Megan Rapinoe Menggugat

5 Desember 2019 16:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Megan 'The Viper' Rapinoe dalam acara Glamour Women Of The Year Awards. Foto: Reuters/Andrew Kelly
zoom-in-whitePerbesar
Megan 'The Viper' Rapinoe dalam acara Glamour Women Of The Year Awards. Foto: Reuters/Andrew Kelly
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Megan Rapinoe menjadi pemenang Ballon d'Or 2019 sesungguhnya sangat pantas dipertanyakan. Mengapa pemain yang cuma bermain dalam 6 pertandingan level klub sepanjang tahun dan hanya mencetak 2 gol non-penalti di Piala Dunia bisa terpilih jadi yang terbaik di dunia?
ADVERTISEMENT
Sebagai pembanding, tengok catatan milik striker Belanda, Vivianne Miedema. Pemudi 23 tahun itu sudah mengoleksi 49 gol dan 16 assist sepanjang tahun. Itu membuatnya jadi pencatat gol dan assist terbanyak di FA Women's Super League.
Selain itu, Miedema juga saat ini berstatus sebagai topskorer Liga Champions Wanita dengan koleksi 10 gol. Di Piala Dunia 2019 yang lalu pemain Arsenal ini pun sukses mengukuhkan diri sebagai topskorer. Jangan lupakan, Belanda dibawanya sampai ke final.
Dengan torehan seperti itu, Miedema bahkan tidak masuk dalam tiga besar Ballon d'Or. Dalam pemungutan suara, Rapinoe hanya kalah dari Lucy Bronze dan Alex Morgan. Tak pelak jika atribut pesepak bola terbaik dunia yang disimbolkan lewat trofi Ballon d'Or itu jadi diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Ballon d'Or lantas disebut sebagai kontes popularitas semata. Kemenangan Leo Messi di kategori pria pun tidak membantu. Tak sedikit yang menganggap Virgil van Dijk jauh lebih layak jadi pemenang di kategori tersebut karena kontribusinya yang amat signifikan bagi Liverpool dan Timnas Belanda.
Faktanya, memang benar bahwa Ballon d'Or merupakan kontes popularitas semata. Ini adalah trofi individual yang didapatkan melalui pemungutan suara. Tentunya, subjektivitas memegang kuasa dan reputasi seorang pemain bakal berpengaruh besar terhadap keputusan pemilik suara.
Rapinoe dan Messi sama-sama punya reputasi besar. Kita tak perlu bicara lagi soal Messi. Toh, apa lagi yang perlu dijelaskan? Sepak bola pria memang sejauh ini cuma berkisar di antara Messi dan Cristiano Ronaldo. Suka tidak suka, demikianlah kenyataannya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, mari kita bicara soal Rapinoe. Bahwa kontribusinya untuk Reign FC musim ini sangat minim, itu benar. Bahwa dia cuma bisa mencetak dua gol non-penalti di Piala Dunia 2019, itu juga benar. Namun, angka semata tidak akan bisa menjelaskan kebesaran sosok Rapinoe.
Ada hal-hal tak bisa diukur yang harus dipertimbangkan untuk melihat kebesaran Rapinoe dan inilah yang membedakan wanita 34 tahun itu dengan para kolega prianya.
Leo Messi dan Megan Rapinoe di malam penganugerahan FIFA Best Football Awards 2019. Foto: AFP/Marco Bertorello
Messi dan Ronaldo menjadi besar murni karena apa yang mereka lakukan di lapangan sepak bola. Sementara itu, Rapinoe menjadi besar karena dia menggunakan sepak bola sebagai podium untuk menyuarakan perbaikan bagi umat manusia.
Tapi, tolong bedakan juga Rapinoe dengan Oleguer Presas. Nama yang disebut belakangan juga menggunakan sepak bola sebagai platform berpolitik. Akan tetapi, mantan bek Barcelona itu bukan pemain yang benar-benar hebat di lapangan hijau.
ADVERTISEMENT
Sementara, Rapinoe benar-benar pemain hebat. Di senjakala karier, dia memang tak lagi seeksplosif dulu tetapi tekniknya belum hilang dan dia memiliki kekuatan mental yang membuatnya terus jadi andalan, khususnya di Timnas Putri Amerika Serikat.
Rapinoe mencetak 5 gol di Piala Dunia lalu dan 3 di antaranya lahir dari titik putih, termasuk brace di perempat final kontra Prancis. Banyak yang meremehkan gol dari titik penalti karena dinilai 'mudah' dan merupakan 'hadiah dari wasit'. Namun, tak semua orang bisa mengeksekusi penalti dengan kondisi tertekan.
Piala Dunia 2019 silam jadi saksi bagaimana pemain-pemain terbaik macam Christine Sinclair (Kanada) dan Nikita Parris (Inggris) terpuruk di titik 12 pas. Kegagalan Sinclair dan Parris itu pada akhirnya membuat negara mereka masing-masing tersisih.
Selebrasi ala Randy Orton dari Megan 'The Viper' Rapinoe. Foto: Reuters/Benoit Tissier
Kekuatan mental itu sendiri jadi pembeda antara Rapinoe dan bintang-bintang lain. Ada alasan kenapa Jill Ellis terus memercayai Rapinoe untuk jadi eksekutor ketika dia sebenarnya punya pemain-pemain yang sebetulnya sanggup juga mengemban tugas tersebut. Morgan, misalnya.
ADVERTISEMENT
Rapinoe pun tidak cuma menunjukkan kekuatan mental di dalam lapangan. Di luar lapangan, justru hal itu semakin terlihat. Keberaniannya mengonfrontasi Presiden Donald Trump secara langsung bisa dijadikan contoh. Hal macam inilah yang membuat Rapinoe jadi sosok tiada banding.
Keberanian Rapinoe menyuarakan aspirasi menentang kesewenang-wenangan adalah alasan mengapa dirinya jadi populer dan ini bukan hal buruk. Lagipula, Rapinoe menggunakan panggung yang dia dapatkan untuk semakin melantangkan gaung perlawanannya.
Saat terpilih menjadi pemain terbaik versi FIFA, September silam, Rapinoe sudah memberi pesan agar dunia sepak bola lebih peka terhadap isu-isu sosial, terutama yang berkaitan dengan diskriminasi baik terhadap orang kulit berwarna, wanita, serta LGBTQ.
Di panggung milik FIFA itu Rapinoe memuji Raheem Sterling dan Kalidou Koulibaly yang menggunakan popularitasnya untuk menggemakan perlawanan terhadap rasialisme. Tak ketinggalan, dia juga memberi kredit kepada almarhumah Sahar Khodayari.
ADVERTISEMENT
Khodayari dikenal luas sebagai Blue Girl dari Iran. Pendukung Esteghlal itu meninggal dunia dengan membakar diri setelah dipenjara lantaran ketahuan menonton sepak bola di stadion.
Di Iran, wanita memang sempat dilarang sepenuhnya datang ke stadion sebelum pemerintah mencabut larangan tersebut untuk laga-laga Timnas. Khodayari sendiri sebelumnya selalu menyamar sebagai laki-laki untuk bisa masuk stadion tetapi penyamaran itu kemudian terbongkar.
Di malam penganugerahan Ballon d'Or, Rapinoe tidak bisa hadir. Dia pun hanya muncul lewat sambungan video untuk memberi salam kepada para hadirin dan pihak-pihak yang sudah memilih dirinya. Namun, wanita yang menikah dengan pebasket WNBA, Sue Bird, itu tak berhenti sampai di situ.
Rupanya, setelah penganugerahan selesai, Rapinoe sempat berbicara kepada pemilik hajatan Ballon d'Or, majalah France Football. Di situ dia mengeluhkan minimnya aksi yang dilakukan pesepak bola putra top dunia untuk menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
"Aku ingin berteriak: Cristiano, Lionel, Zlatan, bantulah diriku!" Bintang-bintang ini tidak terlibat dalam apa pun ketika ada banyak sekali masalah di sepak bola pria. Apa, sih, yang mereka takutkan?" ucap Rapinoe.
"Mereka percaya bakal kehilangan segalanya, tetapi itu tidak benar. Siapa yang akan menghapus Messi dan Ronaldo dari sejarah sepak bola kalau mereka bersuara melawan rasialisme atau seksisme?" tambahnya.
Ronaldo sebenarnya pernah menyuarakan pesan anti-rasialisme setelah Koulibaly jadi korban pelecehan rasial suporter Internazionale musim lalu. Akan tetapi, pemain asal Portugal ini sendiri tidak punya reputasi terbaik untuk urusan hubungan antargender.
Pada 2018 lalu tuduhan bahwa Ronaldo telah memperkosa wanita bernama Kathryn Mayorga mencuat ke permukaan. Cara Ronaldo menyikapi kasus itu amat sangat disayangkan karena dia memilih bersembunyi di balik ketiak Juventus dan para pengacaranya.
ADVERTISEMENT
Ibrahimovic punya cerita lain. Pemain Swedia itu sebenarnya sadar akan adanya Islamofobia karena dia mengaku pernah jadi korban. Ayah Ibrahimovic adalah seorang muslim dan itu membuat dirinya sempat dilecehkan oleh suporter lawan.
Akan tetapi, mengharapkan Ibrahimovic membela (persepakbolaan) wanita sama saja dengan menegakkan benang basah. Pada 2013, dia pernah secara terbuka menyebut sepak bola wanita tidak bisa dibandingkan dengan sepak bola pria. Katanya, "Sudahlah. Ini tidak lucu."
Sementara itu, Messi selalu menolak berbicara soal apa pun di luar sepak bola. Dia juga tidak pernah menyuarakan satu kritik sosial pun lewat media sosialnya. Messi selalu bersikap netral tetapi, seperti kata Desmond Tutu, di tengah ketidakdilan, bersikap netral sama saja memihak penindas.
ADVERTISEMENT
Soal ini, sepak bola memang jauh tertinggal dari olahraga seperti basket. Di NBA, ada sosok-sosok seperti LeBron James, Steve Kerr, dan Gregg Popovich yang dikenal sangat aktif melontarkan kritik sosial kepada Presiden Trump. Jangan lupakan pula keberanian Enes Kanter menentang kediktatoran Recep Tayyip Erdogan.
Bahkan, di American football pun ada pemain-pemain Philadelphia Eagles yang begitu woke dan aktif melawan penindasan sosial. Lalu, ada pula Colin Kaepernick yang bahkan harus kehilangan pekerjaan akibat suara lantangnya memerahkan kuping penguasa.
Sepak bola beruntung masih ada sosok seperti Sterling dan Koulibaly yang aktif berjuang melawan rasialisme. Ada pula Hector Bellerin yang dengan tegas pernah mengungkapkan sikap anti-homofobia. Namun, pemain-pemain ini masih jadi minoritas dan suara mereka belum benar-benar terdengar kencang.
ADVERTISEMENT
Tak perlu dijelaskan lagi bagaimana sepak bola adalah olahraga terpopuler di dunia dan Rapinoe benar. Sudah saatnya (bintang-bintang terbesar) sepak bola berhenti bersikap bodo amat terhadap kenyataan yang ada. Mereka punya panggung dan alangkah sia-sianya jika itu tidak digunakan untuk kebaikan.