Michael Robinson Tak Perlu Jadi Pemain Hebat untuk Ditangisi di Hari Kematiannya

1 Mei 2020 16:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Michael Robinson. Foto: Instagram / @liverpoolfc
zoom-in-whitePerbesar
Michael Robinson. Foto: Instagram / @liverpoolfc
Ketika pertama kali diminta untuk menjadi komentator Liga Spanyol, Michael Robinson berkata bahwa 90 dari 100 kata dalam bahasa Spanyol yang ia ketahui adalah sumpah serapah.
Kata-kata aneh itu menjadi pesona Robinson. Para bos mempersilakannya untuk bicara dengan lepas. Menyelipkan umpatan saat berbicara tentang laga tak masalah, yang penting jangan kelewatan.
Bahasa Spanyol Robinson perlahan-lahan membaik, bahkan fasih. Barangkali di antara sekian banyak orang Irlandia, Robinson terdengar paling Spanyol.
Orang-orang Spanyol kemudian memanggilnya sebagai Acento Robinson: Robinson beraksen Spanyol, begitu artinya.
Robinson merupakan salah satu penyerang Liverpool saat menjuarai tiga gelar pada 1983/84. Itu tahun perdana dan terakhirnya berkostum The Reds.
Robinson memang bisa mencetak gol. Akan tetapi, ia bukan pemain kenamaan, bukan pula bintang lapangan.
Berpindah-pindah dari satu klub ke klub lain mungkin membuat Robinson sulit melihat apa yang ada di setiap pertandingan. Semua terjadi dalam sekelebat. Sepak bola seperti tak memberi waktu baginya untuk menjadi karib hangat.
Segala sesuatunya berubah sejak Piala Dunia 1990. Menyadur tulisan Sid Lowe untuk The Guardian, Robinson yang sudah gantung sepatu menyaksikan salah satu laga dari kamar hotelnya.
Stadion Olimpico saat menggelar salah satu Piala Dunia 1990. Foto: GERARD MALIE / AFP
Dalam sekejap mantan pemain Osasuna ini bersyukur karena tak perlu berlaga di Piala Dunia. Bayangkan saja ada berapa ribu penonton yang datang memadati stadion, perkirakan sendiri sebesar apa tekanan yang dipikul pemain yang hendak mencetak gol.
Silakan hitung sebesar apa beban yang dipanggul kiper yang bersiaga di depan gawang. Itu baru penonton yang hadir di stadion. Bagaimana dengan yang menyaksikannya lewat televisi? Pasti lebih banyak.
Hidup sudah kepalang rumit, buat apa mencari penyakit dengan ngotot berlaga di Piala Dunia?
Robinson juga melihat hal berbeda: Kerumunan orang yang bernyanyi lantang, sorak-sorai yang seru, wajah-wajah yang dicat, bendera yang tak henti-hentinya dikibarkan.
Untuk pertama kalinya Robinson menyadari bahwa sepak bola adalah permainan yang cantik. Untuk kali perdana Robinson bertekad, keriaan macam ini harus dirasakan orang-orang yang menonton lewat televisi.
Karena Timnas Kamerun, Piala Dunia 1990 jadi semarak. Foto: GERARD FOUET / AFP
Robinson menjadi satu dengan orang-orang Spanyol setiap Senin malam selama 14 tahun, sejak 1991 sampai 2005. Ia tampil sebagai presenter di program sepak bola bertajuk 'El Dia Despues'. Robinson tidak hanya tampil di depan kamera, tetapi juga memproduseri dan merancang materi bersama timnya.
Program itu tak hanya bicara soal sepak bola secara teknis. 'El Dia Despues' berkisah tentang pengalaman sepak bola orang-orang biasa. Lewat program itu Robinson seperti bicara bahwa kau tidak perlu menjadi pemain atau pelatih untuk dekat dengan sepak bola.
Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, 'El Dia Despues' berarti Sehari Setelahnya. Kisah-kisah dalam laga diceritakan ulang sehari setelah pertandingan.
Apa-apa yang tak terlihat mata karena seantero stadion sibuk mencari kemenangan, dinarasikan ulang oleh Robinson lewat tayangan tersebut.
That's what you've got when you live in Cadiz. Foto: CRISTINA QUICLER / AFP
Robinson wafat pada 28 April 2020 setelah berjuang melawan kanker kulit. Orang-orang Spanyol, terlebih kota tua di pinggir laut bernama Cadiz, akan terus mengenangnya.
Ia begitu mencintai Cadiz. Saking dekatnya, Robinson bahkan sering disebut sebagai anak angkat Kota Cadiz.
Ia merupakan penggemar Cadiz CF, klub asal kota tersebut. Robinson juga tercatat sebagai salah satu direktur klub.
Sebagai bentuk penghormatan, klub mempertimbangkan untuk mengganti nama stadion mereka, Nuevo Estadio Ramon de Carranza, menjadi Michael Robinson.
Pada suatu waktu, Jorge Luis Borges bersama Adolfo Bioy Casares, menulis cerita pendek berjudul Esse Est Percipi.
Cerpen ini berkisah tentang seorang penggemar sepak bola yang tersadar bahwa pertandingan yang selama ini didengarnya via radio adalah khayalan belaka.
Borges, penulis Argentina itu, bukan penggemar sepak bola. Dalam sebuah wawancaranya, ia bahkan menyebut sepak bola sebagai dosa orang Inggris yang tidak akan pernah bisa dimaafkan.
Namun, Borges tidak menulis cerpen ini untuk memaki-maki sepak bola. Borges seperti ingin menyadarkan bahwa sepak bola yang kalian tonton di televisi atau video, yang kalian baca dalam bentuk esai, laporan, atau analisis, hanyalah performa yang dilebih-lebihkan.
Michael Robinson. Foto: Getty Images / Staff
Esse est percipi, to be is to be perceived, apa yang kau percayai itulah realitasmu. Pada akhirnya, lewat cerita itu Borges ingin berkata, jika kau ingin tahu seperti apa sepak bola yang sebenarnya, datanglah ke stadion, bukan sekadar menonton lewat televisi atau membaca dari koran.
Robinson rupanya tak sepakat dengan cerpen itu. Baginya, sepak bola lebih dari sekadar stadion, sepak bola lebih dari laga 90 menit.
Sepak bola juga berkisah tentang orang-orang yang tak pernah menyentuh lapangan. Untuk dan tentang merekalah Robinson bercerita: Sampai sepak bola dalam hidupnya habis, sampai ia mati.
====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona!