Pelatih-pelatih Italia: Tuan Rumah di Negeri Sendiri

14 Agustus 2018 18:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selebrasi Simone Inzaghi. (Foto: AFP/Marco Bertorello)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi Simone Inzaghi. (Foto: AFP/Marco Bertorello)
ADVERTISEMENT
Ada suatu masa ketika Italia merupakan ladang penghasilan yang subur bagi pelatih-pelatih impor. Ketika sepak bola di negeri semenanjung itu masih seumur jagung, klub-klub Italia lebih doyan menggunakan jasa pelatih asing ketimbang pelatih dari negeri sendiri.
ADVERTISEMENT
Juventus, misalnya. Pada masa-masa awal kepemilikan Keluarga Agnelli yang dimulai pada 1923, klub kelahiran 1897 ini pernah ditangani tiga pelatih asing secara berturut-turut selama tujuh tahun. Duo Hongaria, Jeno Karoly dan Jozsef Viola, menjadi lokomotif dari gerbong kepelatihan Juventus. Setelah Viola dipecat pada 1926, masuklah William Aitken dari Skotlandia sebagai suksesor.
Baru pada 1930 Juventus menunjuk seorang pelatih lokal untuk menjadi nakhoda tim. Carlo Carcano, mantan gelandang yang pernah bermain untuk Ambrosiana (sekarang Internazionale), Alessandria, Atalanta, dan Internaples (sekarang Napoli), ditunjuk menggantikan Aitken.
Sejak saat itu, Juventus hampir selalu dilatih oleh orang Italia asli. Memang ada beberapa pengecualian, terutama pada dekade 1940-an s/d 1970-an ketika Juventus sempat menunjuk sepuluh pelatih asing berbeda, serta pada 2006 ketika mereka menunjuk Didier Deschamps sebagai allenatore. Namun, secara umum Juventus adalah tempat yang nyaman bagi pelatih-pelatih lokal.
ADVERTISEMENT
Bukan kebetulan pula jika pelatih-pelatih terhebat dalam sejarah Juventus juga kebanyakan orang Italia. Sebelum Massimiliano Allegri, ada sosok Antonio Conte, Marcello Lippi, serta Giovanni Trapattoni yang bisa dikedepankan. Bersama mereka, klub asal Turin ini mengalami masa-masa terbaiknya.
Apa yang terjadi pada Juventus ini sama sekali bukan hal asing di Italia. Klub-klub lain, besar maupun kecil, sedari dulu memang lebih suka menggunakan jasa pelatih lokal.
Sama halnya dengan apa yang terjadi di Juventus, di klub lain pun pelatih yang berhasil di Serie A hampir selalu orang Italia sendiri. Nereo Rocco, Carlo Ancelotti, Fabio Capello, dan Arrigo Sacchi contohnya. Pengecualian bisa diberikan pada Helenio Herrera (Argentina) serta Sven-Goeran Eriksson dan Nils Liedholm (Swedia) yang pernah meninggalkan jejak manis di Italia.
ADVERTISEMENT
Memasuki musim 2018/19 situasinya sama sekali tidak berubah. Dari 20 kontestan Serie A, 19 di antaranya dilatih oleh pelatih asli Italia. Julio Velazquez, pelatih Udinese asal Spanyol, jadi satu-satunya nama asing di daftar pelatih Serie A saat ini.
Dengan begitu, Serie A pun menjadi kompetisi yang sangat ramah terhadap pelatih lokal. Kendati pemecatan pelatih di tengah kompetisi adalah hal wajar di Italia, setidaknya kepercayaan para pemilik klub terhadap talenta lokal tak pernah hilang. Dengan keberadaan 19 pelatih lokal, Italia mengungguli empat liga top Eropa lainnya dalam hal kepercayaan terhadap pelatih dari negeri sendiri.
Sebetulnya, situasi di liga-liga lain, kecuali Premier League, memang tidak terlalu parah. Di Bundesliga misalnya, dari 18 klub yang ada, 13 di antaranya dibesut sosok asli Jerman. Di Ligue 1, hanya ada enam pelatih asing. Sementara, La Liga memberi kesempatan pada 15 pelatih lokal. Bandingkan dengan Premier League yang hanya dihuni empat pelatih asli Inggris.
ADVERTISEMENT
Pelatih Juventus, Max Allegri, jelang pertandingan melawan MLS All-Star. (Foto: USA Today/Reuters/Mark J. Rebilas)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Juventus, Max Allegri, jelang pertandingan melawan MLS All-Star. (Foto: USA Today/Reuters/Mark J. Rebilas)
Kepercayaan terhadap nama lokal ini membuat stok pelatih di empat negara tadi tak pernah habis. Jangankan habis, mengekspor ke Premier League saja mereka mampu. Saat ini, di Premier League ada satu pelatih Italia, satu pelatih Jerman, satu pelatih Prancis, serta empat pelatih Spanyol. Ketujuh pelatih tersebut, sebelum mengadu nasib di Inggris, tentu saja sudah lebih dulu bersinar di kompetisi lokalnya masing-masing.
Ambil contoh Maurizio Sarri. Pelatih Chelsea ini merupakan Sacchi kedua di persepakbolaan Italia. Kendati tak punya pengalaman bermain sama sekali, dua orang itu mampu menggebrak jagat persepakbolaan di Italia lewat profisiensi taktikalnya yang sukar ditandingi. Kebetulan, Sacchi dan Sarri sama-sama menganut sepak bola ofensif yang tak banyak dianut di Italia.
ADVERTISEMENT
Kemunculan Sarri dan Sacchi ke permukaan itu menunjukkan bahwa di Italia, kesempatan akan selalu ada kepada siapa pun yang mau dan mampu. Musim ini, sosok Sarri menjelma dalam diri Velazquez yang baru berusia 36 tahun. Pria asal Salamanca itu tidak pernah bermain sepak bola secara profesional dan sudah melatih sejak berusia 15 tahun.
Udinese, bagi Velazquez, adalah tim divisi teratas pertama yang pernah dia tangani. Musim lalu, dia sebetulnya hanya mampu membawa Alcorcon finis di urutan ke-13 Segunda Division. Setelah Massimo Oddo gagal total musim lalu, menunjuk Velazquez sebenarnya merupakan perjudian yang sangat besar. Namun, Udinese adalah ahlinya berjudi. Mereka sudah seringkali berhasil dalam perjudiannya, terutama dalam hal mengembangkan pemain.
ADVERTISEMENT
Perjudian itu tak cuma milik Udinese. Lazio, dengan Simone Inzaghi-nya, pun begitu.
Harus diakui bahwa ada bau keberuntungan dalam terpilihnya Inzaghi sebagai pelatih Lazio. Pada musim 2016/17, Biancocelesti semestinya dilatih oleh Marcelo Bielsa. Akan tetapi, karena merasa tidak cocok, Bielsa akhirnya angkat kaki setelah dua hari. Presiden Lazio, Claudio Lotito, pun kebingungan. Dengan sedikit terpaksa, dia memberi mandat kepelatihan kepada Inzaghi.
Perjudian Lotito itu berhasil. Selama dua musim menangani Lazio, Inzaghi menunjukkan bahwa dia bukan pelatih kacangan. Meski bermodalkan skuat yang tak terlampau mewah, Lazio dibawa Inzaghi finis di urutan kelima pada musim 2016/17 dan 2017/18. Tak cuma itu, satu trofi Supercoppa Italiana pun sukses diraih pada musim 2017/18 usai mengalahkan Juventus.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Lotito itu pernah dilakukan oleh Milan. Ketika masih berada di bawah kendali Silvio Berlusconi, Milan sempat menunjuk Filippo Inzaghi dan Clarence Seedorf sebagai pelatih. Dua nama itu memang akhirnya gagal mengangkat Milan karena satu dan lain hal. Namun, penunjukan yang dilakukan Milan itu adalah tanda dimulainya era baru dalam hidup mereka.
Seedorf belum lama ini ditunjuk menjadi pelatih Tim Nasional Kamerun. Sementara, Filippo Inzaghi sempat mundur dua langkah tatkala menerima tawaran dari Joseph Tacopina untuk melatih Venezia. Bersama klub dari Kota Air itu, Filippo Inzaghi sukses menunjukkan kapasitasnya. Pada musim 2016/17, Venezia dibawanya promosi dari Lega Pro (Serie C) ke Serie B. Setelah itu, pada musim berikutnya, pria 45 tahun itu membawa Venezia lolos ke play-off promosi Serie A.
ADVERTISEMENT
Venezia memang akhirnya gagal di play-off. Akan tetapi, talenta Filippo Inzaghi sebagai pelatih tak terbuang percuma. Sebab, setelah musim 2017/18 rampung, sosok berjuluk Super Pippo itu ditunjuk menangani Bologna di Serie A.
Inzghi juru taktik anyar Bologna. (Foto: GIUSEPPE CACACE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Inzghi juru taktik anyar Bologna. (Foto: GIUSEPPE CACACE / AFP)
Dengan begitu, musim ini Serie A akan memiliki Derbi Inzaghi ketika Lazio dan Bologna bersua. Di dunia kepelatihan, derbi saudara kandung adalah hal langka. Terakhir kali ini terjadi adalah pada musim 1973/74 di Football League Division Two antara Jack dan Bobby Charlton.
Selain Inzaghi bersaudara dan Seedorf, ada dua pelatih lain yang mencuat dengan cara serupa. Lorenzo D'Anna dulunya merupakan andalan Chievo dan kini dia adalah pelatih klub berjuluk Mussi Volanti tersebut. Lalu, ada pula Gennaro Ivan Gattuso di Milan.
ADVERTISEMENT
Satu alasan kuat lain mengapa banyak pelatih Italia bisa berkiprah di negeri sendiri adalah karena mereka punya modal kuat untuk melakukan itu. Kepercayaan dari bos-bos klub itu jelas harus ada, tetapi apa yang mendasari kepercayaan itu tentu tidak bisa dikesampingkan. Para pelatih Italia beruntung karena negara mereka punya Coverciano.
Dengan keberadaan Coverciano, para calon pelatih Italia jadi memiliki tempat yang bagus untuk menuntut serta bertukar ilmu. Di tempat yang berada tak jauh dari Firenze itu, para calon pelatih memang diminta selalu aktif berpendapat. Dengan begitu, ide yang mereka miliki pun senantiasa berkembang. Kultur inilah yang membuat pelatih-pelatih Italia punya keunggulan tersendiri sehingga bisa mendominasi lanskap kompetisi dalam negeri, bahkan jadi juara di tanah orang.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, semua kembali pada bagaimana sepak bola itu sendiri dijalankan. Di Italia, di mana sepak bola selalu dipandang sebagai adu taktik, pelatih adalah sosok paling krusial dalam sebuah tim. Itulah mengapa, Italia tak pernah berhenti menghasilkan pelatih sendiri dan para pelatih itu beruntung karena Calcio selalu membutuhkan orang-orang yang betul-betul memahaminya.