Suka Duka Jadi Foodies, Kurangnya Apresiasi

5 Agustus 2018 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Food Photography. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Food Photography. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Alana tampak sibuk mengutak-atik kameranya yang telah dilengkapi dengan lensa tambahan. Cukup canggih untuk menghasilkan gambar berkualitas tinggi, tentunya. Di depannya sudah tersedia sepotong kue cantik yang baru saja dibelinya dari salah satu toko kue yang tengah naik daun.
ADVERTISEMENT
Ya, hari ini, ia akan mengulas produk baru dari toko kue tersebut. Dengan teliti, ditekannya tombol kamera beberapa kali. Sesekali, ia betulkan posisi dari piring kue, bahkan terkadang ia pindahkan ke beberapa tempat, yang dianggapnya memiliki pencahayaan lebih terang.
Usai memotret dari berbagai angle, ia masih harus mengeditnya dengan software khusus untuk menampilkan efek yang lebih apik, dan tentunya, membuat kue lebih menggiurkan. Baru, setelahnya, foto tersebut bisa diunggah ke media sosial.
Tak lupa ia sisipkan kata-kata menawan yang mengajak para pengikutnya untuk mencicipi kue tersebut. Selesai sudah tugasnya hari ini.
Ilustrasi Food Photographer (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Food Photographer (Foto: Thinkstock)
Kira-kira, apa yang dilakukan Alana adalah garis besar dari pekerjaan seorang foodies--penikmat makanan yang kerap membagikan ulasannya melalui media lain, seperti situs kuliner atau media sosial. Di zaman sekarang, peran foodies memang sangat dibutuhkan sebagai media promosi.
ADVERTISEMENT
Berbagai restoran dan produk makanan berlomba-lomba menggaet para foodies untuk mengulas makanannya (kegiatan ini lebih dikenal dengan sebutan endorse). Bayarannya bervariasi, ada yang mencantumkan rate harga tertentu, namun tak sedikit pula yang bermurah hati, mengulas produk secara cuma-cuma, hanya diberi upah sampel produk saja.
Sekilas, kehidupan para foodies tampak menggiurkan. Siapa sih, yang tak mau makan enak gratis, bahkan bila beruntung, diundang untuk mencicipi menu eksklusif yang tak dapat disantap sembarang orang, yang dibanderol dengan harga menjulang tinggi?
Di balik semua itu, perjuangan foodies ternyata tak segampang yang dibayangkan. Masa-masa awal saat merintis bisa dibilang cukup berat, karena mengumpulkan jumlah followers yang tinggi tak semudah membalik telapak tangan.
Tak cuma itu, foodies juga harus memiliki ciri khas tersendiri agar dapat bertahan. Entah itu dari cara penyampaian ulasan, atau dari gaya foto.
ADVERTISEMENT
Seorang foodies pun harus mampu mengatur tata letak makanan untuk membuatnya terlihat lebih menarik, tak peduli sesederhana apapun tampilan makanan tersebut. Mereka harus mampu membuat pengikutnya tergiur dan menelan ludah, bahkan tergoda untuk membeli produk yang tengah mereka promosikan.
Belum lagi investasi peralatan yang diperlukan. Kamera plus lensa super mahal untuk menunjang kualitas gambar yang menawan. Ada harga, ada kualitas, tentunya.
Sayangnya, tak sedikit yang masih meremehkan sepak terjang foodies dalam mempromosikan sebuah produk. Misalnya, seperti dikisahkan Lili Gunawan, salah satu anggota komunitas foodies Jangkrik Kuliner mengungkapkan, masih banyak orang yang menganggap kerja foodies ini begitu simpel, hingga terkesan kurang menghargai usaha mereka.
Salah satu temannya yang merupakan anggota dari komunitas tersebut juga pernah mengisahkan bahwa dirinya sempat diminta untuk mempromosikan sebuah produk kue baru. Lucunya, saat kue tersebut sudah selesai difoto, pemilik toko kue tersebut justru meminta kue tersebut untuk dikembalikan, lantaran hendak dioper ke foodies lain untuk dipromosikan juga.
ADVERTISEMENT
Ada pula yang meminta untuk dibayari ongkos kirimnya saat hendak mengirimkan produk makanan yang akan diulas. Dan, tak sedikit pula yang menawar rate atau fee dari foodies hingga turun drastis.
Komunitas foodies Jangkrik Kuliner (Foto: Instagram/ @jangkrikkuliner)
zoom-in-whitePerbesar
Komunitas foodies Jangkrik Kuliner (Foto: Instagram/ @jangkrikkuliner)
“Padahal kita saat mau review juga kan membutuhkan modal, misalnya saat mendatangi restoran yang jaraknya jauh, itu kan juga bisa mempengaruhi harga. Misalnya saja untuk mengunjungi restoran yang berlokasi di Bogor, sedangkan sebagian besar anggota kami berdomisili di Kelapa Gading. Kan jauh juga, ya,” ungkap Lili kepada kumparanFOOD.
“Sering juga kami dibanding-bandingkan dengan foodies lain, terutama masalah harga. Masih banyak dari mereka yang tidak mengindahkan usaha-usaha di balik pemotretan produk, kan kami juga harus datang ke lokasi untuk mendapatkan angle terbaik, belum lagi peralatan yang digunakan,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, karya mereka sangat rentan untuk dicuri dan diunggah kembali oleh orang lain. Lili kerap dibuat dilema, maksud hati tak ingin membubuhkan watermark agar tak mengurangi estetika foto, namun saat watermark tak ditambahkan, rentan risikonya untuk dicuri orang.
Bukan itu saja, pencantuman kredit juga kerap luput dan diabaikan. Akun-akun foodies lain yang kerap mengunggah ulang foto atau yang dikenal dengan istilah repost, sering mencantumkan kredit di bagian akhir caption nan panjang. Alhasil, alih-alih mengangkat popularitas pemilik asli foto, followers akun tersebut cenderung tak mengindahkannya, apalagi dengan adanya sederet caption yang telah memenuhi layar.
Sekali lagi, inilah dua sisi dari seorang foodies. Banyak dipuja dan dicari, namun nyatanya, masih banyak pula yang belum memberikan apresiasi bagi karya-karya mereka.
ADVERTISEMENT