Ketika Kompetisi Sepak Bola Thailand Meroket dan Menyalip Indonesia

21 Desember 2017 15:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selebrasi gol jagoan Muangthong United. (Foto: LILLIAN SUWANRUMPHA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi gol jagoan Muangthong United. (Foto: LILLIAN SUWANRUMPHA / AFP)
ADVERTISEMENT
Sanksi yang dijatuhkan Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) kepada Indonesia pada 2015 memiliki pengaruh yang besar terhadap peringkat kompetisi yang dikeluarkan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Di saat negara lain berlomba-lomba memperbaiki kompetisi guna meningkatkan prestasi tim nasional, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indoenesia (PSSI) harus mencari jalan keluar agar perputaran sepak bola tidak berhenti.
ADVERTISEMENT
Sempat menjadi raja di Asia Tenggara pada 2008, saat ini kompetisi Indonesia hanya bertengger di peringkat keenam dan ke-24 di Asia. Yang menjadi persoalan besar dari merosotnya peringkat kompetisi ialah hilangnya jatah klub untuk berlaga di kompetisi Asia, baik Liga Champions Asia (LCA) maupun AFC Cup.
Lupakan soal merosotnya Indonesia. Tahun ini, mahkota raja Asia Tenggara jatuh ke tangan kompetisi Thailand. Harus diakui, dalam beberapa tahun terakhir roda kompetisi Thailand sudah berputar tepat pada tempatnya dan dalam kecepatan yang sempurna.
Dengan kompetisi yang baik, semestinya tak perlu terkejut bila melihat Tim Nasional (Timnas) Thailand sudah mulai menjajaki kekuatan tim-tim raksasa Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, ataupun Arab Saudi.
Bentuk dukungan suporter Timnas Thailand pada final putaran kedua AFF Suzuki Cup 2016 di Rajamangala National Stadium, Bangkok, Thailand, Sabtu (17/12). (Foto: Aditia Noviansyah)
zoom-in-whitePerbesar
Bentuk dukungan suporter Timnas Thailand pada final putaran kedua AFF Suzuki Cup 2016 di Rajamangala National Stadium, Bangkok, Thailand, Sabtu (17/12). (Foto: Aditia Noviansyah)
ADVERTISEMENT
Perputaran roda kompetisi Thailand yang sempurna tentunya tak lepas dari pembenahan yang dilakukan Asosiasi Sepakbola Thailand (FAT). Sebelum benar-benar menjadi raja Asia Tenggara, kompetisi Thailand sempat mengalami jalan terjal.
Kompetisi profesional di Thailand sendiri baru dihelat pada 1996, saat itu FAT mencoba membuat kompetisi dengan nama Liga Primer Thailand (LPT). Banyak klub yang dibentuk intansi pemerintah dan militer yang ikut berpartispasi, sebut saja Port Authority of Thailand dan Royal Navy.
Selama sepuluh tahun bergulir, LPT tak dapat menarik antusiasme masyarakat. Jalan keluar yang dipilih saat itu, FAT mencoba menggabungkan LPT dengan kompetisi di tingkat provinsi, Chonburi kemudian ikut bergabung. Apa yang dilakukan FAT dapat dikatakan berhasil sebab pada 2008, kompetisi Thailand menduduki peringkat kedua Asia Tenggara serta mendapat jatah satu slot untuk berlaga di babak kualifikasi LCA.
ADVERTISEMENT
Hanya butuh tiga tahun bagi Thailand untuk menjadi raja Asia Tenggara dan menggeser kompetisi Indonesia. Itu saat AFC kembali melaporkan penilaiannya pada 2011. Sejak itu kompetisi Thailand terus mengalami perbaikan.
Melalui tangan dingin Presiden FAT, Worawi Makudi, pada 2013 kompetisi di negara Gajah Putih mulai dilirik banyak sponsor. Salah satunya merk mobil ternama asal Jepang, Toyota. Prestasi Makudi tidak sampai situ, ia berhasil menggandeng Presiden Liga Primer Inggris (EPL), Sir David Richards, untuk melakukan negosiasi hak siar Liga Primer Thailand.
Gemuruh suporter Liga Thailand. (Foto: Lillian SUWANRUMPHA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Gemuruh suporter Liga Thailand. (Foto: Lillian SUWANRUMPHA / AFP)
Bersama Sir David Richards, akhirnya hak siar LPT selama tiga tahun jatuh kepada TrueVisions. Jatuhnya hak siar pada TrueVisions membawa pemasukan yang besar untuk LPT, sekitar Rp 240 miliar per tahun.
ADVERTISEMENT
Mulai dari situ, pergerakan industri sepak bola Thailand mulai berjalan dengan baik. Kontrak panjang yang diberikan klub kepada pemain membentuk kompetisi yang lebih profesional.
Untuk terus memperbaiki kompetisi, FAT menerapkan beberapa regulasi dengan tegas, termasuk dana minimal yang harus dimiliki klub per tahun saat akan mengarungi kompetisi. FAT tidak memberikan toleransi kepada klub yang tidak memiliki dana minimal Rp 40 Miliar.
Selain menjaga kesehatan keuangan klub, FAT fokus untuk menghelat kompetisi tingkat junior. Tujuannya satu, agar bakat muda pemain Thailand dapat lebih diasah dan diperhatikan. Maka tak salah jika sampai saat ini banyak pemain Thailand yang berlaga di kompetisi besar Asia, seperti Chanathip Songkrasin.
Profesionalisme kompetisi Thailand sangat kentara saat operator mempublikasikan semua keuntungan selama satu musim. Transparansi inilah yang jarang dilakukan oleh operator kompetisi negara-negara lain, termasuk di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meski pada 2015 sepak bola Thailand dikejutkan dengan kasus pemalsuan dokumen yang dilakukan Worawi Makudi, roda sepak bola Thailand masih saja berputar dengan semestinya. Sebab, semua pihak yang menjadi bagian dari kompetisi ikut andil menjaga perputaran roda tersebut. Tentunya itu tak lepas dari ketegasan dan profesionalisme berada di kompetisi Thailand.