news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jose Mourinho, si Penjudi Ulung Itu, Menang di Kota Turin

8 November 2018 10:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Halo, saya menang! (Foto: REUTERS/Stefano Rellandini)
zoom-in-whitePerbesar
Halo, saya menang! (Foto: REUTERS/Stefano Rellandini)
ADVERTISEMENT
Jose Mourinho adalah penjudi ulung. Bagi para penjudi, kemenangan tak hanya ditentukan oleh hitung-hitungan jitu. Bagi mereka yang menghabiskan malam demi malam di meja judi, kemenangan tak cuma bersandar pada keberuntungan. Kemenangan didapat karena para penjudi memiliki keduanya, hitung-hitungan jitu dan keberuntungan.
ADVERTISEMENT
Penulis legenderis asal Rusia, Fyodor Dostoyevsky, merilis novel berjudul The Gambler pada 1866. Kata orang-orang, ini bukan novel terbaik Dostoyevsky. Kebanyakan kritikus menyebut Crime And Punishment dan The Brother Karamazov sebagai masterpice Dostoyevsky. Namun, bukan berarti Dostoyevsky tak bisa berbicara banyak lewat novel yang konon diselesaikannya hanya dalam tempo sebulan ini.
Secara garis besar, novel ini berkisah tentang Alexey Ivanovitch yang berkawan karib dengan roulette (dalam Bahasa Indonesia disebut rolet), permainan judi yang menggunakan roda kecil dan bola mungil. Secara harfiah dari Bahasa Prancis, roulette berarti roda kecil.
Ivanovitch bekerja sebagai guru privat untuk anak-anak seorang pria yang hampir bangkrut yang kerap dipanggil Jenderal. Si Jenderal hidup di kota perjudian fiktif bernama Roulettenberg. Jenderal memiliki utang berlimpah, saking banyaknya ia begitu mengharapkan bibinya yang selalu dipanggil dengan sebutan Granny agar cepat-cepat mati. Tujuannya tentu supaya warisan sang bibi jatuh ke tangannya.
ADVERTISEMENT
Perkenalan Ivanovitch dengan Jenderal mempertemukannya dengan Polina, anak tirinya. Plot selanjutnya, Ivanovitch tak hanya terjebak dalam cinta matinya dengan Polina, tetapi persahabatan karib dengan roullete.
Polina-lah yang memperkenalkan Ivanovitch dengan judi. Ia memberikan uang kepada Ivanovitch untuk berjudi diam-diam. Alhasil, Ivanovitch menjadi salah satu pemain roulette ulung di kota itu. Lewat plot yang tak kelewat panjang, sampailah novel ini pada fragmen Ivanovitch yang bertemu kembali kepada Polina setelah keduanya berpisah.
Dalam fragmen ini dijelaskan, mereka tak mungkin berhubungan karena Polina terjerat utang. Kadung cinta mati, Ivanovitch mengambil jalan nekat. Ia kembali ke kasino dan bermain roulette dengan beringas. Herannya, pertaruhan Ivanovitch tak buntung, ia menang lebih dari 200 ribu rubel, yang kini setara dengan kisaran 44 juta rupiah. Jangan lupa, ini novel yang terbit sebelum tahun 1900. Uang itu membuat Ivanovitch kaya mendadak.
ADVERTISEMENT
Cerita berlanjut pada gagalnya hubungan Ivanovitch dan Polina, sampai pada kesimpulan, berapa pun uang yang dimiliki Ivanovitch, sebanyak atau sesedikit apa pun itu, ia akan menghabiskannya di meja judi.
Novel ini berkisah tentang orang-orang yang menggantungkan hidup pada roulette. Bahwa roulette tak sekadar menjadi permainan tapi pintu gerbang yang bisa saja mengantarkan orang-orang biasa, mereka yang kerap menelan kekalahan menjadi manusia kaya-raya, bergelimang harta dan puja-puji. Barangkali, roulette seperti sepak bola yang begitu sanggup mengubah status para pecundang menjadi pemenang walau hanya dalam waktu sehari.
Kita, barangkali adalah para pecundang itu. Berhari-hari kalah menjalani hidup, lantas merasa kemenangan menjadi milik kita saat tim yang begitu dicintai merengkuh kemenangan di akhir atau tengah pekan. Buktinya, toh, kita ikut bersorak-sorai saat mereka merayakan kemenangan. Padahal kalau dipikir-pikir, bintang-bintang lapangan hijau itu bahkan tidak menyadari bahwa kita bernapas dan hidup di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Luke Shaw dan Nemanja Matic berusaha merebut bola dari Paulo Dybala di laga Juventus vs Manchester United. (Foto:  REUTERS/Stefano Rellandini)
zoom-in-whitePerbesar
Luke Shaw dan Nemanja Matic berusaha merebut bola dari Paulo Dybala di laga Juventus vs Manchester United. (Foto: REUTERS/Stefano Rellandini)
Lantas, serupa Ivanovitch yang berjudi dengan intens demi merebut cinta Polina, Mourinho pun berjudi dari pinggir lapangan bola. Bedanya, yang ia lakukan perjudian taktik. Entahlah apa yang menjadi tujuan akhirnya, tapi barangkali pengakuan sebagai genius taktik dan seorang game changer, menjadi fondasi dari segala macam perjudian yang ia lakukan di atas daftar pemain, termasuk saat Manchester United berlaga melawan Juventus di matchday keempat Liga Champions 2018/19 ini.
Mourinho memasuki laga ini dengan formasi 4-3-3. Ia menempatkan Anthony Martial, Alexis Sanchez, dan Jesse Lingard di garda terdepan. Ketiganya tentu punya tugas menjebol gawang lawan demi merengkuh kemenangan. Kali ini, Mourinho tampak ingin membebaskan Paul Pogba untuk bekerja seliar mungkin mengobrak-abrik pertahahan lawan lewat kreativitasnya. Hanya, apa lacur, Pogba buntung, kreativitasnya pampat, serangan United buntu.
ADVERTISEMENT
Buktinya, di babak pertama saja, United hanya mencatatkan satu tembakan tepat sasaran di antara tiga upaya tembakan. Pogba yang diharapkan sebagai palang pintu kreativitas itu benar-benar semenjana. Ia menjadi pemain United yang paling banyak kehilangan bola, lima kali. Jumlah ini malah jauh lebih besar dibandingkan dengan seluruh pemain di laga ini. Setali tiga uang dengan Pogba, Martial yang ada di lini depan pun menjadi salah satu pemain yang paling sering kehilangan bola, empat kali.
Berkaca dari intensitas serangan dan penguasaan bola yang kalah telak sejak babak pertama saja, sewajarnya, Mourinho melakukan respons taktik dengan pergantian pemain sejak babak kedua dimulai. Hanya Tuhan dan Mourinho yang tahu mengapa Herrera yang permainannya begitu mati di sepanjang babak pertama itu masih diberi kesempatan untuk bermain di 30 menit paruh kedua. Entah hitung-hitungan macam apa yang tersembunyi di dalam kantung mantel kasmirnya sehingga masih bisa memberikan kesempatan bermain kepada Lingaard di 20 menit paruh kedua walau ia tahu, anak didiknya ini tak klinis sepanjang 45 menit pertama.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang paham dengan pasti mengapa pergantian pemain itu mesti dilakukan baru setelah Juventus unggul lewat gol Cristiano Ronaldo yang dibidani oleh umpan panjang dan elegan seorang bek tengah bernama Leonardo Bonucci. Tak usah bicara situasi setelah gol itu, berkaca dari situasi babak pertama saja, memangnya Mourinho masih merasa timnya itu baik-baik saja, walau kalah dari segala aspek?
Lantas, bertaruhlah Mourinho dengan begitu hebat di menit 79, hanya 11 menit sebelum waktu normal laga usai. Ia memasukkan Marroune Fellaini dan Juan Mata lantas menarik Sanchez dan Herrera. Bukan siapa-siapa yang dimasukkan yang membikin keputusan ini ibarat pertaruhan, tapi karena perubahan skema yang terjadi.
Apalagi, beberapa menit sebelumnya Mourinho sudah memasukkan Marcus Rashford yang memang jauh lebih ketimbang Lingaard beberapa laga terakhir. Masuknya tiga nama ini, membikin permainan United beralih ke 4-2-3-1, skema yang berulang kali mendapat kritik karena justru dapat mematikan kreativitas tim. Dengan beralih ke skema ini, artinya, Fellaini berada di pos penyerang tunggal yang ditopang oleh trio Rashford, Mata, dan Martial.
ADVERTISEMENT
Sementara, pos poros ganda diserahkan kepada Pogba dan Nemanja Matic. Yang membikin heran, pelatih waras mana yang menyerahkan poros ganda kepada pemain yang paling banyak kehilangan bola? Toh, formasi 4-2-3-1 menjadi sumber dari segala macam kritik taktik yang diterima Mourinho.
Paul Pogba beraksi di laga Juventus melawan Manchester United. (Foto: REUTERS/Massimo Pinca)
zoom-in-whitePerbesar
Paul Pogba beraksi di laga Juventus melawan Manchester United. (Foto: REUTERS/Massimo Pinca)
Namun, apa yang terjadi setelahnya membikin heran. Entah hitung-hitungan macam apa yang membuat Mourinho yakin bahwa peran baru Pogba sebagai salah satu poros ganda yang mengharuskannya untuk agresif dalam aksi defensif sehingga memancing Blaise Matuidi melakukan pelanggaran kepadanya di area pertahanan Juventus dan menghasilkan tendangan bebas?
Lantas, semua orang tahu bahwa lewat tembakan bebas langsung, Mata yang baru tujuh menit menginjakkan kakinya di lapangan melesakkan sepakan yang tak mampu dihalau oleh Wojniech Szczesny. Tak ada yang menyangka, menahan Pogba untuk tetap ada di lapangan bahkan memberikannya tugas baru dapat mengantarkan United pada kemenangan.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal gol bunuh diri yang pada akhirnya benar-benar membunuh asa Juventus untuk merengkuh kemenangan di rumah sendiri itu pun, ada peran Pogba di sana. Keberadaan Fellaini dan Smalling yang ada di depan mulut gawang dengan mengemban cita-cita meneruskan sepakan Ashley Young membikin Bonucci dan Alex Sandro juga harus bersiaga penuh di depan gawang.
Sialnya, pressing Pogba membuat Bonucci terdistraksi, ia harus mengamankan Pogba sehingga meninggalkan Sandro seorang diri menjaga dua pemain tadi. Alhasil, alih-alih mengamankan gawang, Sandro justru melakukan manuver yang membuat bola terdorong ke gawang sendiri. Juventus buntung, United untung, Mourinho memenangi perjudiannya.
Melihat hitung-hitungan skor, kemenangan 2-1 ini bukan kemenangan akbar bagi United karena cuma berselisih satu gol, itu pun dibantu karena kesalahan individu pemain bertahan Juventus. Namun, bagi Mourinho, kemenangan ini adalah untung besar. Istilah populernya, Mourinho menang banyak.
ADVERTISEMENT
Kemenangannya tak hanya berupa raihan poin penuh untuk United, tetapi daya untuk menempatkan telapak tangannya ke telinga, menunjukkan gesture yang seolah berkata kepada pendukung Juventus dan siapa pun yang menghujatnya sebagai pelatih tak becus, "Mana? Saya mau dengar hinaan kalian sekarang!"
Lebih gila lagi, karena ini tak menjadi perjudian pertama buat Mourinho. Dalam laga Premier League melawan Chelsea misalnya. Mourinho menutup paruh pertama dengan ketertinggalan 0-1. Lantas, yang dilakukannya di babak kedua, terlebih di menit 53 hingga 75 bukannya mengandalkan serangan balik, tapi menekan sejak awal. Yang menjadikan keputusan ini sebagai perjudian karena permainan yang demikian ibarat pedang bermata dua bagi United. Di satu sisi, ia bisa kebobolan lagi karena melupakan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain Manchester United merayakan kemenangan di Turin. (Foto: Miguel MEDINA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain-pemain Manchester United merayakan kemenangan di Turin. (Foto: Miguel MEDINA / AFP)
Di sisi lain, ya, bisa menambah gol. Maka, Mourinho menang dalam perjudiannya. United melepaskan dua gol, mereka batal kalah. Walau laga berakhir seri 2-2, setidaknya Mourinho tak kalah.
Setidaknya, Mourinho 'balik modal', sanggup meredakan cemooh yang dilantunkan suporter Chelsea di Stamford Bridge itu. Keberhasilan yang mungkin membikin Roman Abramovich, konglomerat Rusia yang 'mengusirnya' dari kursi kepelatihan Chelsea geregetan. Rasakan, barangkali itu yang dikatakan batin Mourinho.
Serupa Ivanovitch yang menghabiskan setiap sennya di meja judi, maka Mourinho menghabiskan segala yang tersisa di perjudian taktiknya. Pogba yang babak beluk dihajar pemain bertahan itu bukan menjadi safe bet-nya, tapi itulah yang ia punya. Maka, itulah yang dihamburkannya di menit-menit akhir. Fellaini yanga tak pernah dikenal sebagai sosok mumpuni itu dimasukkannya di menit-menit krusial, tapi hanya itulah kepingan-kepingan uang Mourinho yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Roda roulette diputar, Mourinho harap-harap cemas akan jatuh di angka berapa bola mungil itu. Di akhir laga, Mourinho berteriak dari pinggir lapangan. Serupa Ivanovitch yang mendapatkan lebih dari 200 ribu rubel itu, perjudian tak aman Mourinho pun berujung gemerlap, kemenangan di Kota Turin. Kemenangan yang mungkin akan membuat Mourinho mendapatkan 'Polina-nya': pengakuan sebagai The Special One.
***
Yang berjudi di Old Trafford, bukan hanya Mourinho, tapi juga United. Entah ilham macam apa yang didapat klub sehingga mau mendatangkan Mourinho. United bukan klub sembarangan. Mereka besar karena memberikan nama-nama besar (contohnya Sir Alex Ferguson) ruang dan waktu untuk membentuk identitas.
Klub ini besar dengan satu pengertian bahwa kemenangan di atas lapangan bola harus direngkuh dengan cara yang agung. Namun, Mourinho bukan pelatih yang peduli dengan identitas dan keagungan klub. Yang ia pedulikan hanya kemenangan, seperti apa pun cara permainan tim.
ADVERTISEMENT
Maka, berjudilah keduanya sambil menenteng perhitungan dan keberuntungan masing-masing. Tak ada yang tahu pada akhirnya apakah Mourinho akan berujung buntung atau untung. Namun, selayaknya para penjudi ulung, kemenangan dan kekalahan itu sendiri tak akan pernah sanggup untuk menghentikan mereka bergelut di meja judi.