Liga Champions: Seberapa Besar Kans Atletico Madrid Singkirkan Liverpool?

19 Februari 2020 19:39 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertandingan antara Atletico Madrid melawan Liverpool di Wanda Metropolitano, Madrid, Spanyol. Foto: Reuters/Sergio Perez
zoom-in-whitePerbesar
Pertandingan antara Atletico Madrid melawan Liverpool di Wanda Metropolitano, Madrid, Spanyol. Foto: Reuters/Sergio Perez
Diego Simeone tidak membuang banyak waktu. Setelah wasit meniup peluit panjang di Metropolitano, dia segera menghampiri Juergen Klopp, memeluknya, dan berjalan masuk ke ruang ganti dengan mengacungkan tangan yang terkepal.
Simeone keluar sebagai pemenang dalam laga Liga Champions yang digelar Rabu (19/2/2020) dini hari WIB itu. Tim asuhannya, Atletico Madrid, berhasil meraih kemenangan tipis 1-0 atas Liverpool berkat gol cepat Saul Niguez di menit keempat. Setidaknya mereka punya tabungan satu gol untuk leg kedua.
Reaksi Simeone setelah pertandingan itu sebenarnya agak aneh karena amat bertolak belakang dengan sikapnya sepanjang laga. Seakan-akan ada tangan tak tampak yang memutar kenop intensitas Simeone dari 12 menjadi 5. Tiba-tiba saja Simeone berubah menjadi manusia biasa.
Sebelumnya, Simeone tak ubahnya monster. Begitu ganas, begitu agresif, begitu intimidatif tetapi mustahil bagi siapa pun untuk tidak mengarahkan pandang ke arahnya. Sepanjang laga, dia melompat, menyumpah, mengacungkan kepalnya, dan itu membuat Estadio Metropolitano jadi kuali yang menggelegak.
Sikap Diego Simeone di laga melawan Liverpool. Foto: Reuters/Sergio Perez
Dini hari tadi, Liverpool tak cuma berhadapan dengan sebelas pemain di lapangan, tetapi juga puluhan ribu manusia yang berharap mereka pulang dengan kekalahan. Tak heran apabila hasil pertandingan itu ditanggapi dengan nada pahit oleh kubu Liverpool.
Andrew Robertson dan Juergen Klopp, dua perwakilan Liverpool, yang berbicara selepas laga, bertutur dengan nada serupa. Kedua figur itu berkata bahwa Atletico boleh bersenang-senang saat ini, tetapi di Anfield nanti mereka bakal menderita.
"Mereka merayakan kemenangan seperti merayakan gelar juara. Setelah ini ada laga Premier League yang harus kami hadapi, baru setelah itu kita selesaikan semuanya di Anfield," kata Robertson. Di kesempatan terpisah, Klopp berujar bahwa 'laga belum selesai'.
Faktanya, laga memang belum selesai. Masih ada 90 menit lagi yang harus dijalani Atletico di Anfield pada 12 Maret mendatang. Celakanya, di stadion itu, keunggulan agregat bisa tak berarti apa-apa. Tanya saja kepada Barcelona kalau tidak percaya.
Klopp, Robertson, dan para pemain Liverpool lainnya boleh saja merasa kesal dengan apa yang dilakukan oleh Atletico. Akan tetapi, satu hal yang tak bisa mereka sangkal. Yakni, mereka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Atletico, terutama dalam urusan memaksimalkan laga kandang.
Pelatih Liverpool Juergen Klopp saat pertandingan antara Atletico Madrid melawan Liverpool di Wanda Metropolitano, Madrid, Spanyol. Foto: Reuters/Sergio Perez
Sama halnya dengan Simeone, Klopp juga seorang pelatih yang hiperaktif, apalagi jika sedang memimpin anak-anak asuhnya berlaga di Anfield. Selain itu, Liverpool punya mentalitas khas underdog yang selama ini menjadi bahan bakar untuk menaklukkan Inggris dan Eropa.
Dua hal itu, ditambah dengan instruksi taktis jitu dari Klopp, membuat para pemain Liverpool selalu tampil kesetanan setiap kali berlaga di kandang sendiri. Dengan demikian, apa yang diutarakan Klopp dan Robertson tadi sama sekali bukan gertak sambal.
Terakhir kali Liverpool kalah di Anfield adalah pada 23 April 2017. Kala itu, Crystal Palace berhasil mencuri kemenangan dengan skor 2-1. Setelahnya, Liverpool selalu terhindar dari kekalahan. Selama hampir tiga tahun, Anfield menjadi benteng yang tidak tertembus.
Di sisi lain, Atletico punya pengalaman buruk musim lalu, ketika mereka berhasil menundukkan Juventus di Metropolitano tetapi luluh lantak tatkala bertandang ke Allianz Stadium. Di laga melawan Juventus itu, Atletico benar-benar dibuat tidak berkutik.
Pemain Atletico Madrid, Antoine Griezmann (kiri) dan Juanfran, usai dikalahkan Juventus di Leg kedua Liga Champions2018/19. Foto: AFP/Filippo Monteforte
Liverpool punya potensi untuk melakukan hal serupa, apalagi Atletico musim ini berbeda dengan musim lalu. Atletico musim ini berada dalam masa transisi yang sama sekali tidak berjalan mudah. Inkonsistensi jadi kawan karib yang senantiasa menghantui.
Pada bursa transfer musim panas tahun lalu, Atletico kehilangan banyak pemain pilarnya, mulai dari Diego Godin, Filipe Luis, Rodrigo Hernandez, sampai Antoine Griezmann. Sebagai gantinya, sejumlah pemain baru pun didatangkan, termasuk Joao Felix dari Benfica.
Sedari awal, Simeone sudah menegaskan bahwa Atletico yang sekarang tidak akan langsung bisa meraih prestasi dan ucapan itu terbukti. Di La Liga, Atletico cuma bisa meraih 10 kemenangan dalam 24 pertandingan. Di Liga Champions, dua kekalahan mereka derita dalam enam laga fase grup.
Masalah terbesar Atletico adalah produktivitas. Mereka memang masih begitu tangguh dalam bertahan, tetapi itu tidak diimbangi dengan ketajaman saat menyerang. Di antara 10 tim teratas La Liga, Atletico adalah tim dengan produktivitas terburuk kedua dengan catatan 25 gol.
Adaptasi jadi sumber masalah. Atletico sebenarnya memiliki pemain-pemain yang bakal bersinar dengan gaya sepak bola yang lebih ekspansif. Akan tetapi, Simeone menolak untuk mengubah pendekatannya. Dia justru ingin menjadikan pemain-pemain itu lebih berdisiplin dan mau melakukan pekerjaan kotor.
Pertandingan antara Atletico Madrid melawan Liverpool di Wanda Metropolitano, Madrid, Spanyol. Foto: Reuters/Susana Vera
Sesekali, Atletico memang bisa meraih hasil maksimal seperti dalam laga melawan Liverpool tadi, tetapi itu belum tentu terjadi setiap saat karena ada perbedaan besar antara pakem sang pelatih dan materi pemain yang dimiliki yang membuat permainan tim jadi tidak optimal.
Di Anfield nanti, skenario paling masuk akal bagi Atletico adalah dengan melakukan apa yang mereka lakukan di Metropolitano. Mencetak gol cepat, kemudian bertahan. Ini, tentunya, bukan tanpa risiko karena bertahan di kedalaman bisa mengundang lebih banyak marabahaya.
Namun, opsi lain seperti bermain lebih ofensif jelas lebih tidak masuk akal. Jika ini dilakukan, Liverpool bakal punya lebih banyak ruang untuk dieksploitasi. Selain itu, Atletico sendiri memang tak memiliki kapabilitas untuk melakukannya dengan benar.
Jadi, sekali lagi, Klopp dan Robertson benar. Laga belum selesai karena masih ada leg kedua di Anfield. Musim ini, Liverpool baru dua kali gagal menang di kandangnya. Menilik tren tersebut, Liverpool tetap lebih layak untuk difavoritkan lolos ke perempat final.