news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Napoli sebagai 'Gunung Jiwa' Koulibaly

28 Juni 2019 9:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koulibaly merayakan gol penyama kedudukan. Foto: Reuters/Ciro De Luca
zoom-in-whitePerbesar
Koulibaly merayakan gol penyama kedudukan. Foto: Reuters/Ciro De Luca
ADVERTISEMENT
Jika serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, Kalidou Koulibaly mempunyai Napoli untuk meletakkan kepalanya.
ADVERTISEMENT
Gao Xingjian, penulis asal China yang belakangan menjadi warga negara Prancis, menulis 'Gunung Jiwa' pada 1989. Novel itu pada dasarnya berkisah tentang perjalanan absurd menyusuri Sungai Yangtze.
Disebut perjalanan Gao karena tak ada nama untuk sang tokoh dan konon berdasarkan pengalaman Gao sendiri. Di sini, si tokoh hanya dikenal dengan sebutan ‘aku’.
Gao berbincang banyak di sepanjang perjalanan dengan ‘kau’ dan ‘dia’ yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Dari 'aku' ke 'dia' ke 'kau', begitu terus menerus berulang-ulang. Strategi literasi brilian ini pada akhirnya mengantarkan Gao menerima Nobel Sastra pada 2000.
'Gunung Jiwa' adalah upaya Gao untuk mengontrol sudut pandangnya sendiri. Entah apa yang dicari Gao dalam perjalanannya. Yang jelas, perjalanan ke tempat-tempat baru itu pada akhirnya membebaskan Gao dari prasangka dan aneka jerat lain yang mengakar dalam otak.
ADVERTISEMENT
Para pemain Napoli merayakan gol Kalidou Koulibaly ke gawang Chievo. Foto: REUTERS/Daniele Mascolo
Serupa tokoh 'aku', Koulibaly juga melakukan perjalanan panjang. Bek Timnas Senegal ini tidak berjalan menyusur Sungai Yangtze, tapi perjalanan itu melahirkan efek yang sama dengan Gou.
Kisah sepak bolanya bermula dari Prancis, lalu menyusur Belgia, hingga kini tiba di Italia. Napoli, klub yang dibelanya itu, ada di Kota Naples, Italia Selatan. Di Italia sana, wilayah itu dikenal sebagai sarang penyamun dan gudang mafia.
Segala keindahan, modernisasi, kemewahan, dan kehangatan orang-orang Italia yang digambarkan di film atau buku--hampir semuanya merupakan cerminan kehidupan Italia Utara. Wilayah yang terakhir disebut adalah wilayah yang kaya, pusat industri, pemerintahan, fesyen, bahkan seni.
Sementara, tak ada yang bisa dibanggakan di Italia Selatan. Orang-orang di sana acap disebut sebagai beban negara. Sederhananya, yang baik-baik ada di Italia Utara, yang buruk-buruk ada di Italia Selatan.
ADVERTISEMENT
Maka jangan heran jika Diego Maradona begitu didewakan oleh orang-orang Italia Selatan. Ia adalah jagoannya generasi Napoli yang berhasil menjuarai scudetto untuk kali pertama pada 1986/87. Lewat mahkota juara itu orang-orang Italia Selatan seperti berteriak kepada Italia Utara: “Makan itu semua kekayaanmu! Hari ini kami yang menang!”
Sebegitu bencinya Naples pada Italia Utara sehingga ketika Italia bertemu Argentina di laga semifinal Piala Dunia 1990 berlangsung di Stadion San Paolo, kota itu membelot. Orang-orang Naples memberontak untuk sehari saja dan bersukacita atas kemenangan yang direngkuh Argentina lewat adu penalti.
Suporter Napoli mengibarkan bendera bergambar wajah Maradona di laga melawan Parma. Foto: REUTERS/Ciro De Luca
Kota yang degil, orang-orang yang bengis, hidup yang berantakan--sangkaan seperti itulah yang mencuat jika berbicara tentang Italia Selatan.
Napoli yang dibela Koulibaly itu adalah klub yang belum sanggup melepaskan diri dari kemuramannya. Berulang kali mencoba, berulang kali pula gagal mengalahkan klub asal Turin, Juventus. Cih, lagi-lagi orang utara.
ADVERTISEMENT
Koulibaly memang baru sampai di Napoli pada 2014. Ia tak mengalami sendiri kisah hampir mati bangkrut sebelum diselamatkan Aurelio De Laurentiis pada 2004/05. Tapi, Koulibaly tahu benar rasanya berjuang hampir ke puncak, lalu tergelincir ke bawah akibat kehabisan bensin jelang kompetisi berakhir.
Benar bahwa Napoli tak pernah terlempar dari tiga besar sejak dilatih Maurizio Sarri. Hanya, apalah arti tiga besar tanpa gelar juara? Jangankan Liga Champions, scudetto pun tak mampu direngkuh.
Entah apa yang bercokol dalam benak orang-orang Naples dalam delapan tahun terakhir ketika menyaksikan Juventus delapan kali beria-ria merayakan gelar juara. Dari kisah sepak bolanya pun, orang-orang mengenal Naples sebagai sarangnya kemuraman, tentang mimpi yang tak sampai.
ADVERTISEMENT
Pemandangan Kota Naples Foto: Laurent EMMANUEL / AFP
Tapi, perjalanan yang mengantarkan Koulibaly hingga ke Naples membebaskannya dari sangkaan macam itu. Pertemuannya dengan orang-orang baru meyakinkannya bahwa Naples adalah kota yang hangat.
Dalam tulisannya di The Players' Tribune, Koulibaly bercerita bahwa Naples adalah kota yang paham bagaimana mencintai orang lain dengan sederhana. Cinta ala Kota Naples bukan cinta yang merepotkan. Bukan cinta yang mesti ditunjukkan dengan puisi-puisi rumit, baju-baju berharga selangit, atau makan malam elegan.
“Kota ini mengingatkan saya akan Afrika karena kehangatannya. Orang-orang tidak hanya menoleh kepadamu. Mereka ingin menemui dan menyentuhmu, mereka ingin mengobrol denganmu. Orang-orang di sini tidak perlu memaklumimu karena mereka menyayangimu,” tulis Koulibaly.
Sarri yang pernah melatih Napoli itu dikenal sebagai pribadi urakan. Di mana-mana tingkahnya selalu aneh, mulai dari merokok di pinggir lapangan, menyindir anak-anak didiknya, marah-marah di laga persahabatan, hingga bertengkar dengan wasit.
ADVERTISEMENT
Pelatih Napoli, Maurizio Sarri. Foto: Reuters/Alberto Lingria
Pokoknya, segala hal yang dilakukan Sarri adalah definisi tentang bos yang menyebalkan, bos yang melihat mukanya dari kejauhan saja sudah ingin kau sumpahi sampai tujuh turunan.
Ada satu fragmen yang tak akan mungkin dilupakan Koulibaly jika berbicara tentang Sarri. Koulibaly mendapatkan statusnya sebagai ayah di Naples. Masih di hari kelahiran putranya itu, tepat pada malam harinya, Napoli mesti malakoni laga kandang melawan Sassuolo.
Nah, saat tim sedang melakoni sesi analisis taktik jelang pertandingan, ponsel Koulibaly bergetar lima hingga enam kali. Koulibaly sudah berfirasat bahwa istrinya akan segera melahirkan. Tapi, ini malam pertandingan. Lantas yang ia lakukan adalah sekuat mungkin melawan firasat.
“Saya tahu saya harus konsentrasi di sesi itu. Tapi, lama-lama saya tidak kuat juga. Akhirnya saya berlari ke luar ruangan dan mendapat kabar bahwa istri saya segera melahirkan."
ADVERTISEMENT
Bek Napoli, Kalidou Koulibaly, tertunduk lesu saat timnya dikalahkan Sampdoria. Foto: Reuters/Jennifer Lorenzini
Koulibaly merasa tak punya pilihan. Ia langsung menemui Sarri dan meminta izin untuk tak bertanding karena mesti menemani sang istri.
“Saya langsung bicara kepada Sarri, saya bilang kepadanya: ‘Mister, saya minta maaf, tapi saya harus pergi sekarang! Anak saya sudah mau lahir!’
Tapi, Sarri yang diajaknya bicara itu memang ‘gila’, orang yang seumur hidup bergumul dengan peperangannya sendiri. Sarri menolak permintaan itu. Katanya ia begitu membutuhkan Koulibaly sampai tidak boleh pergi.
“Saya bilang lagi kepadanya: ‘Mister, tapi ini istri saya mau melahirkan! Ini anak saya! Anda boleh menghukum saya, mendenda saya, terserah. Tapi saya harus pergi!'"
"Sarri terlihat stres berat. Ia merokok, merokok, pokoknya merokok terus. Akhirnya dia mengizinkan saya ke klinik, tapi saya juga harus ke tetap ke pertandingan pada malamnya,” kenang Koulibaly.
ADVERTISEMENT
Koulibaly dan Sarri di sesi latihan Napoli. Foto: CARLO HERMANN / AFP
Entah sederas apa keringat dingin yang mengalir di sekujur tubuh Koulibaly. Tidak ada yang tahu sepanik apa ia begitu sadar bahwa Sarri tak memberi izin absen bertanding. Yang jelas, seketika itu juga ia meninggalkan tim dan bergegas ke klinik tempat istrinya melahirkan.
“Anak saya lahir pada pukul 13:40. Kami menamainya Seni. Tapi, pada pukul 16:00 Sarri menelepon saya lagi. Ia benar-benar meminta saya datang. Kalian semua harus tahu, orang ini benar-benar gila!”
Salah besar jika Sarri main-main dengan ucapannya tadi. Koulibaly benar-benar harus datang ke pertandingan.
Keinginan bos seperti Sarri sama dengan perintah. Jadi, jangan coba-coba mencari penyakit. Apa boleh bikin, setelah memberkati sang istri yang masih tertidur usai melahirkan, Koulibaly bergegas ke San Paolo.
ADVERTISEMENT
Atas yang terjadi selanjutnya, Koulibaly berhak mengamuk. Ia berhak untuk membenci Sarri. Begitu sampai di ruang ganti, Koulibaly tidak menemukan nomor punggungnya di daftar pemain.
“Langsung saja saya berteriak kepadanya: ‘Mister! Kamu main-main dengan saya?’ Ia menjawab begini: ‘Mau apa kamu? Itu keputusan saya.’ Saya berkata lagi kepadanya: ‘Mister! Saya meninggalkan anak dan istri saya di klinik karena kamu bilang kamu butuh saya!’ Lalu, ia malah menjawab seperti ini: Lho, kami memang membutuhkanmu. Kami membutuhkanmu di bench!”
Kejadian itu seharusnya membuat Koulibaly muak dengan Napoli. Drama menguras emosi itu sudah sepantasnya membuat Koulibaly mengutuki Sarri tiap kali ia teringat cerita ini.
Skuat Napoli di akhir laga. Foto: Carlo Hermann / AFP
Bagaimana tidak? Sarri bahkan baru memasukkan Koulibaly pada menit ke-68, saat Napoli sudah unggul 2-1. Lagipula, memangnya tidak ada orang lain yang bisa menggantikan? Toh, Sarri juga memiliki anak. Rasanya ia tidak akan lupa seperti apa ketika istrinya melahirkan.
ADVERTISEMENT
Koulibaly tidak sama dengan kebanyakan orang. Perjalanannya ke Naples benar-benar membebaskannya dari sangkaan buruk terhadap apa pun yang ada di kota itu, termasuk tingkah miring Sarri.
Semuak apa pun ia hari itu dengan Sarri, ia tetap turun arena, bergegas mengisi lini pertahanan ketika wasit sudah mempersilakannya masuk. Lewat tekel dan intersepnya, Koulibaly mengusir sangkaan buruk tentang Napoli.
Dengan aksi defensifnya ia menghalau anggapan bahwa Sarri cuma bisa membuat orang-orang di sekitarnya takut dan frustrasi. Bersama teman-temannya ia mengupayakan kemenangan, menanggung kekalahan, lantas membuktikan bahwa perjalanan ke Kota Naples adalah perjalanan yang membebaskannya dari prasangka.
Tidak ada yang tahu sampai kapan Koulibaly tinggal di Naples dan membela Napoli. Kalaupun pada akhirnya memang harus hengkang, ia akan angkat kaki setelah mengucap selamat tinggal untuk Napoli. Selamat tinggal yang sungguh-sungguh, selamat tinggal yang berarti 'aku ingin kau (Napoli) selalu selamat walau kutinggal.'
ADVERTISEMENT