Pembatasan Gaji Pemain 25%: Bagaimana yang Upahnya Cuma Puluhan Juta?

10 April 2020 19:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penjaga gawang Persebaya Surabaya Miswar Saputra (kedua kanan) menangkap bola yang ditendang pesepak bola Persija Jakarta Marko Simic (kanan) dalam lanjutan Liga 1 Indonesia di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Penjaga gawang Persebaya Surabaya Miswar Saputra (kedua kanan) menangkap bola yang ditendang pesepak bola Persija Jakarta Marko Simic (kanan) dalam lanjutan Liga 1 Indonesia di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Pandemi virus corona membuat Liga 1 dan Liga 2 berhenti sementara. Sejumlah dampak negatif bermunculan seiring tak berputarnya roda kompetisi.
ADVERTISEMENT
Finansial klub mengalami krisis karena tak punya pemasukan. Gaji pemain, pelatih, dan ofisial tim mesti dipotong untuk Maret sampai Juni—dengan batas maksimal penggajian 25% dari kontrak sesuai surat keputusan (SK) PSSI.
Malahan, Persita Tangerang tak memakai batas atas penggajian. Klub berjuluk Pendekar Cisadane itu cuma menggaji sebesar 10 persen (April-Juni), dengan catatan upah Maret dibayar penuh.
Pemain khususnya, langsung teriak. Melalui Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI), ketidaksepakatan terhadap SK PSSI disuarakan.
Selain jumlahnya yang terlalu kecil, pemain tak diajak berdiskusi mencari solusi soal gaji. Makanya, APPI membuat surat protes pada 28 Maret lalu.
Rapat Darurat PSSI dan PT Liga Indonesia Baru di Hotel Fairmont, Senin (16/3) Foto: PSSI
“Kami menyikapi dengan surat. Intinya begini, bukan tidak berempati atau tidak mengerti keadaan, melainkan soal ajakan dialog. Tidak ada ajakan berdiskusi dengan kami. Hubungan gaji itu ‘kan antara pemain dan klub. Namun, PSSI mengintervensi terlalu jauh. Padahal, federasi bukan pihak (yang terlibat dalam kontrak).”
ADVERTISEMENT
“APPI punya sikap selanjutnya setelah surat kemarin. Soalnya, kok bisa-bisanya PSSI menentukan jumlahnya. Pemain hanya 25% (maksimal) itu dari mana? Mestinya PSSI memanggil klub, pemain, pemangku kepentingan lain seperti Kemenpora dan PT Liga Indonesia Baru (LIB). PSSI pihak ketiga dalam mediasi seharusnya,” kata Riza Hufaida, kuasa hukum APPI.
APPI lebih lanjut menyebut PSSI tak memikirkan banyak detail sebelum membuat SK. Dengan kata lain, pukul rata dan ambil cara gampang.
“Banyak faktor yang mesti dibahas. Gaji Maret saja seharusnya menjadi poin tersendiri. Seperti diketahui, pemain sudah bekerja, lho, pada Maret. Seharusnya gajinya penuh pada bulan itu. Tidak fair, dong, kalau ikut batas maksimal 25% juga untuk gaji Maret,” ujar Riza saat dihubungi kumparanBOLA.
ADVERTISEMENT
Jangan heran bila penolakan terhadap SK PSSI tak cuma berasal dari pemain. Pemerintah pun ikut menaruh perhatian.
Firman Utina (Presiden APPI) saat dalam acara APPI Awards. Foto: Ferry Adi/kumparan
Menpora sudah memberi imbauan agar federasi mendiskusikan kembali soal hak pemain, pelatih, ofisial, hingga wasit. Komisi X DPR RI setali tiga uang saat rapat dengar pendapat (RDP) beberapa hari lalu.
Pemberian batas atas gaji nyatanya bukan solusi. Pasalnya, gaji setiap pemain, pelatih, hingga ofisial tak ada yang sama.
“Artinya, secara substansial menyamaratakan pembayaran gaji sebesar 25% itu tidak fair. Jangan cuma melihat gaji yang Rp1 miliar saja. Masih banyak lho yang gajinya ratusan juta bahkan hanya puluhan juta. Tidak pas,” tutur Riza.
Baru masalah gaji bulan Maret sampai Juni saja sudah begitu pelik. Bagaimana jika kompetisi musim 2020 tidak bisa dilanjutkan, ya.
ADVERTISEMENT
“Kami tahu soal force majeure, tapi seharusnya masih bisa dibicarakan dulu. Kita semua tidak ingin trauma tahun 2015 (kompetisi dibekukan) terjadi lagi. Pemain ditinggal begitu saja. Kami pun juga menyiapkan alternatif lain jika kompetisi tak berlanjut,” kata Riza.
---
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!