Lopetegui dan Kesunyian si Kambing Hitam di Madrid-Barajas

30 Oktober 2018 16:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekspresi kecut Lopetegui di bench Madrid. (Foto: Paul Hanna/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ekspresi kecut Lopetegui di bench Madrid. (Foto: Paul Hanna/Reuters)
ADVERTISEMENT
Satu hari setelah kekalahan 1-5 Real Madrid dari Barcelona, Julen Lopetegui berjalan di lorong Bandara Madrid-Barajas sendirian. Di area bertembok kaca itu, anak-anak asuhnya berjalan berkelompok, staf-stafnya mengambil tempat bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Hanya Lopetegui yang berjalan tanpa kawan. Langkahnya tak pelan, tapi tak bisa disebut cepat. Lopetegui berjalan menyeret kopernya sendirian. Kepalanya sedikit menunduk, ia berpakaian setelan jas lengkap, persis seperti yang biasa terlihat dari pinggir lapangan.
Di tribune Camp Nou, ribuan orang merayakan kemenangan di El Clasico. Pemain yang menang membagi histeria bersama pelatih, staf ofisial, penghuni bangku cadangan, bahkan mereka yang menanti dalam harap-harap cemas di bangku penonton. Nyanyian kemenangan menggema dari arah tribune tuan rumah, suar menyala, malam meledak.
Sementara ribuan orang lain meratap liris, menyaksikan tim yang dijagokan menanggung kekalahan kelewat telak di laga yang berarti pembuktikan kejayaan, kekuatan, dan kedigdayaan. Di atas segalanya, El Clasico selalu tentang harga diri. Maka kekalahan akan berancak-cucu menjadi aib yang mencoreng nama besar.
ADVERTISEMENT
Bermenit-menit sebelum malam gemerlap itu merekah, Lopetegui duduk di bench dengan wajah yang tak sedap dipandang. Gol demi gol yang mengantarkan timnya pada kekalahan, kesalahan demi kesalahan yang membuat rupa timnya tak ubahnya para semenjana menjadi hantu gentayangan di sepanjang laga.
Lopetegui menyandarkan hampir seluruh punggungnya, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Entah apa yang berkecamuk dalam kepalanya. Barangkali kemarahan, rutukan, dan kekecewaan berlomba-lomba dengan beringas merebut tempat terbesar. Di tengah-tengah kecamuk itu, terselip ancaman pemecatan yang menjadi karib beberapa minggu belakangan. Ancaman yang berusaha ditepis lewat materi-materi di sesi latihan, lewat nada-nada optimisme di setiap konferensi pers.
Sepak bola membutuhkan kambing hitam untuk setiap kekalahan yang ditanggung. Mereka yang berbicara di hadapan media boleh-boleh saja menampik bahwa kekalahan menjadi tanggung jawab satu-dua orang. Tetapi, di ranah yang begitu menjunjung tinggi kemenangan, kekalahan sama dengan aib. Apalagi, kekalahan telak di laga sarat gengsi.
ADVERTISEMENT
Real Madrid kalah telak 1-5 dari Barcelona di pekan ke-10 La Liga  2018/19. (Foto: REUTERS/Paul Hanna)
zoom-in-whitePerbesar
Real Madrid kalah telak 1-5 dari Barcelona di pekan ke-10 La Liga 2018/19. (Foto: REUTERS/Paul Hanna)
Atas segala hasil buruk yang dikecap Madrid, Lopetegui ditunjuk sebagai kambing hitam. Tak ada yang tahu pasti apakah segala kekacauan ini memang benar-benar menjadi kesalahan Lopetegui seorang. Toh, sesi-sesi latihan tidak dibangun dalam koridor taktik yang sengaja membawa tim pada kekalahan. Skuat yang ditunjuk dan taktik yang diusung, semuanya lahir dari satu rahim yang sama: asa untuk meraih kemenangan.
Tapi, sepak bola bukan ranah yang sarat dengan kepastian. Segala sesuatunya boleh tampak sempurna di dalam sesi latihan, di atas kertas rumusan taktik, dan ruang-ruang analisis. Istilah sederhananya, Lopetegui boleh berencana, tapi hasil pertandingan juga yang menentukan.
Sialnya, segala kekacauan dan peristiwa buruk bakal terasa lebih ringan bila ada yang ditunjuk sebagai kambing hitam. Situasi macam ini harus segera dihentikan, tapi bagaimana bisa dihentikan kalau penyebabnya saja tidak diketahui?
ADVERTISEMENT
Di dalam benak si kalah, melahirkan kambing hitam adalah solusi medis terbaik. Setidaknya, mereka sudah (merasa) tahu apa yang menjadi sumber penyakit. Dan yang namanya sumber penyakit, ia harus dijauhi, tak boleh berdekat-dekatan agar tubuh tak makin terjangkit.
Menjauhi mereka yang dijadikan kambing hitam bukan perkara baru dalam sepak bola. Ingat-ingatlah lagi seperti apa cerita Moacir Barbosa, kiper Brasil pada Piala Dunia 1950 yang bahkan tetap menjadi kambing hitam 44 tahun setelah laga final yang berakhir dengan kemenangan 3-2 untuk Uruguay itu. Pada 1994, Mario Zagallo yang bertugas sebagai asisten pelatih Brasil yang akan berlaga di Piala Dunia melarang Barbosa masuk menemui skuat yang sedang melakukan persiapan di pusat pelatihan.
ADVERTISEMENT
Ada pula cerita David Beckham yang menjadi kambing hitam karena kartu merah yang didapatnya di perempat final Piala Dunia 1998, di laga Inggris melawan Argentina. Kalau mau kasus yang belum lama-lama amat, tentu Loris Karius yang dituding sebagai biang kekalahan Liverpool di final Liga Champions 2017/18.
Atau, Robert Enke yang dilempari botol kosong karena dianggap sebagai biang kekalahan 0-3 dari Istanbulspor di pertandingan pembukanya bersama Fenerbahce. Tudingan-tudingan itu semakin menjadi-jadi, menambah berat beban di pundaknya yang sudah terlanjur masai dihajar depresi, dan pada akhirnya membawa Enke kepada keputusan paling menyedihkan yang bisa diambil oleh seorang manusia: mengakhiri hidupnya sendiri. Enke mati bunuh diri dengan menabrakkan diri pada kereta api yang melaju kencang pada 10 November 2009.
ADVERTISEMENT
Lopetegui berjalan sendirian di lorong bandara setelah kekalahan 1-5 Real Madrid dari Barcelona. (Foto: Dok. as.com)
zoom-in-whitePerbesar
Lopetegui berjalan sendirian di lorong bandara setelah kekalahan 1-5 Real Madrid dari Barcelona. (Foto: Dok. as.com)
Bandara adalah titik yang mempertemukan orang dengan kepulangan atau kepergian. Maka, berjalanlah Lopetegui sendirian di lorongnya sambil menyeret koper yang berisi rentetan kekalahan dan tudingan ketidakbecusan. Mungkin dalam benak Lopetegui, tak masalah walau ia sendirian. Setidaknya, itu menjadi perjalanan yang membawanya pada kepulangan.
Yang diharapkannya, langkah itu mengantarkannya pada rumah yang memberikan tempat, tak peduli sehebat apa kekalahan yang ditanggung pasukannya di lapangan hijau. Menyebut Madrid sebagai rumah untuk Lopetegui tak bisa disebut berlebihan. Empat bulan lalu, Madrid menjadi satu-satunya tempat yang tersisa untuk Lopetegui, tiga hari menjelang laga pertama Timnas Spanyol di Piala Dunia 2018.
Ternyata, tak ada kepulangan di ujung langkahnya yang sendirian itu. Pada Selasa (30/10/2018), Madrid mengumumkan bahwa mereka memecat Lopetegui dari jabatannya sebagai pelatih. Penyebabnya jelas, Madrid bukan klub yang pantas untuk menerima hasil buruk sebagai rangkuman 14 pertandingan awal di lintas kompetisi. Madrid hanya punya tempat untuk kemenangan, gelar juara, dan kejayaan. Klub sehebat Madrid tak punya ruang bagi seorang pesakitan.
ADVERTISEMENT
Maka, berjalanlah Lopetegui sendirian di lorong bandara. Perjalanan sunyi yang mengantarkannya pada kepergian, perjalanan tanpa kawan yang selalu menjadi bagian untuk sesosok kambing hitam.