Lipsus, MRT Food Guide, Kuliner di Jakarta

Kisah Tiga Pakar Tenggelam di Kuliner Jakarta

18 Oktober 2019 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hmm... lezattt!! Foto: Dok. Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Hmm... lezattt!! Foto: Dok. Shutterstock

Wisata kuliner urban di Jakarta? Wow, menarik! Pilih naik KRL, TransJakarta, atau MRT ya? Ke restoran mana saja ya? Gimana ya bedain tempat makan yahud dan yang tidak? Jangan khawatir! Tiga pakar kuliner—Kevindra Soemantri, Ade Putri Paramadita, dan Arie Parikesit—berbagi pengalaman wisata kuliner mereka di Jakarta!

“Mereka bilang, kalau kau benar-benar ingin tahu dan mencoba seluruh makanan yang ada di Indonesia, kau harus tinggal di sini selama 40 tahun.” Menatap langsung mata si lawan bicara, Desi Anwar tak main-main dengan apa yang diucapkannya.
“40 tahun.”
Lawan bicaranya, mendiang Anthony Bourdain, manggut-manggut. Dalam episode ke-100 Parts Unknown, Tony berkunjung ke Indonesia, membahas beragam topik dari sejarah peristiwa ‘65, nikmatnya babi panggang dan dampak dari ‘serangan’ wisatawan asing di pesisir Bali, sampai soal kematian yang dicitra berbeda dari pandangan umum Barat.
Keduanya tengah berada di Rumah Makan Surya, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, mengomentari masakan Padang sebagai waralaba fast-food yang lebih dulu hadir sebelum jenama luar mulai terkenal. Bersama mereka, duduk pula Sujiwo Tedjo yang lebih banyak diam dan terlihat canggung menenteng wayang kulit Jawa di rumah makan Padang.
“Tony, kau perlu tinggal di sini untuk waktu yang lama, karena setiap daerah di sini punya keistimewaannya masing-masing,” jelas Desi. Anthony Bourdain manggut-manggut sekali lagi.
Yang terbayang, sajian kuliner nusantara rasanya tak akan habis mau sampai kapan pun kita telusuri. Dan kota, di sela-sela deru dan talunya yang berebut, seolah jadi food court raksasa tempat kita menjajal menu santap pemuas perut satu per satu.
Di Jakarta sendiri, ribuan tempat makan dari restoran berbintang hingga kaki lima membentang di sepanjang jalan ibu kota. Kini, tanpa perlu bingung menjangkau letaknya yang tersebar di berbagai tempat, berbagai pilihan transportasi publik hadir untuk dimanfaatkan warga Jakarta, salah satunya sebagai destinasi wisata kuliner urban.
Mulai dari Commuter Line, TransJakarta, hingga kini Moda Raya Terpadu (MRT) hadir untuk memudahkan hasrat warga Jakarta ber-flaneur ria sembari menjajal makanan, penganan, sampai tempat nongkrong yang sering terlewat di sela kesibukan yang padat.
Untuk jadi patokan, kumparan berbincang dengan tiga pakar kuliner, menuntut mereka berbagi pengalamannya dalam eksplorasi kuliner di Jakarta.
Penulis kuliner, Kevindra Seomantri. Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
Kevindra Soemantri Food journalist. Co-founder TopTables.id. Kuningan, Kamis 3 Oktober 2019
Sebagai seorang food writer, apa pengalaman paling seru saat berburu kuliner menggunakan transportasi umum?
Serunya itu adalah terkadang unexpected. Misalnya saya pernah naik TransJakarta ke Grand Indonesia, di tengah jalan, ingin ke satu restoran. Terus saya pikir, kok bosen ya mal lagi. Coba, ah, turun. Naik TransJakarta turun di Dukuh Atas, saya pikir ada nggak ya di kiri kanan? Kayak restoran di gedung. Karena yang saya tahu, orang itu lupa kalau gedung kantor biasanya nyimpen tempat-tempat makan enak. Engga cuma mal.
Saya waktu itu ingat sepupu saya bilang, di daerah gedung kantor kayak JAL, BOT (Bumiputera Sudirman) itu banyak restoran-restoran Jepang. Saya waktu itu ke Dukuh Atas sama Kyoei Prince, saya masuk ke dalam. Saya masuk ke ujung ke atas, nah itu ada namanya Guemon.
Begitu saya masuk, saya bilang, wah seru banget nih. Masuk terus mesti lepas sepatu, pakai karpet, makan. Wah, itu experience-nya seru ya. Nah, dari situ saya mikir, kalau kita enggak eksplor kaya gitu, kita kadang nggak tahu ada apa di kiri kanan kita.
Kalau pengalaman kulineran dengan MRT, karena MRT itu kan pertama masih baru ya, jadi saya sih belum ada experience yang signifikan. Tapi sempat ngajak beberapa teman saya naik MRT ke Bendungan Hilir dilanjut jalan kaki ke Bopet Mini. Kan di ujung tuh Bendungan Hilir, makan Bubur Kampiun segala macam.
Iga bakar di Kedai Lilie Singkawang, Tanah Abang—600 meter dari Stasiun MRT Bundaran HI. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Menurut Kevin, bagaimana potensi yang dimiliki Jakarta untuk menjadi destinasi wisata kuliner?
Jakarta punya potensi gede banget. Streetfood-nya apalagi. Selain itu juga kebantu dengan adanya MRT. Karena MRT sendiri kan transit oriented development-nya yang akan dikembangin, sehingga wilayah sekitarnya seharusnya jadi pengembangan.
Nah, sebenarnya saya sedang dalam project discussion sama MRT Jakarta untuk bikin Jakarta Food Map, yang memetakan destinasi kuliner disekitar jalur MRT dan map tersebut akan dibagi-bagi secara gratis.
Project ini juga mendapat respon positif dari Pak Edy Junaedy Kepala Dinas Pariwisata DKI. Sepertinya awal tahun depan kita sudah mulai bikin. Karena Jakarta ini perlu ada hal baru nih, apalagi ibukota pindah. Jakarta, what's next? Perlu ada sokongan excitement apa lagi nih di Jakarta, selain bisnis dan jasa? Ya udah, jadikan kota ini sebagai destinasi wisata. Salah satunya adalah wisata makanan gitu.
MRT Food Guide. Desainer: Nadia Wijaya/kumparan
Apa tempat makan yang paling berkesan yang pernah disambangi di sekitar transportasi publik?
Kalau yang dicapai dengan MRT Bopet Mini di Bendungan Hilir sih. Kenapa saya bilang paling berkesan? Karena saya dulu jarang ke Bendungan Hilir. Tapi karena ada MRT sekarang, saya bisa langsung ke sana terus jalan kaki ke Bopet Mini.
Punya kriteria khusus saat eksplorasi tempat makan?
Sebagai seorang penulis makanan, tidak ada acara lain kita untuk bisa memperkaya ensiklopedia lidah, selain dengan makan. Sehingga saya tidak ada batasan saat eksplorasi. Budget saya setiap bulan bisa habis banyak cuma buat makan. Baju, gadget, nantilah itu. Kalau makan saya udah kayak bodo amat.
Kalau misalnya lagi makan siang gitu ya, saya tidak pernah ada budget. Paling boros di situ memang. Saya pribadi, kalau dibatesin, saya jadi tidak enjoy. ‘Duh gue pengen coba ini nih, gue pengen coba ininya.’
Kayak misalnya Sop Buntut Cut Meutia yang di gang Masjid Cut Meutia dalam itu harganya sekitar Rp 48-52 ribu. Tapi dia punya sop buntut itu bersih, clear, gurih. Ada cerita kalau dulu Bogor Cafe dulu ngambilnya dari situ. Tapi kalau saya enggak coba dengan harga segitu ya saya tidak tahu rasanya kayak gimana, ceritanya kayak gimana. Jadi buat saya sebetulnya harga itu penting, tapi tidak terlalu penting sekali. Karena saya coba experience-nya.
Food storyteller, Ade Putri Paramadita. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Ade Putri Paramadita Food Storyteller. Host Akarasa Vice Indonesia Jl. Dharmawangsa II, Kamis 3 Oktober 2019
Menurut kamu, apakah ada benang merah atau identitas khusus pada tempat makan atau kuliner di sepanjang jalur MRT?
Menurutku kebetulan kuliner yang ada di sekitaran MRT itu nggak ada spesifikasi khusus. Mereka seperti meng-create kebutuhan makan orang pada umumnya. Jadi engga ada yang spesialisasi kayak, ya lihat aja makanannya tuh apa sih yang ada? Paling seperti pecel ayam, nasi goreng. Jadi seputar sesuatu yang mudah dan banyak minatnya. Kayak coffee shop juga. Bukan sesuatu yang sebenarnya sudah established sebagai sebuah rumah makan yang spesifik dari daerah tertentu gitu.
Kalau membicarakan soal ciri khas, lebih ke comfort food-nya orang Indonesia. Makanan yang nyaman dikonsumsi sehari-hari. Karena kalau Anda ngomongin yang di Jakarta, pasti dia lebih mudah menjual soto ayam yang secara lidah di orang Jakarta udah kenal dari zaman dulu ketimbang Coto Makassar. Terus, misalnya, lebih mudah jual bubur ayam dibanding Bubur Manado.
Bagaimana peluang membuka bisnis kuliner di sekitar jalur MRT?
Tentu sangat besar, tinggal bersaing dari segi kreativitas saja. Tapi bukan kreatif dalam memodifikasi menu, melainkan kreatif dalam menghadirkan jenis makanan apa lagi nih yang belum ada di sekitar kawasan tersebut dan apa saja yang sudah tersedia.
Dengan mengetahui kuliner apa yang belum tersedia di sekitar jalur MRT, kita bisa mengakomodasi yang diinginkan masyarakat yang belum ada di situ. Kalau semua orang udah punya nasi pecel, “Oh, ada opsi lain loh,” misalnya ada sate ayam atau mungkin roti bakar dan lain-lain.
Punya pengalaman naik transportasi umum hanya untuk jelajah kuliner di Jakarta?
Saya sangat suka ke Glodok. Suatu hari sempat mengajak teman ke sana saat weekend, karena tahu pasti ribet cari parkir dan lain-lain. Akhirnya kami memutuskan naik MRT dan disambung dengan TransJakarta. Tapi memang sebenarnya dari dulu saya pengguna public transportation, cuma sekarang ini akhirnya bisa mengajak orang lain ikut serta dengan adanya MRT ya, bukan TransJakarta.
Karena tak dapat dipungkiri keberadaan MRT itu sendiri dari segi fasilitasnya tampak lebih menggiurkan buat orang-orang. Misalnya waktu MRT mulai eksis, orang compare-nya tuh langsung sama Singapore. Belum lagi dengan tawaran tidak kena macet dari MRT semakin menggiurkan bagi para pengguna transportasi umum.
Kalau dibandingkan dengan transportasi umum lainnya, misalnya TransJakarta. Mau senyaman apapun TransJakarta tetap ada titik-titik di mana harus berhenti dan nunggu, kalau MRT enggak. Jadi kemudahan-kemudahan itu yang akhirnya membuat orang-orang kayak, “Ya udah nih gampang nih tinggal turun MRT ini terus jalan sedikit.”
Sebagai destinasi kuliner, Glodok punya apa saja? Apa rekomendasi kamu?
Di Glodok luar biasa banyak destinasi kuliner yang dapat dikunjungi. Misalnya kalau Anda datangnya sore, saya akan menyarankan untuk makan Nasi Ulam Misjaya yang terletak di depan Klenteng Toasebio dan di situ pasti ada yang jual es kelapa dan es jeruk untuk teman menyantap nasi ulam. Terus kalau datangnya pagian, ada Nasi Tim Ayam Pasar Pagi yang buka hanya dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore. Tempat makan itu sudah banyak yang meniru, tapi yang aslinya ada di dalam pasar di lantai 2.
Kalau datangnya malam juga di pasar tersebut ada yang jual sop ikan merah, sebenarnya itu bukan seleraku sih. Tapi tahu gorengnya bagus banget dan dia unik karena kalau Anda datang untuk makan di sana bentuk tempat makannya bukan berbentuk restoran yang dapat kita bebas pilih tempat duduknya. Tempat makan ini tidak bernama, namun biasanya ada seorang perempuan tua yang berdiri di ujung gang. Dia akan bertanya, kepada orang yang melintas “Mau makan? Berapa orang?” Kalau sudah ketahuan jumlah makannya untuk berapa orang, baru dikeluarin mejanya sama dia. Terus nanti dimasakin.
Kemudian bakso kampung yang namanya Bakso Adam. Si pemilik bakso sebelumnya jualan VCD, terus nggak laku, karena sudah mulai bangkrut kemudian banting setir jadi pedagang makanan. Dan antrean baksonya selalu ramai, tampilannya sederhana, hanya menggunakan gerobak dorong dan deretan kursi plastik di sepanjang trotoar untuk para pembeli yang ingin makan di tempat.
Arie Parikesit. Foto: Instagram/@arieparikesit
Arie Parikesit Host #KelanaRasaTransTV Rabu, 16 Oktober 2019
Pengalaman mana yang paling berkesan saat berburu kuliner menggunakan transportasi publik?
Salah satu yang berkesan waktu itu saat saya sempat kedatangan tamu, teman-teman exchange student dari beberapa negara di Asia. Ada dari Cina, Korea, Taiwan. Mereka minta diantar untuk icip-icip kuliner di Jakarta. Saat itu mereka ada sekitar 10-12 orang dan request untuk naik kendaraan umum.
Akhirnya kita janjian di salah satu halte TransJakarta dan menuju Jalan Sabang. Di sana kami menyantap sate kambing yang enak, sate ayam madura, rujak hingga es selendang mayang. Setelah itu kita ke Benhil. Kita cobain makanan-makanan khas Minang, ada Bopet Mini, kita coba nasi kapaunya, ada juga bubur kampiunnya. Nah dari situ mereka akhirnya terbuka karena ternyata dengan kendaraan umum pun bisa juga loh menjelajah kuliner Jakarta.
Apalagi kalau naik TransJakarta diterusin sampai Kota, itu akan banyak banget destinasi kulinernya. Kan dekat sekali dengan Petak 9. Nah, itu kan area tersendiri buat kulineran. Sekarang dengan adanya MRT jangkauannya makin panjang sampai ke Lebak Bulus, Haji Nawi, Blok A, itu juga banyak pusat-pusat kuliner di sana.
Bubur kampiun di Bopet Mini, Bendhil. Foto: Mela Nurhidayati/kumparan
Rekomendasi tempat makan yang berkesan?
Bopet Mini di Benhil yang menyajikan masakan Kapau, Minang, Bubur Kampiun. Terus masih di Benhil ada Gado-gado Bu Bambang. Lalu di Sabang ada Sate Kambing Jaya Agung, terus Rumah Makan Garuda, berbagai aneka jajanan di sepanjang Sabang.
Terus ke arah Wahid Hasyim ada nasi uduk kuah sapi, ada soto mie Wahid Hasyim. Kemudian kalau di daerah Blok M di stasiun Blok M itu sendiri itu ada Mie Aceh Jali-jali dan rujak Aceh.
Pengalaman menemukan hidden gem di Jakarta?
Kebetulan menemukan saat mau naik TransJakarta ya. Saat itu saya habis mengantar keluarga ke daerah dekat Gajah Mada Plaza di deket Jalan Angke, Jakarta Pusat. Pulang dari mengantar keluarga saya memutuskan pulang naik TransJakarta.
Nah dalam perjalanan menuju halte TransJakarta terdekat saya melalui warung soto sederhana dengan sajian soto kaki yang letaknya diujung Jalan Angke. Lokasinya di depannya tower Gajah Mada Plaza.
Gak nyangka, ternyata itu one of the best soto kaki khas Jakarta yang pernah saya coba. Bahkan jika dibandingkan dengan soto kaki yang branded-branded dari restoran ternama, rasa soto kaki yang saya coba saat itu boleh diadu nikmatnya.
Sayangnya tidak ada nama restorannya, cuma ya itu lokasinya ada di ujung Jalan Angke, sudah mau menuju jalan Hayam Wuruk pokoknya. Nah, hal-hal seperti itu yang mungkin kalau bukan foodie, mereka akan struggle mencoba tiap makanan bagaimana rasanya, harganya dan lain-lain.
_________________
Simak Liputan Khusus kumparan: MRT Food Guide
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten