Menilik Sejarah Opor, Hasil Akulturasi Masyarakat Jawa, China, dan India

23 Mei 2020 21:56 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Opor Ayam Foto: Flickr/bundaagnes
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Opor Ayam Foto: Flickr/bundaagnes
ADVERTISEMENT
Potong ketupat, siram sayur labu, dan siram kuah opor; ah, sedap nian! Bagi sebagian orang, menikmati hidangan ketupat dengan bumbu serba pekat adalah surga. Apalagi dengan sambal goreng kentang yang bikin makanan khas Lebaran ini makin sedap. Rasanya sehari melepas diet juga enggak apa-apa, besok mulai lagi!
ADVERTISEMENT
Ya, walau kerap disandingkan dengan rendang, opor tak jarang mencuri perhatian saat Lebaran. Pakai ayam kampung lebih sedap. Perpaduan rempah dan santan itu kian menggoda bila bumbunya benar-benar meresap.
Keberadaan opor untuk sajian Idul Fitri di Indonesia sudah jadi cerita lama. Meski ada beberapa versi sejarah opor —mulai dari asimilasi budaya India hingga China— makanan ini rasanya begitu lekat dengan masyarakat Indonesia.
Menjawab simpang siur tersebut, kumparan menghubungi Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, ada dua jenis opor yang perlu diketahui.
“Menurut hasil penelusuran saya, memang opor adalah masakan asli Jawa akan tetapi orang Jawa mengenal dua macam opor yaitu opor berkuah santan berwarna putih kecokelatan dan opor yang kuahnya berwarna kuning,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurut beliau, warna kuning pada opor merupakan pengaruh masakan India karena kunyit banyak digunakan dalam makanan khas negara tersebut. “Sedangkan yang kuahnya berwarna putih lebih disukai oleh masyarakat Tionghoa yang akhirnya berdomisili di Jawa,” tambahnya.
Memang, masakan China tidak banyak yang menggunakan kelapa. Namun opor kuah putih ini jadi dekat dengan kuliner negeri tirai bambu karena penggunaan lontong yang bulat —untuk lontong cap go meh. Menurut Prof. Murdijati lontong yang bulat ini merupakan akulturasi karena masyarakat China mengagumi bentuk bulat yang menyerupai bulan purnama; bulat dan indah.
“Lalu dari aspek bumbunya, opor menggunakan jintan. Nah, jintan ini merupakan bumbu yang banyak digunakan dalam seni dapur India. Jadi memang demikian, seni dapur itu merupakan persilangan antar budaya.
ADVERTISEMENT

Bagaimana masyarakat Jawa menikmati opor

Menu lengkap; ketupat, sayur kacang dan labu, rendang, dan opor. Foto: Toshiko/kumparan
Kalau sekarang kebanyakan opor menggunakan ayam, dulu masyarakat Jawa bikin opor dari daging bebek. Di Solo, opor bebek sungguh tersohor, penggunaan kunyit bisa meredam bau amis dari daging bebek.
“Masyarakat Jawa dahulu membuat opor daging bebek sampai ada kalimat yang menjadi puisi Jawa: opor bebek mentas saka awake dhewek artinya mandiri dengan upayanya sendiri,” katanya.
Selanjutnya masyarakat Jawa yang lain seperti di Jogja, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mengenal opor ayam. Opor daging sapi dengan kuah kuning juga banyak dikonsumsi; terutama dalam perayaan besar. Beberapa restoran dan rumah makan menyediakan opor sebagai lauk pauk untuk teman makan nasi rames atau lontong opor.
“Lain lagi di Pekalongan, di alun-alunnya setiap hari mulai pukul 3 siang ada seorang penjual lontong opor ayam yang sebenarnya berdomisili dari Batang. Uniknya lontong opor ini dimakan dengan wadah dari daun pisang yang disebut pincuk. Keberadaan opor ayam di Pekalongan ini tidak terkait perayaan apa pun,” jelas Prof. Murdijato.
ADVERTISEMENT
Ia juga berkisah bahwa di Solo, opor juga dapat diisi dengan rebung bambu petung. Sedangkan di Yogyakarta, tahu dan tempe pun bisa dimasak opor. Rasanya yang gurih dan tidak pedas bikin opor jadi lauk pauk segala usia. Dimakan dengan kerupuk udang, lebih mantap!
Menurut penulis Pusaka Citarasa Indonesia itu, lontong opor bersama dengan sambal goreng daging giling merupakan kelengkapan dari makanan khas Lebaran sepanjang masa kehidupan masyarakat di Jawa.
ADVERTISEMENT