Manchester City

Mengapa Manchester City Bisa Ditinggal para Bintang Setelah Dihukum UEFA?

17 Februari 2020 16:15 WIB
comment
104
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Leroy Sane kecewa. Foto: Reuters/Phil Noble
zoom-in-whitePerbesar
Leroy Sane kecewa. Foto: Reuters/Phil Noble
ADVERTISEMENT
Manchester City kalang kabut. UEFA mendakwa mereka melakukan pelanggaran Financial Fair Play (FFP). City terancam dihukum larangan berlaga di kompetisi Eropa pada 2020/21 dan 2021/22.
ADVERTISEMENT
Artinya, bukan cuma Liga Champions. Seandainya finis di peringkat empat Premier League 2019/20, City tak boleh berlaga di Liga Europa. Itu berarti, mereka juga terancam berlaga di Piala Super Eropa.
Hukumannya tidak sampai di situ, masih ada denda 30 juta euro dan ancaman pengurangan poin di Premier League yang bukan tak mungkin berdampak pada gelar juara 2013/14.
Para pemain Manchester City merayakan gol. Foto: Reuters/Jason Cairnduff
Skenario terbaik dan terburuk sama-sama bisa menghampiri City. Skenario terbaiknya adalah jika banding mereka kepada CAS diterima dan hukuman tersebut dibatalkan.
Skenario terburuk City bukan diganjar hukuman bertubi tersebut, tetapi diganjar hukuman dan ditinggalkan para pemain dan pelatih. Sudah jatuh, tertimpa tangga.
Pertanyaannya: Mengapa skenario terburuk tadi bisa saja menimpa City?
ADVERTISEMENT
Berkurangnya pendapatan para pemain
City yang sekarang memang klub papan atas. Para pemain bintang berlomba untuk menjadi bagian dari tim. Para pelatih genius dipanggil untuk memimpin tim.
Namun, City tidak seperti tetangganya, Manchester United, yang sudah memiliki nama besar. Ada banyak perubahan radikal yang mesti dilakukan manajemen untuk membuat City sebagai klub yang menarik.
Penunjukan Ferran Soriano sebagai CEO pada 1 September 2012 membawa perubahan pada struktur gaji para pemain dan pelatih. City era baru menerapkan pemberian bonus kepada para pemain terkait keikutsertaan mereka di Liga Champions.
Ferran Soriano dan Khaldoon Al Mubarak. Foto: Reuters/Jason Cairnduff
Tidak perlu bicara sampai juara. Lolos ke Liga Champions saja, para pemain bisa diganjar bonus sekitar 1 juta poundsterling.
ADVERTISEMENT
Itu belum ditambah dengan bonus kontribusi dalam perjalanan tim di Liga Champions musim tersebut. Semakin jauh langkah mereka di sana, tentu jumlah bonusnya semakin tinggi.
Jika City benar-benar tak boleh bermain di Liga Champions selama dua musim, bukan tak mungkin para pemain dan pelatih merasa dirugikan secara finansial.
Situasi tambah tak mengenakkan karena mereka menanggung risiko dari kesalahan yang tidak mereka lakukan. Toh, penyusunan laporan keuangan klub di luar wewenang tim--entah itu pemain atau pelatih.
Pep Guardiola pusing karena Manchester City kalah dari Wolverhampton Wanderers. Foto: REUTERS/Andrew Yates
Kerugian finansial para pemain bukan cuma soal struktur gaji, tetapi juga personal endorsement. Bukan tidak mungkin bahwa perusahaan-perusahaan top mengincar para pemain yang berlaga di kompetisi elite seperti Liga Champions.
Jika mereka dilarang tampil di Liga Champions, personal endorsement tidak akan hilang seluruhnya, tetapi kemungkinan besar akan berkurang. Kalau ini terjadi, tentu pendapatan image right para pemain ikut menurun.
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak mau juara Liga Champions?
Oke, pemain klub Eropa mana, sih, yang tidak ingin mengangkat trofi Liga Champions di akhir musim?
Kompetisi ini jadi yang paling elite di ranah sepak bola Eropa. Saking prestisiusnya, tidak jarang pemain menjadi gelar juara Liga Champions sebagai alasan untuk pindah ke satu klub.
Bukan cerita baru juga bila klub menggelontorkan duit seabrek hanya untuk merekrut pemain-pemain bintang yang dianggap bisa memenangkan mereka di perburuan trofi Si Kuping Besar.
Pemain-pemain Manchester City di Liga Champions 2019/20. Foto: Paul ELLIS / AFP
Toh, tanpa hukuman ini saja ada sejumlah pemain City yang menjadi incaran klub-klub besar. Ambil contoh Leroy Sane. Sejak musim lalu, pemain asal Jerman kerap dikait-kaitkan dengan Bayern Muenchen.
Contoh lainnya adalah Sergio Aguero. Pemain asal Argentina ini sudah berusia 31 tahun. Dalam hitung-hitungan normal, waktunya di lapangan bola sebagai pemain tidak banyak lagi. Dalam usia demikian, Aguero belum sekalipun mencicipi seperti apa rasanya mengangkat trofi Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Tidak heran jika wacana hukuman City diikuti dengan upaya Real Madrid dan Atletico Madrid untuk memburu Aguero. Toh, kedua tim itu sama-sama belum menemukan pengganti sepadan untuk masing-masing juru gedor.
Kevin de Bruyne lelah. Foto: Reuters/Andrew Yates
Pun para pemain bintang lainnya, seperti Raheem Sterling dan Kevin de Bruyne. Bahkan tak cuma para pemain. Pelatih City, Pep Guardiola, juga santer dikaitkan dengan Juventus. Spekulasi yang beredar, ia tengah dibidik sebagai pengganti Maurizio Sarri.
Sederhananya, jika City tidak bisa bermain di kompetisi Eropa--terutama Liga Champions--klub ini akan kehilangan sebagian besar daya pikatnya.
Bagaimanapun, gelar juara liga saja tak pernah cukup bagi klub seperti City. Toh, Sheikh Mansour, juga tidak datang menggelontorkan uang sedemikian banyak hanya untuk menjadikan City sebagai jago kandang.
ADVERTISEMENT
Waktunya mencari Mr. Manchester City
Alessandro Del Piero adalah pemain terbesar Juventus sepanjang masa. Dia punya rekor penampilan terbanyak (705) sekaligus gol terbanyak (290) untuk Si Nyonya Tua. Semua itu dia ambil alih dari Giampiero Boniperti, legenda Juventus dari era 1950-an.
Namun, perjalanan Del Piero dan Juventus tak melulu tentang yang indah-indah. Pada 2006, Juventus terlibat skandal calciopoli.
Akibatnya, Juventus dihukum FIGC dengan didegradasi ke Serie B, mendapat pengurangan poin sebesar sembilan poin, tidak berhak mengikuti Liga Champions 2006/07, serta pencopotan gelar juara Serie A musim 2004/05 dan 2005/06. General Manager Juventus saat itu, Luciano Moggi, juga dilarang beraktivitas di dunia sepak bola seumur hidup
Del Piero adalah anomali. Saat kawan-kawannya hengkang ke klub lain, ia memilih berlaga di Juventus bersama Gianluigi Buffon, Mauro German Camoranesi, Pavel Nedved, dan David Trezeguet.
Tommy Doyle di laga Manchester City vs Southampton. Foto: Reuters/Jason Cairnduff
Katakanlah ini perkara naif. Namun, tidak ada waktu yang lebih baik untuk mencari pemain loyal di situasi terpuruk seperti ini.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini tidak hanya bicara soal pemain bintang atau senior mana yang akan bertahan, tetapi juga kesempatan untuk memanfaatkan para pemain akademi.
Barangkali ini menjadi waktu terbaik bagi penggawa-penggawa muda, seperti Phil Foden, Tommy Doyle, dan Eric Garcia untuk unjuk gigih. Lagi pula, kini skuat U-18 mereka menjadi pemuncak klasemen. Manchester City U-18 unggul enam poin atas runner up sementara, Liverpool, yang mengemas 31 angka.
Cukup ironis juga jika City menggembar-gemborkan visi mereka untuk membangun struktur masa depan, tetapi melakoni musim demi musim dengan mendatangkan pemain bintang 'yang sudah jadi'.
Toh, akademi City juga diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Jika kasus City pada 1906 saja bisa memberi keuntungan bagi klub tetangga, bukan tak mungkin jika situasi muram seperti ini justru membukakan jalan bagi produk-produk akademi asli City.
ADVERTISEMENT
***
Mau nonton bola langsung di Inggris? Ayo, ikutan Home of Premier League Semua biaya ditanggung kumparan dan Supersoccer, gratis! Ayo buruan daftar di sini.
Bagi yang mau nonton langsung siaran liga Inggris bisa ke MolaTV dan bagi yang ingin merasakan kemeriahan Nobar Supersoccer bisa cek list schedule nya di SSCornerID.
Tersedia juga hadiah bulanan berupa Polytron Smart TV, langganan Mola TV, dan jersi original.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten