Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Pada 2008 merupakan kali terakhir Kalimantan Timur (Kaltim) disorot seluruh penjuru Indonesia. Tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) dan pembangunan infrastruktur olahraga besar-besaran menjadi aktor utama daya tarik.
ADVERTISEMENT
Dua kompleks olahraga berdiri megah, Kompleks Olahraga Stadion Madya Sempaja dan Stadion Utama Kaltim. Namanya juga kompleks, venue-venue olahraga plus tempat tinggal atlet terintegrasi. Kehadiran keduanya seakan ingin menggeser predikat mercusuar bernama Kompleks Gelora Bung Karno (GBK).
Tak usah ditanya soal kelengkapan dan standar venue. Sebanyak 43 cabang PON 2008 tertampung dan bertanding di arena berstandar internasional. Kaltim lantas menjelma menjadi primadona olahraga Indonesia. Ibarat melempar sinyal bahwa Kaltim siap dibebani tugas menggelar ajang internasional.
Publik kala itu tertuju kepada kualitas Stadion Utama Kaltim atau yang lebih dikenal dengan Stadion Palaran. Semua tribune sudah memakai single seater, lebih dulu ketimbang Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).
Klaim awal, kapasitas stadion dengan dua tingkat tribun itu mencapai 67.000 tempat duduk. Rumput di medan laga berjenis Zoysia Matrella. Sirkuit tartan atletik delapan lajur mengelilingi lapangan utama. Papan skor digital berdiri tegap di utara stadion.
ADVERTISEMENT
Stadion Palaran bahkan punya akses sendiri untuk tamu VIP dan VVIP di lantai dua. Mobil pengantar tamu eksklusif langsung bisa berhenti di depan ruang VIP dan VVIP.
Lalu, ada jalan melingkar hingga tribun teratas yang terletak di sisi kanan dan kiri stadion. Ternyata, dua akses tersebut sengaja dibuat untuk kondisi darurat. Kendaraan semacam ambulans atau pemadam kebakaran sanggup menyisir semua sudut tribun.
Belum lagi bicara fasilitas untuk pemain. Ruang ganti pemain berada di sisi kanan dan kiri lobi utama. Fasilitasnya pun lengkap, mulai dari ruang mandi dan area briefing dilengkapi papan taktik.
Tak heran kemegahan yang ditawarkan Stadion Palaran membuat Timnas Indonesia kepincut berlaga di sana. Benar saja, pada 2014 lalu Timnas U-19 asuhan Indra Sjafri memilih Stadion Palaran sebagai venue melakoni laga Tur Nusantara.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, lampu sorot tak lagi kembali ke Kaltim. Yang ada kini pandangan mata kecewa melihat kondisi stadion yang dibangun dengan biaya sekitar Rp 800 miliar itu.
Terbengkalai. Itulah kata pertama yang terlontar dari mulut Wakil Kepala Humas dan Kesiswaan SKOI (Sekolah Khusus Olahragawan Internasional) Kaltim, Hendra Saputra, saat kumparanBOLA menyinggung Stadion Palaran.
Hendra tak naif. Ia kenal betul soal Kompleks Olahraga Palaran lantaran sudah menjadi petinggi SKOI sejak berdiri pada 2010. SKOI sejatinya menempati Kompleks Stadion Madya Sempaja sejak 2010. Akan tetapi, mulai 2011 Pemerintah Provinsi Kaltim memindahkan SKOI tak jauh dari Kompleks Olahraga Palaran.
“Setelah SKOI di Palaran ini selesai dibangun, kami pindah dari Sempaja. Niat awalnya, setelah PON ini ‘kan tak ada gaung olahraga di Kaltim. Gubernur melihat bagaimana fasilitas peninggalan PON bisa dimanfaatkan. Akhirnya, sejak pindah itu atlet-atlet SKOI yang memakai semua fasilitas Kompleks Olahraga Palaran,” ujar Hendra saat kami temui di SKOI Kaltim, Kamis (25/7/2019).
ADVERTISEMENT
Sebagai wadah pembinaan atlet Kaltim, SKOI selaiknya hanya memanfaatkan fasilitas. Bukan ranah SKOI jika harus pusing memikirkan perawatan. Memang, atlet-atlet SKOI punya kesadaran untuk menjaga dan perawatan seadanya, semisal bersih-bersih saja.
“Kami berada di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim. Kami hanya memanfaatkan infrastruktur. Perawatan fasilitas di Palaran ini sudah punya unit sendiri, namanya Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Unit itu berada di bawah Dinas Pemudan dan Olahraga Provinsi Kaltim,” tutur Hendra.
Dipakai saja sudah untung. Biar kesannya tidak sia-sia banget membangun infrastruktur olahraga sedemikian megah. SKOI cuma tameng untuk menolak anggapan Kompleks Olahraga Palaran terbengkalai.
Tetap saja, predikat tak terawat tersemat di bahu Kompleks Olahraga Palaran. Sejauh mata memandang, kompleks bernilai Rp 2 triliun itu sudah tak lagi tampak megah. Rumput liar setinggi sekitar 40 centimeter menghiasi sekeliling luar stadion utama. Retakan banyak ditemui di bangunan utama stadion.
ADVERTISEMENT
Tartan atletik begitu kusam. Banyak lubang, bergelombang, dan terasa keras. Entah berapa tebal debu-debu yang menyelimuti kursi-kursi tribun. Sampah berserakan. Papan skor digital mahal pun sudah tak berfungsi.
Ruangan-ruangan di dalam stadion sampai ruang VIP pun tampak kumuh. Laba-laba dengan senang hati membuat sarangnya di sana. Hamparan rumput lapangan utama sudah tak seirama. Area sepak mula tak didominasi warna hijau, melainkan lebih menonjol warna tanah.
Rasa masygul memang paling benar menyikapi fakta-fakta Stadion Palaran itu. Mengarahkan jari telunjuk untuk bertanggung jawab pun cukup sulit. UPTD yang bertindak sebagai pengelola cuma bantalan saja. Jika dirunut, sebetulnya Pemprov Kaltim-lah yang punya kewajiban mengelola asetnya.
Unit pelaksana hanya membuat pengajuan anggaran untuk perawatan stadion kepada Dispora sebagai induk. Dispora lantas meneruskan kepada Pemprov, pemilik aset sekaligus uang daerah. Hanya saja, dana yang datang tak sesuai harapan.
ADVERTISEMENT
“(Stadion) ini di bawah sebuah pemerintahan sebagai pemangku kebijakan. Kami hanya mendaftar apa saja kebutuhan untuk perawatan. Anggaran ada, tapi sayangnya tidak bisa untuk merawat semua. Kalau merawat semua itu nilainya besar sekali. Jadi, Dispora dapat berapa dari Pemprov. Lalu turun ke kami berapa. Mereka harus memilah-milah anggaran ke pos-pos yang ada,” ujar Pelaksana tugas Kepala Seksi Stadion Palaran, Gusti.
Benar adanya, anggaran menjadi persoalan utama. Dana perawatan stadion utama saja sudah menguras kocek kantong daerah cukup dalam. Lantas, bagaimana dengan Kompleks Stadion Palaran dengan luas 80 hektare dan punya delapan venue?
Belum lagi Stadion Palaran kudu “berebut” anggaran Pemprov Kaltim dengan Stadion Madya Sempaja. Seperti diketahui, UPTD PKSUM (Pengelola Kompleks Stadion Utama dan Madya) mesti membagi anggaran dari Dispora ke dua seksi di bawahnya, yaitu Palaran dan Sempaja.
ADVERTISEMENT
Lucunya, penyelenggaraan event menjadi faktor utama dalam pertimbangan membagi anggaran. Kurang adil rasanya.
“Anggaran terbagi dua antara Sempaja dan Palaran. Sempaja juga perlu perbaikan, tidak bisa fokus semua ke Palaran. Apalagi Sempaja sering dipakai, banyak event di sana. Kalau di Palaran ini ‘kan jarang event. Bukan berarti Palaran anak tiri. Ada pembagian anggaran sendiri memang. Kalau Sempaja dapat 60%, berarti kami sisanya,” kata Gusti.
Dilema. Cuma gara-gara kesulitan cari uang dari event, anggaran perawatan Stadion Palaran tak diprioritaskan. Dan, bukan salah seksi pengelola Kompleks Stadion Palaran juga tak bisa mencari event untuk mendulang rupiah. Gusti pun dirundung kebingungan menggelar acara.
Akses ke Stadion Palaran biang keladi sulitnya menyelenggarakan event. Jarak dari pusat kota sekitar 20 kilometer, atau satu jam perjalanan. Samarinda seberang. Begitu kata orang menyebut daerah Stadion Palaran.
ADVERTISEMENT
Maksudnya, menuju Palaran harus menyeberangi Sungai Mahakam melewati jembatan Mahakam atau Mahkota Dua. Begitu tiba di Samarinda seberang, keriuhan Kota Samarinda nyaris tak terasa.
Bukit-bukit begitu kokoh menghampar. Traktor-traktor pengeruk yang begitu ganasnya mencakar bukit-bukit. Pemandangan biasa di sana. Sesekali melihat pemukiman penduduk.
Truk-truk kontainer dan pengangkut penghuni setia jalanan Samarinda seberang. Ini penyebab jalan-jalan menuju Palaran rusak. Pintu masuk Kompleks Stadion Palaran ditandai gapura bertuliskan Stadion Utama Kaltim. Gapura berjarak sekitar satu kilometer dari kompleks.
Logika saja, dekat kompleks olahraga pastinya kental aktivitas olahraga. Namun, di Palaran berbeda. Truk-truk justru tampak sibuk berlalu lalang.
Wajar saja orang ogah menggelar event di sana. Kalaupun ada, pastinya misuh-misuh. Tak ada hotel, tak ada tempat perniagaan (semisal saja mal atau pasar modern). Buang-buang waktu dan tenaga melakukan perjalanan jauh.
ADVERTISEMENT
“Event di sini sepi. Orang jarang mau ke sini karena jauh. Jarak yang membuat stadion seperti ini (terbengkalai). Ini dibangun agak ke pinggir. Akses ke sini sudah diperbaiki berulang kali. Namun, rusak terus karena dilewati truk-truk besar,” ucap Gusti.
Kompleks Stadion Madya Sempaja lantas menjadi pilihan. Selain berada di jantung kota, venue-venue di Sempaja juga sudah sesuai kebutuhan. Alternatif lain, masih ada stadion atau gelanggang olahraga Segiri yang ada di tengah kota.
Inilah kenyataannya. Faktor pertimbangan pembagian anggaran memang tampak tak adil. Jika frekuensi penyelenggaraan event dijadikan referensi, seharusnya Pemporv Kaltim mencari solusi bagaimana event di Palaran bisa ramai. Bukan menganakemaskan Sempaja.
Turnamen angin-anginan bertajuk Piala Gubernur Kaltim tak cukup membantu. Perbaikan memang diadakan menjelang turnamen. Setelahnya, kembali tak terutus.
ADVERTISEMENT
“Saya kira visi pembangunan bersama yang tidak ada di Kaltim ini. Semaunya saja. Seandainya mau ekstrem, Pemprov atau yang punya kepentingan memindahkan semua aktivitas di sini. Kalau memang Stadion Palaran ini aset berharga mahal, paksa semua tinggal di sini. KONI, pengurus cabang olahraga, atau Dispora. Bikin ramai,” kata Hendra.
Hendra berbicara sedikit tinggi. Ia tampak jengkel sambil melemparkan perumpamaan.
“Bedanya bangunan yang ada manusianya dan tidak apa? Mana yang lebih cepat rusaknya? Jelas yang tidak ditinggali manusia. Klub saja tidak ada yang mau latihan di sini. Kalau menganggap ini aset mahapenting, tidak ada pembangunan olahraga di pusat kota, tapi di Palaran,” ujar Hendra.
Jauh bisa terbayar, menurut Hendra, dengan beberapa cara. Selain memindahkan aktivitas olahraga ke Palaran, Hendra menyarankan untuk membangun infrastruktur lain, terpenting hotel.
ADVERTISEMENT
Jalur-jalur truk juga diatur kembali kalau ingin akses ke Kompleks Stadion Palaran terjaga. Terakhir, ia melempar cara ekstrem agar Palaran terawat. Menyerahkan pihak ketiga. Itu jalan terakhir.
“Lokasinya dipaksakan. Kasih saja pihak ketiga yang mau mengelola daripada menjadi bangunan purbakala. Sebenarnya bisa berkembang, misalkan ada investor, dia bisa bikin ‘kota’ baru lagi di sini. Selama ini pembangunan yang dilakukan pemerintah hanya terpusat di kota. Miris kalau tak enak dipandang seperti ini. Dari dulu sudah diwanti-wanti setelah PON 2008. Bisa termanfaatkan atau tidak. Jawabannya, ya, 11 tahun setelah PON itu alias sekarang,” tutur Hendra.
Kisah kemegahan Stadion Palaran sekarang ibarat legenda. Usulan menjadi salah satu venue Piala Dunia pun mentah. Cerita orang yang terpesona ada bangunan megah di tengah hutan sirna. Mudah membangun, sulit menjaga dan merawat.
ADVERTISEMENT
Timnas Indonesia kembali merumput di sana, jauh dari harapan. Apalagi, event besar sekelas Indonesia Open Grand Prix Gold Badminton tak lagi mampir ke Palaran seperti pada tahun 2010 dan 2011.