Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Maret 2019 lalu, Rumah Sakit Aspetar kedatangan tamu spesial. Ialah Neymar, bintang Paris Saint-Germain (PSG) yang ketika itu tengah menderita cedera pergelangan kaki.
ADVERTISEMENT
Kalau melihat sekilas dari luar, bangunan Aspetar tak megah-megah amat. Jangan harap bakal menikmati gedung 50 lantai atau bangunan berbalut marmer Italia seperti yang lazim di Doha, Qatar.
Namun, pasti ada alasan khusus PSG mau menjalin kerja sama dengan rumah sakit swasta tersebut, termasuk sampai memercayakan perihal pengobatan pemain termahalnya.
Bukan cuma PSG sebenarnya. Tim besar lain macam Tottenham Hotspur dan Timnas Aljazair merupakan pelanggan reguler di sini. Begitu pula pelari Mo Farah dan petinju Amir Khan. Jika diakumulasi, lebih dari 35.000 atlet mengunjungi Aspetar setiap tahunnya.
Aspetar memang berbeda dibandingkan pusat-pusat medis di tempat lainnya. Menurut laporan BBC, rumah sakit yang dibuka sejak 2007 itu menyajikan teknologi kelas wahid untuk mengatasi problem-problem medis yang dialami atlet.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh treadmill anti-gravitasi --teknologi yang dikembangkan NASA pada 1990-an. Dengan fitur ini, atlet bisa melakukan aktivitas fisik meski menderita cedera pergelangan kaki atau lutut. Alhasil, kebugaran mereka terjaga dalam fase pemulihan cedera.
Atau, terdapat pula sebuah ruangan berupa studio CGI. Ya, seperti film-film Hollywood. Di sini, atlet bakal mengenakan sejumlah sensor dan pergerakan ototnya bakal tampil di layar dengan format 3D.
Nah, gambar-gambar itulah yang menjadi bekal dokter untuk mengetahui elastisitas, daya tahan, dan kekuatan otot atlet. Hal ini penting untuk memetakan risiko cedera ke depannya, sekaligus menjadi bahan evaluasi untuk kasus-kasus serupa pada masa mendatang.
Jadi, misalkan ada atlet yang mengalami putus otot, dokter akan merekam pergerakan tubuhnya sebelum pemulihan dan setelah pemulihan sekian waktu. Progres penyembuhan pun bisa terlihat dari situ.
ADVERTISEMENT
Itu baru dua teknologi kecil di Aspetar. Masih ada lagi yang lebih menakjubkan, yakni paviliun dengan fitur memanipulasi ketinggian tempat. Paviliun ini bisa menyajikan simulasi ketinggian antara 500 meter sampai 4.500 di atas ketinggian laut. Beda ketinggian, maka kadar oksigennya pun berbeda.
Di paviliun itulah atlet bisa menyiapkan diri jika hendak bertanding di arena dengan ketinggian yang asing. Misalnya yakni Estadion Hernando Siles di La Paz, Bolivia, yang berada di ketinggian 3.640 meter di atas permukaan laut.
Paviliun serupa turut dilengkapi mesin untuk mengukur denyut jantung dan tekanan darah. Dengan begitu, dokter bisa mengukur seberapa tangguh daya tahan atlet di ketinggian tertentu.
"Sampai datang ke Aspetar, saya belum pernah berada di ruangan yang bisa mengubah ketinggian," tutur winger PSG, Angel Di Maria.
ADVERTISEMENT
Kalau membandingkan dengan belahan dunia lain, teknologi manipulasi ketinggian di Aspetar bukanlah satu-satunya. Singapura pun memilikinya di Singapore Sport Institute yang terletak di dekat National Stadium.
Kendati demikian, teknologi di Aspetar menjadi spesial karena berupa paviliun. Terdapat 25 ruangan dengan fitur tersebut.
Oleh karenanya, atlet tidak cuma merasakan sensasi perubahan ketinggian selama sesaat. Mereka juga bisa menetap di sini untuk kebutuhan tertentu.
"Atlet-atlet menghabiskan dua-tiga hari di asrama, menggunakan gawai masing-masing serta menonton televisi, tetapi tetap terkoneksi dengan alat sensor," tutur salah satu pemandu di Aspetar.
Yang membuat Aspetar spesial tidak cuma kemewahan yang dinikmati atlet. Aspetar juga menggelar program pembelajaran bertajuk Visiting Surgeons Programme untuk dokter-dokter pascasarjana dari seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Dokter tentu tak boleh terjun langsung melakukan operasi terhadap atlet. Nah, yang menarik, objeknya bukanlah replika bagian tubuh, melainkan benar-benar bagian tubuh manusia.
Untuk mendapatkannya, Aspetar membutuhkan kerja sama enam kementerian. Sebagian besar anggota tubuh --mayoritas punggung, lutut, dan pergelangan kaki-- diimpor dari Amerika Serikat.
Pembelajaran memang menjadi salah satu pilar penting di Aspetar. Dalam hal ini, mereka juga memprioritaskan riset. Sejak 2007, lebih dari 150 hasil studi dirilis setiap tahunnya. Ada pula konferensi, kunjungan, dan workshop yang memadati kalender Aspetar.
Dari berbagai riset itulah, Aspetar mendapatkan pola ideal untuk menangani cedera atlet. Hasil riset juga disebar ke setiap departemen, termasuk departemen gigi. Anda tak salah dengar. Ada departemen khusus yang menangani gigi karena bagian ini dianggap krusial dalam penanganan cedera, tetapi kerap diabaikan.
ADVERTISEMENT
Di luar bagian-bagian tubuh terabaikan, Aspetar juga memberikan perhatian khusus terhadap pola hidup. Ini sempat diakui manajer Philadelphia 76ers, Brett Brown, yang terkesan dengan penanganan cedera pemainnya, Joel Embiid.
Menurut Brown, Embiid tak cuma menjalani terapi setelah operasi kaki di Aspetar. Dia juga menerima edukasi soal pola dan kebiasaan tidur demi akselerasi pemulihan.
Begitulah Aspetar. Segala yang terdengar asing di dunia medis dan olahraga, benar-benar diterapkan di Aspetar. Itulah mengapa atlet dan tim-tim dari Benua lainnya rela berkunjung ke sini.
"Bahkan di Eropa, pusat medis tidak ada yang sama seperti ini. Aspetar menyediakan semua kebutuhan atlet level atas," kata eks gelandang Manchester City, Yaya Toure.