Di Kaliningrad, Sepak Bola Bagaikan Tamu Tak Diundang

29 Juni 2018 16:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemandangan di sudut kota Kaliningrad. (Foto: AFP/Patrick Hertzog)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan di sudut kota Kaliningrad. (Foto: AFP/Patrick Hertzog)
ADVERTISEMENT
Dalam diri Kaliningrad, ada sebuah usaha keras untuk menjadi mandiri di tengah kesendirian. Di kota itu, dua identitas berebut pengaruh. Namun, tak satu pun dari dua identitas itu yang berhasil menjadi primadona. Mereka yang bernaung di bawah lindungan kota tersebut lebih memilih untuk memeluk dua identitas tadi dengan kehangatan yang sama.
ADVERTISEMENT
Kaliningrad belum lama disebut Kaliningrad. Nama ini baru digunakan setelah Perang Dunia II kelar. Sebelumnya, kota ini bernama Koenigsberg dan dengan nama lawasnya ini, Kaliningrad pernah berada di bawah kuasa banyak sekali tuan. Namun, di antara semua tuan itu, yang paling sukses menancapkan pengaruhnya adalah Prusia.
Dulunya, Prusia adalah sebuah negara raksasa yang wilayahnya meliputi Jerman, Polandia, Lithuania, Denmark, Belgia, Republik Ceko, Swiss, bahkan Rusia. Selama kurang lebih empat abad, Prusia menjadi negara yang demikian dominan di kawasan Eropa tengah. Di bawah kendali Prusia, Koenigsberg, yang secara harfiah berarti 'Gunung Milik Raja' itu, punya status istimewa sebagai ibu kota dari provinsi Prusia Timur.
Setelah Prusia runtuh, Koenigsberg jadi milik Jerman. Namun, menyusul kekalahan Nazi pada Perang Dunia II, lewat perjanjian Potsdam, Koenigsberg diserahkan kepada Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Pasca-Perang Dunia II, kehidupan di Koenigsberg seperti diulangi dari titik nol. Nyaris tidak ada bangunan yang berdiri utuh di sana akibat serangan tanpa henti Angkatan Udara Kerajaan Inggris dan serbuan darat Tentara Merah Soviet. Namun, kota satu ini memang punya lokasi yang begitu strategis, sehingga pemerintah komunis Uni Soviet pun tidak keberatan untuk mengeluarkan biaya dan tenaga besar untuk membangunnya kembali.
Setelah berada di bawah kontrol Uni Soviet, nama Kaliningrad mulai digunakan untuk menggantikan Koenigsberg. Kemudian, orang-orang Jerman yang masih bertahan di sana pun dipaksa untuk angkat kaki. Sebagai gantinya, pemerintah Uni Soviet memerintahkan migrasi besar-besaran kepada sejumlah penduduknya untuk mengisi kota yang melompong.
Usaha itu akhirnya berhasil. Di bawah Uni Soviet, dengan bermodalkan laut yang tak pernah membeku, Kaliningrad menjadi pos strategis bagi angkatan perang di kawasan Baltik. Wilayah yang kini menjadi Oblast Kaliningrad itu menjadi semacam daerah penyangga (buffer zone) antara Uni Soviet dan dunia Barat. Tak cuma itu, Kaliningrad juga menjadi perpanjangan tangan Uni Soviet untuk mengontrol kroco-kroconya di Blok Timur, khususnya Polandia.
ADVERTISEMENT
Selama kurang lebih 45 tahun, Kaliningrad menjalankan peran penting itu untuk Uni Soviet. Namun, ketika akhirnya Uni Soviet runtuh, Kaliningrad kehilangan keistimewaannya. Lebih dari itu, ia menjadi terkucil.
Setelah Uni Soviet bubar, garis batas antarnegara tiba-tiba menjadi musuh bagi Kaliningrad. Jika sebelumnya Kaliningrad adalah perpanjangan tangan Uni Soviet, di bawah kepemilikan Rusia ia menjadi exclave -- bagian dari sebuah negara yang secara geografis dipisahkan oleh negara lain. Karena Rusia sendiri belum mampu berdiri tegak, Kaliningrad pun tak terurus.
Pada awal 1990-an dulu, Kaliningrad berubah menjadi mimpi buruk bagi para penghuninya. Lebih dari separuh penduduk kota jatuh dalam kemiskinan. Hal itu diperparah dengan meroketnya jumlah penderita HIV dan merebaknya peredaran obat-obatan terlarang. Perbaikan akan kondisi itu baru bisa dimulai memasuki dekade 2000-an saat Rusia sudah dipimpin Vladimir Putin.
ADVERTISEMENT
Bukan kebetulan jika Putin menaruh minat tersendiri pada Kaliningrad. Pertama, mantan istrinya, Lyudmila, adalah putri asli Kaliningrad. Kedua, Putin sadar bahwa wilayah ini, jika diperlakukan layaknya pada era Soviet dulu, bisa kembali berkembang.
Putin dan Lyudmila pada 2013. (Foto: AFP/Yuri Kadobnov)
zoom-in-whitePerbesar
Putin dan Lyudmila pada 2013. (Foto: AFP/Yuri Kadobnov)
Bukti dari spesialnya perlakuan Putin ini terbukti dengan keputusan untuk kembali menjadikan Kaliningrad sebagai benteng pertama Rusia dari ancaman Barat. Pada 2016 silam, Rusia menempatkan rudal-rudal anti-tank dan anti-pesawat dalam jumlah besar. Selain itu, jumlah serdadu Rusia di sana pun terus ditambah demi menghambat laju tentara darat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Pada akhirnya, sikap Putin itu memang membuat nadi kehidupan di Kaliningrad kembali berdenyut kencang. Namun, di sisi lain kebijakan-kebijakan itu membuat para penduduk kota tidak nyaman. Pasalnya, sebagai wilayah paling barat dari Rusia, pengaruh Barat yang masuk ke sana, khususnya dari Jerman, pun jadi begitu terasa.
ADVERTISEMENT
Besarnya pengaruh Barat di sana memang tidak hadir begitu saja. Sebab, di saat orang-orang Kaliningrad tidak membutuhkan visa untuk bepergian ke Lithuania, Jerman, dan Polandia, mereka justru perlu visa jika hendak bertolak menuju Moskow. Hal semacam ini bisa terjadi karena untuk beranjak dari Kaliningrad ke Moskow, ada Belarusia yang harus dilewati. Visa yang dimaksud adalah visa untuk memasuki Belarusia.
Inilah dua identitas yang berusaha berebut pengaruh di Kaliningrad. Dua identitas yang, pada akhirnya, sama-sama dipilih oleh para penduduk kota.
***
Ketika 33 ribu suporter sepak bola dari Belgia dan Inggris memasuki Kaliningrad, kota ini sedang menyaksikan aktivitas sepak bola terbesar yang pernah ada. Pasalnya, kota ini memang bukan tempat yang ramah untuk sepak bola. Meskipun memiliki sebuah klub yang berlaga di divisi dua Liga Rusia, paling-paling hanya ada sekitar 5 ribu warga kota yang menyaksikan klub itu berlaga tiap pekannya.
ADVERTISEMENT
Nama klub sepak bola itu adalah Baltika Kaliningrad. Ketika dibentuk pada 1954 silam, klub ini diberi nama Pishchevik Kaliningrad. Namanya baru menjadi Baltika pada 1958.
Mural Mario Goetze di Kaliningrad. (Foto: AFP/Ozan Kose)
zoom-in-whitePerbesar
Mural Mario Goetze di Kaliningrad. (Foto: AFP/Ozan Kose)
Dalam sejarahnya, tak pernah ada prestasi impresif yang dicatatkan Baltika. Barangkali, yang bisa disebut sebagai prestasi terbaik adalah ketika mereka mencapai babak ketiga Piala Intertoto edisi 1998. Selebihnya, Baltika seperti ada hanya untuk formalitas karena sebuah kota, terutama di Eropa, tidak akan menjadi sebuah kota jikalau tak punya klub sepak bola.
Ketidaktertarikan orang-orang Kaliningrad kepada sepak bola itu bersumber dari fanatisme mereka pada olahraga yang berbeda, yakni hoki es. Menariknya, klub es hoki terbesar di kota itu, Kaliningrado Delovaja Rus, memilih untuk berkompetisi di Liga Lithuania.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, agak aneh sebenarnya ketika Rusia menjadikan Kaliningrad sebagai salah satu tuan rumah Piala Dunia 2018. Lebih-lebih, menyelenggarakan turnamen di kota berpopulasi kurang lebih 430 ribu jiwa ini, ada modal besar yang harus dikeluarkan untuk membangun Stadion Kaliningrad. Setidaknya, ada uang 257 juta euro yang harus digelontorkan untuk membangun stadion berkapasitas 33.973 tempat duduk ini.
Dengan keberadaan Stadion Kaliningrad, artinya stadion lawan di sana, Baltika Stadium, bakal ditinggalkan. Padahal, Baltika Stadium sendiri punya nilai historis sangat besar. Dulunya, stadion itu dibangun berkat bantuan dari seorang Yahudi Jerman bernama Walter Simon. Dari yang awalnya merupakan arena atletik, Baltika Stadium kemudian bisa pula digunakan untuk sepak bola.
Situasi ini membuat Stadion Kaliningrad berpotensi menjadi 'gajah putih raksasa' di kemudian hari. Gajah putih raksasa ini merupakan istilah bagi stadion-stadion olahraga yang akhirnya tak terurus karena tidak digunakan dengan semestinya dan akhirnya membuat perawatannya juga jadi terbengkalai. Dengan rata-rata jumlah penonton yang berada di angka 5 ribu, stadion berkapasitas 30 ribu adalah sesuatu yang mubazir untuk Baltika.
ADVERTISEMENT
Satu bentuk keanehan dari penyelenggaraan Piala Dunia 2018 di Kaliningrad adalah penempatan fan zone. Oleh FIFA, fan zone ini ditempatkan di halaman sebuah bangunan mangkrak yang oleh warga sekitar diberi julukan 'The Monster' dan 'Robot yang Terkubur'.
Kemeriahan di dekat Stadion Kaliningrad. (Foto: Reuters/Kacper Pempel)
zoom-in-whitePerbesar
Kemeriahan di dekat Stadion Kaliningrad. (Foto: Reuters/Kacper Pempel)
Bangunan mangkrak itu sebenarnya direncanakan untuk menjadi markas bagi Partai Komunis Uni Soviet. Akan tetapi, pembangunannya tidak pernah dirampungkan. Padahal, untuk membangun gedung itu, ada sebuah situs bersejarah yang dihancurkan oleh rezim Leonid Brezhnev.
'The Monster' dibangun untuk menghilangkan pengaruh 'imperialisme Prusia' di Kaliningrad. Di tanah tempat bangunan itu berada, dulunya berdiri sebuah kastil kokoh yang sudah melindungi Kaliningrad dalam sejumlah pertempuran. Oleh Brezhnev, kastil itu digantikan dengan sebuah bangunan bergaya Brutalist dengan tinggi 28 lantai. Sedianya, gedung itu bakal disebut sebagai 'House of the Soviets'. Namun, karena mangkrak, maka julukan dari orang-orang itulah yang jadi populer.
ADVERTISEMENT
Kini, monster dari era Uni Soviet itu jadi pusat aktivitas persepakbolaan di Kaliningrad, selain tentunya stadion yang letaknya tak terlalu jauh dari pusat kota. Di gedung itu, terpampang logo Piala Dunia berukuran raksasa yang sebenarnya tidak benar-benar mampu menutupi borok di balik inkompetensi pemerintah Uni Soviet tadi.
Namun, segala keanehan-keanehan tadi bisa dijawab dengan memasukkan Putin ke dalam hitungan. Dua hal yang membuat Kaliningrad diperlakukan spesial tadi bisa juga digunakan untuk menjelaskan kenapa ada nama kota satu ini di daftar tuan rumah Piala Dunia 2018.
Kendati bukan kota yang menggilai sepak bola, Kaliningrad pada akhirnya tetap tidak bisa untuk tidak larut dalam euforia. Di jalan-jalan, di tembok-tembok kota, gambar-gambar sepak bola yang sebelumnya mustahil untuk ada, terlihat jelas. Perekonomian lokal yang terkerek berkat kedatangan suporter pun berlomba-lomba untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap olahraga sebelas lawan sebelas ini.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, euforia sepak bola di Kaliningrad kini bakal kembali surut. Setelah laga antara Belgia dan Inggris, tak ada lagi pertandingan yang akan dihelat di Stadion Kaliningrad. Perjalanan stadion itu untuk menjadi sebuah gajah putih raksasa pun secara resmi sudah dimulai. Namun, satu hal yang tidak akan pernah lenyap adalah memori. Euforia boleh hilang, tetapi kenangan tetap abadi. Dengan cara itulah sepak bola bakal bertahan di Kaliningrad.