Quique Setien: Pemuja Cruyff yang Selalu Memimpikan Barcelona

14 Januari 2020 8:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Quique Setien mendampingi Real Betis di pertandingan Liga Europa melawan Milan. Foto: AFP/Miguel Medina
zoom-in-whitePerbesar
Quique Setien mendampingi Real Betis di pertandingan Liga Europa melawan Milan. Foto: AFP/Miguel Medina
ADVERTISEMENT
Quique Setien sudah lama sekali bermimpi bisa menjadi bagian dari Barcelona dan mimpi itu akhirnya terwujud. Selasa (14/1/2020) dini hari WIB, pria 61 tahun itu resmi ditunjuk menjadi pelatih Blaugrana menggantikan Ernesto Valverde.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pemain, Setien sebenarnya cukup berbakat. Setidaknya, dia bisa memiliki karier yang stabil di klub-klub divisi teratas Spanyol dan bahkan dipercaya memperkuat La Furia Roja sebanyak tiga kali pada medio 1980-an.
Namun, Setien tidak termasuk golongan elite. Klub terbesar yang pernah dia perkuat hanyalah Atletico Madrid yang mengalami krisis prestasi di akhir 1980-an. Setien pun hanya bisa menjadi penonton ketika Barcelona membangun kejayaaan era modern di bawah asuhan Johan Cruyff.
"Aku ingat ketika Barcelona-nya Johan Cruyff datang. Kamu bermain melawan mereka dan kamu menghabiskan pertandingan dengan mengejar bola," kenang Setien pada 2019 kepada The Coaches Voice.
Quique Setien, penggemar berat Johan Cruyff. Foto: AFP/Damian Meyer
"Sejak itu aku berkata kepada diriku: Inilah yang kuinginkan. Aku ingin menjadi bagian dari tim ini dan mencari tahu bagaimana ini semua bisa terjadi. Bagaimana bisa kamu membuat sebuah tim menguasai bola sepanjang laga sampai-sampai tim lawan tak bisa berbuat apa-apa?"
ADVERTISEMENT
"Itu membuatku benar-benar mencoba menyaksikan sepak bola dengan sungguh-sungguh. Aku menganalisis semuanya untuk memahami apa yang kurasakan dan mencari tahu apa yang ingin kuterapkan ketika menjadi pelatih," tambahnya.
Ya, pada momen itulah Setien sang pelatih lahir. Dia boleh saja membuka dan menutup karier bermain bersama Racing Santander, tetapi kehidupannya sebagai pelatih bermula di pertandingan melawan Barcelona itu.
Setien boleh dibilang merupakan kebalikan dari Valverde. Jika Valverde adalah sosok pelatih pragmatis, Setien adalah seorang idealis. Dia punya ide yang mirip dengan Pep Guardiola meskipun dengan pendekatan praktis yang berbeda. Jika Guardiola menyukai pakem 4-3-3, Setien memilih 4-2-3-1.
Nama Setien benar-benar melejit pada 2015 ketika dipercaya menangani Las Palmas. Sosok yang berposisi sebagai gelandang tengah ketika bermain itu butuh waktu 14 tahun untuk bisa menangani sebuah tim divisi teratas.
Valverde dampingi Barcelona di final Copa del Rey. Foto: AFP/Jose Jordan
Ketika Setien datang pada 2015, Las Palmas tengah berada di zona degradasi La Liga. Di akhir musim, klub asal Kepulauan Canaria itu dibawanya finis di urutan ke-11. Keberhasilan tersebut dia dapatkan lewat perubahan gaya bermain yang fundamental.
ADVERTISEMENT
Las Palmas asuhan Setien berubah menjadi tim dengan cara bermain elegan, dengan umpan-umpan pendek menjadi metode utamanya. Gaya ini terus berlanjut sampai musim 2016/17 dan, lagi-lagi, Las Palmas finis di tempat yang sama dengan musim sebelumnya.
Buat klub sekelas Las Palmas, finis di peringkat 11 klasemen adalah sebuah keberhasilan besar, tetapi kebersamaan mereka dengan Setien tidak berlanjut. Menyusul perselisihan dengan jajaran direksi, Setien memutuskan untuk angkat kaki.
Syukurnya, Setien tak butuh waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan baru. Real Betis yang punya ambisi untuk kembali bersaing di papan atas melihat dirinya sebagai sosok ideal untuk menakhodai tim. Jadilah pada musim panas 2017 Setien ditunjuk sebagai pelatih anyar.
Junior Firpo (kanan) saat membela Real Betis. Foto: CRISTINA QUICLER / AFP
Dengan materi pemain yang lebih bagus ketimbang di Las Palmas, Setien makin menggila di Betis. Dia berhasil mengorbitkan bintang-bintang muda seperti Fabian Ruiz, Toni Sanabria, dan Junior Firpo untuk membawa Betis finis di urutan 6 klasemen.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pada musim kedua, Setien gagal mengulangi prestasi tersebut. Maraknya perubahan di dalam tim, termasuk lewat kepergian Fabian dan Firpo, membuat Betis kehilangan stabilitas. Meski sempat bersaing di zona Liga Champions, Betis terjebak di papan tengah pada pengujung musim.
Penurunan prestasi yang drastis itu membuat Setien kehilangan pekerjaan. Dia pun menganggur sampai akhirnya Barcelona datang mengetuk pintunya.
Barcelona sebenarnya sempat mencoba mengontak dua mantan pemainnya, Ronald Koeman dan Xavi Hernandez, untuk menggantikan Valverde. Akan tetapi, mereka berdua menolak. Selain karena masih punya pekerjaan di tempat lain, Koeman dan Xavi menaruh hormat kepada Valverde.
Akhirnya, Setien-lah yang mendapat jabatan pelatih Barcelona. Dalam diri Setien, Barcelona mendapatkan seorang purist yang semestinya bisa menjawab tuntutan bermain dengan gaya tertentu. Namun, tentu saja, penunjukan ini bukannya tanpa risiko.
Xavi Hernandez memimpin Al-Sadd di Piala Dunia Antarklub 2019. Foto: AFP/Karim Jaafar
Jika prestasi dijadikan ukuran, Setien adalah pelatih gurem. Dia belum pernah menjadi juara di level tertinggi dan belum pernah menangani pemain-pemain bintang seperti yang dipunyai Barcelona. Kemudian, sebagai seorang purist, ketiadaan rencana cadangan bisa mendatangkan problem tersendiri baginya.
ADVERTISEMENT
Risiko-risiko inilah yang tampaknya membuat Barcelona cuma memberi kontrak dua tahun kepada Setien. Mereka sadar akan potensi sang pelatih, tetapi belum cukup yakin dia bisa memaksimalkannya.
Meski begitu, terlepas dari kekurangannya, Setien jelas layak untuk diberi kesempatan. Valverde adalah mantan anak didik Cruyff yang tak mengadopsi filosofinya, sementara Setien adalah pemuja berat Cruyff yang sebelumnya cuma bisa memandang dari kejauhan.
Sekarang, Setien punya kesempatan untuk menjadi bagian dari Barcelona dan meraih kesuksesan. Akan sangat disayangkan jika dia menyia-nyiakan ini.