Boikot Piala Dunia 2022 di Qatar, Mungkinkah?

19 Juni 2019 14:47 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penonton Piala Dunia 2018 bersiap menuju Qatar. Foto: AFP/Jewel Samad
zoom-in-whitePerbesar
Penonton Piala Dunia 2018 bersiap menuju Qatar. Foto: AFP/Jewel Samad
ADVERTISEMENT
Dan hal itu terjadi lagi. Satu alasan lain mengapa dunia sepak bola seharusnya memboikot Piala Dunia 2022 telah muncul dalam wujud penahanan Michel Platini. Ini adalah bukti terbaru bahwa Qatar adalah tuan rumah Piala Dunia yang bermasalah dan tidak seharusnya terpilih.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Qatar lewat Piala Dunia ini sebenarnya bukan hal baru. Mereka menggunakan turnamen olahraga sebagai alat untuk mempromosikan diri dan hal semacam ini sudah terjadi sejak fasisme masih mewabah di Eropa. Italia dan Jerman melakukan hal tersebut pada Piala Dunia 1934 dan Olimpiade 1936.
Dalam teori hubungan internasional, apa yang dilakukan Italia, Jerman, dan Qatar ini disebut sebagai upaya untuk meraih soft power. Pada prinsipnya, soft power adalah kemampuan untuk membentuk persepsi tentang suatu negara lewat persuasi atau hal-hal yang terlihat menyenangkan seperti kekayaan budaya dan semacamnya.
Menyelenggarakan Piala Dunia, tentunya, masuk dalam kategori hal-hal yang menyenangkan tadi. Turnamen ini, pada dasarnya, adalah sebuah perayaan. Di sana, pencapaian negara-negara anggota FIFA dalam mengembangkan sepak bolanya dirayakan secara besar-besaran empat tahun sekali selama satu bulan penuh.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari FIFA sendiri, sebanyak 3,752 miliar penonton menyaksikan pertandingan-pertandingan Piala Dunia 2018. Artinya, lebih dari separuh penduduk bumi ikut mengarahkan pandangannya ke Rusia, negara tempat turnamen itu digelar, untuk merayakan sepak bola itu sendiri.
Suporter Timnas Prancis memadati pusat Kota Moscow menjelang final Piala Dunia 2018. Foto: Gleb Garanich/Reuters
Lewat Piala Dunia 2018, Rusia berupaya mengenyahkan citra otoriter dan diskriminatif yang selama ini melekat kepada mereka. Berhasil atau tidaknya usaha mereka itu adalah perkara berbeda. Yang jelas, selama Piala Dunia, citra Rusia yang galak itu nyaris tak pernah terdengar.
Itulah yang ingin dilakukan oleh Qatar. Tujuan yang ingin dicapai memang tidak sama persis. Jika Rusia ingin dunia melihat sisi ramah mereka, Qatar berupaya untuk menjadi pemain utama di wilayah Timur Tengah lewat Piala Dunia 2022 nanti. Mereka kaya raya tetapi uang saja tidak cukup. Mereka butuh pengaruh dan untuk mendapatkan itu mereka memilih untuk menempuh jalur soft power.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, upaya Qatar untuk mewujudkan itu semua tidak dilakukan dengan bersih. Penahanan Platini tadi adalah buktinya dan selain itu masih banyak bukti-bukti lain yang menunjukkan ketidapantasan Qatar, mulai dari kematian massal para pekerja migran sampai masih maraknya pelanggaran HAM di sana.
Mengapa Platini Ditahan?
Alkisah pada tahun 2010, kurang dari dua pekan sebelum pemungutan suara untuk menentukan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022, sebuah jamuan makan siang digelar di Istana Elysee (istana kepresidenan Prancis). Sejumlah nama penting hadir di sana mulai dari Nicolas Sarkozy, Tamim al-Thani, sampai Syekh Hamad bin Jassim.
Sarkozy ketika itu adalah Presiden Prancis, Al-Thani adalah putra mahkota keamiran Qatar yang kini telah menjadi Emir, sementara Bin Jassim saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Qatar. Ketiga orang itu sedang asyik bersantap dan berbincang ketika Platini, yang saat itu berstatus sebagai Presiden UEFA, datang ke lokasi.
ADVERTISEMENT
Jamuan makan siang itulah yang kemudian menjadi target penyelidikan Parquet National Financier, sebuah lembaga yang bertugas menginvestigasi kejahatan finansial serius. FNP menduga ada tiga tindak kejahatan yang terjadi dalam jamuan makan siang itu. Yakni, konspirasi kriminal, korupsi, dan jual-beli pengaruh.
Pada jamuan makan siang itu, agenda utama yang dibicarakan adalah pembukaan keran investasi Qatar di Prancis. Secara pribadi, Sarkozy meminta putra mahkota Qatar untuk membeli klub sepak bola kesayangannya, Paris Saint-Germain, yang terlilit utang. Selain itu, Qatar juga diminta untuk berinvestasi secara besar-besaran untuk kemajuan sepak bola Prancis.
Investasi Qatar tadi akhirnya terwujud dalam pembentukan beIN Sports. Saluran televisi olahraga ini berdiri pada 2012 dan langsung membeli hak siar Liga Prancis yang masih mereka kuasai sampai sekarang. Di luar sepak bola, investasi Qatar terwujud dalam pembelian 50 unit pesawat Airbus untuk Qatar Airways.
ADVERTISEMENT
Sebagai ganti semua itu, Qatar dijanjikan bakal mendapatkan suara dalam pemungutan suara tuan rumah Piala Dunia 2022. Di sinilah keterlibatan Platini berada. FNP menduga, pria yang saat masih aktif bermain dijuluki Le Roi itu diperintahkan oleh Sarkozy agar memilih Qatar jadi tuan rumah Piala Dunia.
Sejauh ini, Platini telah membantah tuduhan tersebut. Faktanya, dia memang memilih Qatar setelah sebelumnya sempat membekingi Amerika Serikat. Akan tetapi, menurut Platini sendiri, keputusannya memilih Qatar itu tidak dipengaruhi sedikit pun oleh jamuan makan siang tadi. Benar atau tidaknya pernyataan tersebut masih harus ditunggu sampai proses hukum selesai.
Korupsi, Korupsi, dan Masih Banyak Lagi
Qatar akhirnya terpilih. Mereka sukses mengalahkan Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Dalam proses pemenangan ini, diketahui bahwa Qatar tak cuma membeli pengaruh dari Prancis, tetapi juga dari negara-negara Asia via Presiden AFC Mohammad bin Hammam dan negara-negara Karibia via Jack Warner. Setelah berhasil menyandang status tuan rumah, beIN Sports juga dituduh menyuap FIFA untuk mendapatkan hak siar eksklusif.
ADVERTISEMENT
Korupsi, seakan-akan, sudah menjadi sinonim Piala Dunia 2022 di Qatar. Akan tetapi, korupsi hanyalah kepingan kecil dari kontroversi yang hingga kini masih menyelimuti penyelenggaraan turnamen tersebut.
Yang pertama, ada soal penggeseran turnamen dari bulan Juni ke bulan November. Hal ini dilakukan untuk mengakali cuaca panas ekstrem yang melanda Qatar selama musim panas. Dengan suhu udara mencapai 40°C pada siang hari, menyelenggarakan Piala Dunia di musim panas dipandang sebagai hal mustahil.
Itulah mengapa, Piala Dunia 2022 nanti digelar pada musim dingin. Masalahnya, penyelenggaraan turnamen di musim dingin bakal merusak ritme kompetisi di banyak negara, khususnya negara-negara Eropa. Sampai sekarang, belum ada komplain berarti dari mereka yang kemungkinan bakal terpengaruh, tetapi semakin dekat dengan turnamen, diprediksi akan semakin banyak keluhan yang muncul.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, ada masalah hak asasi manusia. Sejak awal, Qatar sudah bermasalah karena di negara itu perlakuan terhadap kaum minoritas, termasuk kaum LGBTQ+, sangatlah buruk. Menjadi seorang LGBTQ+ di keamiran tersebut adalah hal ilegal dan hukumannya adalah hukuman mati. Hal ini dipandang sebagai sebuah bukti ketidaklayakan Qatar menjadi tuan rumah.
Selain soal itu, perlakuan Qatar terhadap pekerja migran yang kebanyakan berasal dari Asia Selatan juga tak kalah buruknya. Mereka memang tidak dibunuh secara literal tetapi dibiarkan bekerja dalam kondisi ekstrem yang akhirnya berujung pada kematian. Sejauh ini, menurut data terbaru International Observatory of Human Rights, kematian pekerja migran bisa mencapai angka 4.000 jiwa pada saat Piala Dunia 2022 dimulai.
Para pekerja migran itu didatangkan dengan skala besar untuk mengebut pengerjaaan stadion dan infrastruktur yang sampai sekarang pun belum usai. Mereka terjebak dalam kondisi kerja yang sangat buruk di mana istirahat untuk minum saja sangat sulit didapatkan. Para pekerja tersebut juga kesulitan untuk melepaskan diri karena keberadaan sistem kafala.
ADVERTISEMENT
Sistem kafala ini, secara sederhana, adalah sistem sponsor. Semua pekerja migran yang datang ke Qatar memiliki sponsor dari dalam negeri yang bertindak sebagai penjamin. Sebenarnya, sistem ini diberlakukan dengan niat yang bagus. Para penjamin tadi semestinya bertindak sebagai pelindung para pekerja tetapi akhirnya sistem ini justru rentan akan eksploitasi. Pasalnya, lewat sistem kafala, para pekerja tadi harus menyerahkan identitas diri kepada para sponsornya.
Khalifa International Stadium di Doha, Qatar. Foto: Reuters
Boikot Tetap Perkara (Nyaris) Mustahil
Ada banyak hal yang membuat Qatar tak pantas menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Akan tetapi, mengapa turnamen itu tampaknya tetap akan berjalan sesuai rencana? Mengapa tidak ada satu pun negara yang berani menentang keberadaan turnamen terkutuk ini secara terbuka?
ADVERTISEMENT
Jawabannya sederhana saja: Uang. Ada terlalu banyak uang yang terlibat dalam sebuah gelaran Piala Dunia. Seperti yang terjadi pada kasus Prancis tadi, hanya dengan memberikan suara kepada Qatar, Prancis bisa mendapat banyak hal, mulai dari investasi di sepak bola sampai penjualan pesawat dalam jumlah besar.
Itu baru dari sisi negara. Dari sisi asosiasi sepak bola dan pemain pun tentu ada pertimbangan tersendiri. Piala Dunia, bagi sebuah asosiasi negara, adalah sebuah keberhasilan pembinaan sepak bola. Bagi mereka, yang penting adalah Piala Dunia-nya, bukan di mana dan bagaimana turnamen itu digelar.
Lalu, bagi seorang pemain, Piala Dunia adalah ajang unjuk gigi yang bisa memengaruhi karier mereka. Lihat saja apa yang terjadi pada Robin Olsen. Tampil ciamik di Piala Dunia 2018, kiper Swedia itu mendapat ganjaran dengan direkrut oleh AS Roma sebagai suksesor Allison Becker. Ketika pertaruhannya adalah uang, sulit untuk berkata tidak.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, bukan berarti boikot terhadap Piala Dunia 2022 adalah hal yang mustahil. Pada Piala Dunia 1978, Johan Cruijff memilih untuk tidak ikut serta dalam rombongan Belanda sebagai bentuk protes terhadap rezim Jenderal Rafael Videla. Namun, boikot seperti ini adalah hal langka dan boleh jadi sosok seperti Cruijff memang tidak akan pernah muncul lagi.