Julen Lopetegui dan Revolusi Musim Panas di Real Madrid

14 September 2018 14:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Julen Lopetegui memimpin Real Madrid pada pertandingan persahabatan dengan AC Milan. (Foto: AFP/Gabriel Bouys)
zoom-in-whitePerbesar
Julen Lopetegui memimpin Real Madrid pada pertandingan persahabatan dengan AC Milan. (Foto: AFP/Gabriel Bouys)
ADVERTISEMENT
Ada yang tak biasa dari mimik Julen Lopetegui hari itu. Tak biasanya, atau semestinya, seorang pelatih atau pemain memulai hari-harinya di tim baru dengan linangan air mata. Namun, kasus Lopetegui memang spesial.
ADVERTISEMENT
"Kemarin -- setelah kematian ibuku -- adalah hari paling menyedihkan dalam hidupku," ucap Lopetegui dalam prosesi pengenalannya sebagai pelatih baru Real Madrid, Juni lalu, sembari menahan tangis.
Cukup lama Lopetegui terdiam usai mengutarakan kalimat tersebut. Akan tetapi, justru di situlah suasana menjadi riuh.
Para pewarta yang hadir di ruang konferensi pers memberinya aplaus meriah dan itu digunakan Lopetegui untuk mengumpulkan kembali kekuatannya. Setelah itu, barulah Lopetegui menutup dengan berkata, "Tetapi, hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku."
Hari itu, Lopetegui pulang ke rumah yang sudah lama dia tinggalkan. Baginya, Real Madrid memang spesial karena di situlah dia memulai karier bermain dan di situ pulalah dia pertama kali mencuat sebagai seorang pelatih. Kali ini, dia kembali ke Santiago Bernabeu dengan membawa reputasi sebagai salah satu juru taktik terbaik di Eropa.
ADVERTISEMENT
Tiga puluh tiga tahun silam, Castilla menarik Lopetegui dari akademi Real Sociedad. Di tim junior milik Real Madrid itu, Lopetegui membangun kariernya sebagai penjaga gawang.
Meski begitu, kiprah pria kelahiran Asteasu ini sebagai pemain tidak terlalu cemerlang. Di CV-nya memang ada nama Real Madrid dan Barcelona sekaligus, tetapi untuk dua klub raksasa itu, Lopetegui cuma bisa mencatatkan enam penampilan.
Mayoritas karier Lopetegui akhirnya dihabiskan bersama tim-tim gurem. Logrones dan Rayo Vallecano jadi dua klub yang sempat lama dibela oleh pria berpostur 187 cm ini. Berkat penampilannya bersama Logrones, Lopetegui berkesempatan untuk mengenakan kostum Tim Nasional Spanyol pada 1994. Namun, setelah itu karier Lopetegui jalan di tempat.
Setelah pensiun di usia 36 tahun pada 2002, Lopetegui langsung terjun ke dunia kepelatihan. Namun, awalnya terasa begitu sulit bagi dirinya.
ADVERTISEMENT
Pada 2003, dia sempat menangani Rayo -- yang juga merupakan klub profesional terakhirnya -- tetapi masa kepelatihan itu berakhir dengan pemecatan. Lopetegui pun akhirnya memilih untuk mengambil masa hiatus terlebih dahulu.
Lima tahun berselang, Lopetegui akhirnya kembali melatih dan Castilla, lagi-lagi, jadi tempatnya tinggal landas. Sejak itu, dia nyaris tak terhentikan. Kiprahnya bersama Timnas Spanyol junior tak perlu dipertanyakan. Meski sempat tersendat bersama Porto, Lopetegui akhirnya kembali bersinar ketika menangani Timnas Spanyol level senior.
Sayangnya, kebersamaan Lopetegui dengan La Furia Roja itu harus berakhir prematur. Dua hari jelang dimulainya Piala Dunia 2018 yang seharusnya jadi ajang bagi dirinya untuk meraih gelar, Lopetegui dipecat. Penyebabnya, karena dia sudah lebih dulu menerima tawaran Real Madrid untuk jadi pelatih mulai musim 2018/19. Inilah yang membuat Lopetegui harus mengawali segalanya dengan tangis.
ADVERTISEMENT
Namun, kesedihan itu tak bertahan lama. Pemecatannya dari Timnas Spanyol itu pada akhirnya memberi Lopetegui kesempatan untuk berkenalan lebih dini dengan pemain-pemain barunya di Real Madrid. Apalagi, dua pemain depan andalan Real Madrid, Karim Benzema dan Gareth Bale, juga tidak turut berlaga di Rusia.
Dengan skuat seadanya, Lopetegui mulai bekerja dan ternyata, itulah yang dia butuhkan. Di skuat Real Madrid yang seadanya itu terdapat pemain-pemain muda penuh potensi macam Dani Ceballos, Marcos Llorente, serta Jesus Vallejo.
Di sini, pengalaman Lopetegui sebagai pembimbing anak muda berbicara. Pemain-pemain tersebut diajaknya bicara, terutama Ceballos yang musim lalu hampir tak pernah dimainkan Zinedine Zidane.
Marca melaporkan bahwa komunikasi adalah kekuatan utama rezim kepelatihan Lopetegui dan dari situlah dia membangun fondasi tim. Sedari awal, dia sudah menekankan bahwa apa pun gelar yang diraih Real Madrid nantinya, gelar itu tidak didapatkan oleh sebelas orang, melainkan 25 orang yang ada di dalam skuat.
ADVERTISEMENT
Kolektivitas, bagi Lopetegui, adalah kunci. Oleh karena itu, sampai sejauh ini Real Madrid terlihat baik-baik saja sepeninggal Cristiano Ronaldo. Tak cuma baik-baik saja, malah. Lebih dari itu, Real Madrid bahkan telah mampu menunjukkan perubahan nyata di atas lapangan. Identitas baru yang sangat khas Lopetegui itu sudah terlihat jelas dalam tiga pertandingan kompetitif pertama mereka di musim 2018/19.
Dalam kamus Lopetegui, makna kolektivitas tidaklah sama dengan makna yang terkandung dalam kamus milik persepakbolaan Islandia. Kolektivitas milik Lopetegui ini digunakan untuk menyerang sejadi-jadinya, alih-alih untuk bertahan serapat-rapatnya.
Meskipun dibesarkan di kultur sepak bola Madrid, Lopetegui sejatinya adalah penganut filosofi sepak bola Barcelona. Penguasaan bola, bagi pria 52 tahun itu, adalah senjata utama untuk menghabisi lawan. Hal ini sudah terlihat dari catatan statistik Real Madrid sejauh ini. WhoScored mencatat bahwa per pertandingannya Real Madrid bisa menguasai bola sampai 69,1%
ADVERTISEMENT
Catatan tersebut sudah jelas lebih tinggi dibandingkan catatan Real Madrid musim lalu di bawah Zidane yang hanya mencapai angka 56%. Bahkan, catatan statistik Real Madrid itu lebih tinggi dari catatan milik Barcelona yang ada di 66,3%. Selain itu, akurasi umpan Los Blancos (91,2 persen) pun lebih baik dari Blaugrana (88,9%). Dengan kata lain, Real Madrid saat ini lebih Barcelona dari Barcelona itu sendiri.
Catatan ini jelas tidak muncul tiba-tiba. Sedari awal, sejak masa pramusim, Lopetegui memang sudah melakukan pendekatan berbeda. Jika Zidane selalu mengawali latihan dengan adu lari, Lopetegui hampir selalu memimpin latihan dengan bola kecuali saat pemanasan dan ketika ada latihan khusus.
Dari cara melatih itu saja sudah terlihat bagaimana orientasi permainan kedua pelatih. Zidane menginginkan timnya bermain lugas dengan mengandalkan kemampuan individual, kecepatan, serta kekuatan. Mayoritas serangan pun lantas dipusatkan pada pemain-pemain sayap yang memiliki kecepatan dan kekuatan itu tadi.
ADVERTISEMENT
Lopetegui, sementara itu, memusatkan permainannya di tengah, tepatnya pada sosok Isco Alarcon. Kepercayaan Lopetegui terhadap Isco ini adalah satu hal lain yang membuatnya begitu bertolak belakang dengan Zidane. Selama dilatih Zidane, Isco tak pernah mamapu benar-benar menjadi pemain utama, tetapi ketika sudah berlaga di Timnas bersama Lopetegui, eks pemain Malaga itu selalu cemerlang.
Relasi spesial dengan Isco itulah yang kemudian dimanfaatkan betul oleh Lopetegui. Di bawah arahan Lopetegui, Isco menjadi fulkrum permainan. Dialah yang menghubungkan lini tengah dengan lini depan, sisi kanan dengan sisi kiri, serta bek sayap dengan penyerang sayap. Pendek kata, Isco yang dulu pernah jadi pemain sayap di Malaga itu kini telah menjadi pemain Nomor 10 murni.
ADVERTISEMENT
Isco Alarcon, pemain kesayangan Julen Lopetegui. (Foto: AFP/Javier Soriano)
zoom-in-whitePerbesar
Isco Alarcon, pemain kesayangan Julen Lopetegui. (Foto: AFP/Javier Soriano)
Selain peran Isco, yang diubah lagi oleh Lopetegui tentu saja adalah lini depan. Ketiadaan Ronaldo membuat ada satu slot yang kosong dan itu diberikan Lopetegui kepada Marco Asensio. Dalam tiga pertandingan -- satu di Piala Super Eropa dan dua di La Liga -- Asensio selalu bermain sebagai sayap kiri. Sementara, Bale dimainkan di sisi kanan dan Benzema jadi ujung tombak.
Well, di atas kertas seperti itu. Kenyataannya adalah, Bale, Asensio, dan Benzema (Trio BAB) itu tidak pernah diam di 'posisi aslinya'. Benzema selama ini selalu melakukan yang biasa dilakukannya sejak musim lalu: turun ke bawah untuk melakukan link-up dengan Isco, Toni Kroos, atau Ceballos. Sementara, Asensio dan Bale kerapkali bertukar sisi.
ADVERTISEMENT
Bukti efektivitas Bale dan Asensio ketika bertukar sisi ini adalah gol-gol Real Madrid sejauh ini. Dua assist Bale datang dari dua sisi berbeda. Untuk Dani Carvajal pada laga melawan Getafe, assist itu datang dari sisi kiri.
Sedangkan, untuk assist pada Benzema di laga Piala Super Eropa, Bale melakukannya dari kanan. Bukti itu makin sahih ketika Bale mencetak golnya sendiri dari area kanan di laga yang sama.
Dalam diri Asensio pun sama saja. Saat Real Madrid menghadapi Girona, Asensio mampu menghasilkan dua penalti dalam satu laga. Masing-masing penalti itu dihasilkannya di dua sisi permainan yang berbeda.
Pada masa kepemimpinan Zidane, pergerakan para pemain Real Madrid lebih kaku dibanding ini. Memang ada pemain-pemain macam Isco atau Luka Modric yang diberi kebebasan ekstra. Namun, pada prinsipnya, di era Zidane dulu pemain-pemain Real Madrid lebih banyak berkutat di area permainan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Marco Asensio isi tempat Cristiano Ronaldo di Real Madrid. (Foto: AFP/Gabriel Bouys)
zoom-in-whitePerbesar
Marco Asensio isi tempat Cristiano Ronaldo di Real Madrid. (Foto: AFP/Gabriel Bouys)
Kekakuan itu dicairkan oleh Lopetegui karena, kembali lagi, kolektivitas adalah senjata utamanya. Cairnya para pemain Real Madrid dalam menyerang ini juga kemudian dipraktikkan dalam bertahan.
Ketika kehilangan bola, Zidane dan Lopetegui sebenarnya sama-sama selalu memerintahkan para pemainnya untuk melakukan pressing tinggi. Namun, ada perbedaan signifikan dalam eksekusinya. Pada era Zidane, pressing dilakukan dengan para pemain membentuk garis horizontal yang memaksa lawan untuk menyerang lewat tengah -- untuk kemudian diadang oleh Modric, Kroos, dan Casemiro.
Di masa Lopetegui, pressing yang dilakukan lebih ekstrem. Artinya, para pemain Real Madrid bakal membentuk satu kesatuan utuh untuk bergerak menuju pemain lawan yang menguasai bola. Ini membuat kans lawan untuk melepaskan diri atau melepaskan bola jadi lebih kecil. Apa yang dilakukan Lopetegui ini tak jauh berbeda dengan apa yang selama ini diperbuat Pep Guardiola.
ADVERTISEMENT
Adapun, untuk formasi, sampai sejauh ini Lopetegui sudah menerapkan dua pakem berbeda. Dua pertandingan dilaluinya dengan 4-2-3-1 dan satu pertandingan lain dijalankan dengan 4-3-3. Bedanya cuma ada di sosok Isco. Ketika Isco bermain, formasi Real Madrid menjadi 4-2-3-1, tetapi ketika dia absen -- dan digantikan oleh Ceballos -- pakem dasarnya menjadi 4-3-3.
Pada prinsipnya, perbedaaan utama antara Lopetegui dan Zidane adalah bagaimana mereka memandang tim. Bagi Zidane, tim adalah kumpulan individu. Bagi Lopetegui, tim adalah tim, dan sebuah tim harus dijalankan dengan sistem tertentu. Tak ada yang lebih baik maupun lebih buruk. Akan tetapi, di Real Madrid yang sekarang ini, metode Lopetegui memang lebih pas diterapkan.