Food Bite: Perjalanan Rasa Pecel, Cermin Keberagaman Nusantara

3 Oktober 2019 17:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sepiring pecel selalu penuh warna. Potongan berbagai sayuran hijau segar, berpadu dengan warna putih dari taoge, dilekatkan oleh siraman saus kacang berwarna cokelat pekat. Buliran kacang pada sausnya tampak belum terlalu halus, masih agak bergerindil, menambah kaya teksturnya di tiap suapan.
ADVERTISEMENT
Sederhana, namun tak pernah gagal untuk memikat. Mungkin kata-kata ini yang bisa mendeskripsikan cita rasa dari pecel. Hidangan yang telah menjadi menu makanan sehari-hari orang Indonesia ini buktinya menjadi salah satu hidangan favorit Presiden pertama RI, Ir. Soekarno.
Dalam bukunya berjudul Bung Karno & kesayangannya, Guntur Soekarnoputra menceritakan betapa ayahnya tersebut menggandrungi pecel. “Wah, kalau Bapak sedang menikmati, walaupun yang namanya Revolusi Indonesia berhenti pasti Bapak tidak akan ambil pusing!,” begitu tulisnya.
Ia bahkan punya penjual pecel langganan yang kerap disambanginya saat mudik ke Blitar. “Nasi Pecel Blitar yang jadi kegemaran Bapak adalah nasi Pecelnya mbok Rah,” tulis Guntur lebih lanjut.
Pecel Foto: Fauzan Dwi Anangga/ kumparan
Menurut Prof Dr. Ir Murdijati Gardjito, istilah pecel kerap melayangkan ingatan orang ke daerah Madiun atau Blitar di Jawa Timur. Padahal sejatinya, pecel berasal dari bahasa Jawa, yang artinya diperas setelah direbus.
ADVERTISEMENT
Pecel begitu lekat dengan kehidupan orang Indonesia --khususnya Jawa. Bahkan sejak ratusan tahun lalu. Hidangan sayuran segar yang dipadukan dengan siraman saus kacang ini tercatat dalam Serat Centhini, yang ditulis pada tahun 1800 M.
Pada naskah kuno tersebut, sajian pecel kerap dijadikan sebagai menu jamuan bagi para rombongan kerajaan. Dari waktu ke waktu, ia pun tetap jadi hidangan istimewa; disajikan sebagai makanan pesta untuk selamatan dan pertunjukan wayang di daerah Jawa.
Lebih jauh lagi, jejak kemunculan pecel dikisahkan dalam Babat Tanah Jawi. Tepatnya, ketika penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tengah menggeliat.
Pecel pincuk Kalibata Foto: Fauzan Dwi Anangga/ kumparan
Diceritakan, Sunan Kalijaga selaku salah satu Wali Songo sedang bertamu ke Ki Gede Pemanahan di Mataram. Keduanya asyik berbincang, sampai-sampai tak sadar sudah tiba waktunya makan siang.
ADVERTISEMENT
Ki Gede Pemanahan lantas menyajikan sebakul daun-daunan dan sayuran yang sudah direbus, beserta semangkuk saus kacang untuk menjamu Sunan Kalijaga. Rupanya, sang tamu belum mengenal makanan tersebut, dan menanyakannya dalam bahasa Jawa.
“Puniko menopo?,” yang artinya, “Ini hidangan apa?,”
“Meniko naminipun pecel,” Ini namanya pecel, begitu artinya.
“Pecel itu merupakan aneka macam daun-daunan yang dikumpulkan oleh istri saya, kemudian direbus dan dibuang sedikit airnya. Ini sangat nikmat kalau dimakan sambil dicocolkan atau dicampur dengan bumbu kacang ini,” jelas Ki Gede Pemanahan.
Cita rasa bumbu kacangnya yang segar dan manis karena ada campuran asam jawa, gula kelapa, dan bumbu kencur membuat Sunan Kalijaga terheran-heran. Beliau terkesima, sebab ia baru saja berkenalan dengan makanan seenak itu.
ADVERTISEMENT
Pecel sebagai lambang kesederhanaan dan perjalanan
Pecel pincuk Kalibata Foto: Fauzan Dwi Anangga/ kumparan
Selayaknya ragam bahan yang melengkapi sebuah sajian pecel, terdapat berbagai kisah lain mengenai hidangan ini. Konon, pecel dijual oleh masyarakat di sepanjang rel kereta api. Tak hanya di Jawa, namun juga di Sumatra.
“Cerita lain yang berkembang ini adalah suatu pengamatan yang dilakukan para sejarawan yang memperhatikan makanan,” ungkap Prof. Murdijati kepada kumparan.
Ini pula yang akhirnya membuat variasi sajiannya sangat kaya. Tiap daerah punya komposisi elemen pecel yang berbeda. Di Sumatra, misalnya. Pecel dari wilayah tersebut menggunakan berbagai sayuran yang berasal dari daerah yang dilewati oleh rel kereta api.
Sementara, di daerah Jawa Timur, ciri khasnya adalah penggunaan kecipir. Lain lagi di Yogya, yang menambahkan kembang turi putih sebagai campuran pecel. Di Kroya, sajian pecel bahkan dipadukan dengan kecombrang, membuat aromanya makin memikat.
Aneka lauk dalam hidangan pecel Foto: Safira Maharani/ kumparan
Seperti yang dijelaskan dalam buku Makanan Tradisional Indonesia Seri 2: Makanan Tradisional yang Populer karya Prof. Murdijati Gardjito, cita rasa bumbu dari masing-masing tempat juga punya cirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Bumbu pecel di Kediri cenderung punya tekstur yang lebih lembut, dengan cita rasa asin, pedas, dan memakai banyak rempah. Biasanya, ditambahkan pula sambal tumpang untuk sensasi yang unik dan lebih nikmat.
Sementara, pecel di Kota Malang disajikan dengan bumbu kacang yang lebih kasar, plus irisan daun jeruk di atasnya. Kalau di Blitar, bumbunya sedikit lebih halus, lebih berminyak, dan bercita rasa manis gurih.
Sedangkan, sajian pecel khas Madiun biasanya diberi tambahan daun jeruk purut.
Pecel pincuk Kalibata Foto: Fauzan Dwi Anangga/ kumparan
Bisa dibilang, di sepanjang rel kereta api, kita dapat merasakan pecel dengan cita rasa yang beraneka ragam. Ada yang tawar, ada yang sedikit pahit, ada pula yang seperti kemangi.
“Kemudian ada yang sepat seperti bunga kecombrang, sedikit pahit seperti bunga turi, dan sangat menyegarkan seperti kecipir,” tutur Prof. Murdijati.
ADVERTISEMENT
Betapa beragamnya sajian pecel di berbagai daerah ini lantas membuatnya dijuluki sebagai makanan pengembaraan, yang mencerminkan keberagaman bangsa Indonesia.
Sederhana, namun kaya manfaat kesehatan
Pecel pincuk Kalibata Foto: Fauzan Dwi Anangga/ kumparan
Pecel tak cuma memanjakan lidah dan perut semata. Tiap suapannya penuh kebaikan bagi kesehatan.
Proses pengolahannya pun tak muluk-muluk. Hanya direbus, lalu dikonsumsi. Di kalangan teknolog pangan, ia didefinisikan sebagai minimally processed food--makanan yang diproses secara minimal.
Dengan proses sedemikian rupa, kandungan vitamin dan mineral yang ada di dalam tiap elemen pecel tetap terjaga dan bisa terserap maksimal oleh tubuh. Menjadikannya sumber vitamin, mineral, dan serat yang sangat bagus untuk kesehatan.
Bayam, kenikir, kacang panjang, dan tauge mengandung antioksidan tinggi, yang bisa menurunkan kolesterol jahat, hingga mencegah kanker. Tak lupa, kadar seratnya mampu menjaga kesehatan pencernaan.
Pecel pincuk Kalibata Foto: Fauzan Dwi Anangga/ kumparan
Ditambah dengan sambal kacang yang kaya protein, kombinasi dalam sepiring pecel dapat melengkapi kebutuhan nutrisi tubuh.
ADVERTISEMENT
“Pecel ini merupakan makanan alami yang sungguh merupakan simbol penjaga kesehatan,” pungkas Prof. Murdijati.
Sesederhana apapun, pecel nyatanya mampu bertahan meski waktu terus bergulir. Ia begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, membuatnya terus dicari dan dikonsumsi, sebagai warisan kuliner Bumi Pertiwi.