebagai juara. Namun, keberhasilan itu sangat berbau keberuntungan karena bek Deportivo, Miroslav Djukic, gagal mengeksekusi penalti ke gawang Valencia di partai pemungkas kompetisi.
Langkah Barcelona sedikit lebih mudah di Liga Champions. Setelah mengalahkan Dynamo Kyiv di babak pertama dan Austria Wien di babak kedua, mereka memuncaki klasemen pada fase grup. Barcelona pun berhak lolos ke semifinal menghadapi Porto.
Tanpa kesulitan berarti, Barcelona menundukkan Porto. Untuk kedua kalinya dalam dua tahun terakhir, Barcelona lolos ke final kompetisi antarklub paling bergengsi di Eropa. Lawan mereka kala itu adalah Milan asuhan Fabio Capello.
Laga final Liga Champions 1994 itu digelar tiga hari setelah Barcelona memastikan titel juara La Liga. Rasa percaya diri mereka sedang tinggi-tingginya. Saking tingginya, mereka melihat Milan sebagai tim yang bisa mereka sapu dengan mudah.
"Kami pikir laga bakal berjalan mudah; bahwa hanya dengan 60-70 persen kemampuan saja kami bakal bisa menang," tutur Sergi.
Kenyataannya, Barcelona tak berdaya di hadapan Milan. Mereka memang tak diperkuat Laudrup pada laga final karena ada aturan pembatasan pemain asing. Namun, tim lawan pun harus kehilangan sejumlah pilarnya, seperti Franco Baresi, Alessandro Costacurta, dan Marco van Basten.
Dengan kondisi demikian, Barcelona semestinya berada di atas angin. Namun, arogansi mereka jadi senjata makan tuan. Milan memberondong gawang Zubizarreta empat kali. Dua gol dari Daniele Massaro, dua lainnya dari Dejan Savicevic dan Marcel Desailly.
Dalam semalam, Tim Impian Barcelona hancur berantakan. Kata Sergi, "Itu adalah awal dari sebuah akhir. Setelah final itu, semuanya berubah."
Cruyff tidak langsung pergi, memang. Alih-alih angkat kaki, Cruyff justru merespons kekalahan dari Milan tadi dengan tangan besi. Sebagian besar pemain, mulai dari Laudrup sampai Romario, ditendang dari Camp Nou.
Cruyff lantas berupaya mengulangi apa yang diperbuatnya pada 1988. Dia mendatangkan bintang-bintang baru seperti Gheorghe Hagi, Gheorghe Popescu, Robert Prosinecki, dan Luis Figo. Akan tetapi, hanya Figo yang mampu menjawab ekspektasi.
Pada 1994/95 dan 1995/96, Barcelona hanya bisa meraih satu trofi, yaitu Supercopa de Espana. Gelar La Liga pada musim itu melayang ke tangan Real dan Atletico Madrid. Cruyff pun benar-benar di ujung tanduk pada musim semi 1996.
Secara diam-diam, Nunez menjalin kontak dengan Sir Bobby Robson. Di hadapan Cruyff, Nunez masih menunjukkan kepercayaan tetapi dia hanya berpura-pura. Ketika Sir Bobby sudah setuju, Cruyff pun dicampakkan.
Sir Bobby Robson (kiri) bersama Jose Mourinho di Barcelona. Foto: Twitter/@blackstonejk
Nunez bahkan tidak memecat Cruyff secara langsung. Dia mengirim wakilnya, Joan Gaspart, yang mendapat dampratan keras dari Cruyff. "Dasar Judas!" umpat Cruyff. Gaspart sampai mengancam bakal menelepon polisi kalau Cruyff tak segera pergi.
Cruyff akhirnya benar-benar pergi pada waktu itu. Namun, bukan Cruyff namanya jika tidak melontarkan serangan balasan. "Orang seperti Nunez tidak menjadi presiden klub karena cinta sepak bola. Dia melakukannya karena mencintai diri sendiri," ucap Cruyff.

Guardiola dan Warisan Besar Lainnya

Era Cruyff di Barcelona tidak berakhir dengan menyenangkan. Akan tetapi, warisannya sama sekali tak bisa diabaikan. Pada 2009, Guardiola berhasil membangun Tim Impian baru dengan bermodalkan pemain-pemain jebolan La Masia.
Para pemain itu, dari Xavi Hernandez, Andres Iniesta, sampai Lionel Messi, dididik dengan kurikulum La Masia yang disusun oleh Cruyff. Guardiola pun, jauh sebelum mereka, telah merasakan hal yang sama.
Spanyol, Eropa, bahkan dunia berhasil mereka taklukkan. Gaya bermain ala Barcelona menjadi patokan. Kemahiran mengolah bola jadi keharusan di mana pun. Aliran Cruyffian pun menjadi hegemoni dalam dialektika taktik sepak bola.
Memang, tidak semuanya menerapkan itu secara murni. Bahkan, Guardiola sendiri harus beradaptasi ketika pindah ke Inggris. Namun, dasarnya selalu terlihat. Teknik dan kecerdasan menjadi primadona, menggusur kekuatan dan kecepatan.
Lewat kiprahnya bersama Barcelona, Cruyff mengubah sepak bola. Dia memang sudah tiada sejak 2016 tetapi warisannya bakal hidup dalam waktu yang sangat lama.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.