Karena Messi dan Neymar Memang Harus Dipisahkan

3 Agustus 2017 16:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Messi dan Neymar. (Foto: Reuters/Kim Kyung-hoon)
zoom-in-whitePerbesar
Messi dan Neymar. (Foto: Reuters/Kim Kyung-hoon)
ADVERTISEMENT
"Sedari awal, saya sudah bilang kalau dalam satu kapal, tidak bisa ada dua kapten. Belajarlah dari masa lalu," kata Johan Cruyff pada tahun 2013 lalu. Dua kapten yang dimaksud Cruyff, tentu saja, adalah Lionel Messi dan Neymar.
ADVERTISEMENT
Kata-kata itu terlontar dari mulut Cruyff persis ketika Neymar baru saja datang ke Barcelona. Empat musim berselang, Neymar memutuskan untuk hengkang ke Paris Saint-Germain karena (dikabarkan) ingin menjadi protagonis utama, seperti halnya Lionel Messi.
Cruyff ketika itu tentu tidak asal bicara. Pasalnya, dia pernah menangani tim Barcelona yang memiliki dua "kapten" sekaligus dalam diri Romario dan Hristo Stoichkov. Meski di lapangan hasilnya luar biasa, kedua pemain itu hampir tidak pernah saling bicara satu sama lain. Kebersamaan itu berakhir pada 1995 setelah keduanya angkat kaki dari klub.
Di dunia perpolitikan Indonesia, frasa "tidak mungkin ada dua matahari di satu tempat" pernah menjadi salah satu frasa paling populer. Ketika itu, dua "matahari" yang dimaksud adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Sebagai dua figur paling berpengaruh di puncak perpolitikan RI, keduanya memang dikenal punya hubungan tak harmonis.
ADVERTISEMENT
Pun demikian dengan New York Cosmos pada dekade 1970-an dulu. Kala itu, mereka punya pemain-pemain seperti Pele, Franz Beckenbauer, dan Giorgio Chinaglia. Beckenbauer sendiri memang tidak pernah cari perkara karena dia pindah ke Amerika Serikat justru untuk mencari ketenangan, mengingat belum populernya soccer seperti sekarang ini.
Namun, masalah muncul di antara Chinaglia dan Pele. Meski nama Chinaglia di buku sejarah sepak bola dunia tidak sebesar Pele, lain halnya dengan di Cosmos sana. Di klub yang dibekingi Warner Communications itu, Pele datang lebih dulu. Namun, Chinaglia yang merapat setahun berselang ingin porsi ketenaran yang setara dan hal itu terjadi karena faktanya, kontribusi Long John -- julukan Chinaglia -- memang tidak kalah dari Pele.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kedua pemain ini pun terlibat dalam perang dingin. Well, tidak perang dingin juga sebenarnya karena menurut cerita-cerita yang muncul, Pele dan Chinaglia kerap terlibat adu mulut di ruang ganti. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, mereka sempat hampir adu jotos.
Giorgio Chinaglia dan Pele. (Foto: New York Cosmos)
zoom-in-whitePerbesar
Giorgio Chinaglia dan Pele. (Foto: New York Cosmos)
Contoh kasus lain: Kobe Bryant dan Shaquille O'Neal di Los Angeles Lakers. Meski mampu mendominasi liga bola basket NBA pada awal 2000-an, kedua pemain ini ternyata tidak mampu menahan ego masing-masing. Pelatih Phil Jackson yang sebelumnya pernah menangani tim bertabur bintang, Chicago Bulls, pada dekade 1990-an pun tak bisa mengendalikan dua anak asuhnya ini.
Perseteruan ini akhirnya berakhir ketika Shaq hijrah ke Miami Heat pada tahun 2004, persis setelah membawa Lakers ke final NBA. Sementara itu, Kobe akhirnya bertahan di Staples Center sampai pengujung kariernya.
ADVERTISEMENT
Apa yang dikatakan Cruyff soal "dua kapten" itu memang sudah kerap terbukti. Malah, hal itu sebenarnya sudah jadi rahasia umum dan mereka yang cukup bijak kemudian memilih untuk menghindari hal tersebut. Akan tetapi, tidak semua orang setuju dengan pernyataan Cruyff. Agusti Benedito adalah salah satunya.
Merespons kepergian Neymar, Benedito kemudian melancarkan kritik kepada rezim Josep Maria Bartomeu di Barcelona. Menurutnya, rezim Bartomeu itu tidak becus dalam menjalankan klub karena seharusnya, Messi dan Neymar bukanlah seteru, tetapi lebih seperti raja dan ratu yang saling mengisi.
Benedito anggap Barcelona tak becus. (Foto: Twitter/Busquets Legacy)
zoom-in-whitePerbesar
Benedito anggap Barcelona tak becus. (Foto: Twitter/Busquets Legacy)
Benedito sendiri merupakan mantan calon presiden Barcelona yang dikalahkan oleh Bartomeu. Pada akhir Juni 2017 lalu, Bartomeu sempat meminta bantuan kepada mantan presiden Barcelona, Joan Laporta, untuk mengajukan mosi tidak percaya terhadap rezim Bartomeu.
ADVERTISEMENT
Tak hanya rezim Bartomeu saja yang menjadi sasaran kritik Benedito. Mantan presiden Barcelona yang terlibat dalam transfer Neymar, Sandro Rosell, juga ditarget olehnya. Seperti sudah ramai diketahui, transfer Neymar dari Santos itu kemudian menimbulkan masalah yang merembet ke area hukum.
Belakangan ini, tepatnya pada akhir Juli 2017 lalu, Benedito kembali buka suara. Tak hanya mengkritik Bartomeu, dia juga menyebut Neymar sebagai pemain yang berkelakuan buruk. Alasannya, tak lain dan tak bukan, adalah makin santernya rumor transfer ke PSG kala itu.
Hari Rabu (2/8) malam waktu setempat, Benedito kemudian mengatakan soal bagaimana Messi dan Neymar adalah raja dan ratu di Barcelona. "Saya menggunakan analogi catur di sini dan di catur, Anda tidak akan pernah mengorbankan ratu Anda," katanya seperti dikutip dari BBC.
ADVERTISEMENT
Messi dan Neymar: Raja dan Ratu? (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Messi dan Neymar: Raja dan Ratu? (Foto: Reuters)
"Jika Anda mengorbankan ratu untuk kuda atau gajah, celakalah Anda. Inilah yang terjadi saat ini. Kita sudah menjual pemain terpenting kedua kita dan bagi tim, ini bisa sangat merugikan," pungkas Benedito.
Dalam pernyataannya itu, Benedito menyebut Neymar sebagai pemain terpenting kedua dan sebenarnya, itulah poin utama dari kepindahan Neymar ini. Neymar memilih untuk hengkang karena dia ingin menjadi pemain terpenting, dan bukan terpenting kedua. Di PSG, Neymar akan menjalani peran milik Lionel Messi di Barcelona. Di PSG, semua permainan akan dipusatkan di Neymar seperti Barcelona memusatkan permainan di Messi.
Bagi Barcelona, memiliki Neymar dan Messi sekaligus memang sebenarnya lebih menguntungkan, terutama jika menilik fakta bahwa dalam tiga musim, Trio MSN mampu menyarangkan 364 gol. Jika dirata-rata saja, setiap musim mereka berhasil mencetak lebih dari 120 gol. Dari keseluruhan gol itu, 158 di antaranya merupakan milik Messi, 90 milik Neymar, dan sisanya milik Luis Suarez.
ADVERTISEMENT
Meski catatan Neymar itu adalah yang terburuk di antara ketiganya, tentu kontribusi Neymar tidak bisa diukur dari situ saja. Masalahnya, jika dilihat dari jumlah assist musim lalu saja, Neymar (19) mampu mengungguli Messi (11) dan Suarez (15). Artinya, kalau memang Messi dan Neymar dibilang saling melengkapi, ada benarnya juga.
Neymar memang harus pergi. (Foto: Stringer/REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Neymar memang harus pergi. (Foto: Stringer/REUTERS)
Namun, Neymar adalah seorang penyerang dan tolok ukur kehebatan seorang penyerang tak lain dan tak bukan adalah jumlah gol. Neymar menginginkan itu. Dia ingin agar kehebatannya bisa lebih diakui lagi dan menurutnya, tak ada jalan lain kecuali angkat kaki dari Barcelona. Terlebih, Neymar kini bukan lagi hanya seorang pemain sepak bola. Lebih dari itu, dia adalah seorang selebriti.
Kepindahan dari Barcelona dipercaya bakal semakin meroketkan figur Neymar. Saat ini saja, dia sudah memiliki banyak sponsor, sudah tampil di acara televisi Amerika Serikat, dan diproyeksi oleh Nike untuk menjadi brand ambassador utama pengganti Cristiano Ronaldo. Jika terus bertahan di Barcelona, hal-hal seperti inilah yang dikhawatirkan bakal terhambat jika Neymar terus berada di bawah bayang-bayang Messi.
ADVERTISEMENT
Nah, apabila situasinya seperti ini, rasanya pendapat Cruyff-lah yang lebih tepat. Bahwa Neymar dan Messi adalah dua kapten yang seharusnya tidak mengomando kapal yang sama. Bahwa Neymar memang seharusnya dibiarkan untuk menjadi Neymar alih-alih pelayan Messi.
Selain itu, apa yang dikatakan Benedito itu, pada akhirnya, juga mengandung bias. Pertama, tentu saja karena keinginannya (yang belum kesampaian) untuk menjadi presiden Barcelona. Kedua, dengan status sebagai member klub, tentu apa yang dikatakannya itu mengacu pada yang terbaik untuk Barcelona, bukan untuk Neymar secara pribadi.