Sapardi Djoko Damono yang Abadi

19 Juli 2020 11:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sapardi Djoko Damono. Foto: Tio Ridwan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sapardi Djoko Damono. Foto: Tio Ridwan/kumparan
Sapardi Djoko Damono pernah bilang, sastrawan tak akan mati.
“Saya pakai jaket karena di ruang sidang dingin, sudah tua begini.”
Hari itu, 8 Juni 2017, Sapardi berada di ruang sidang Institut Kesenian Jakarta. Ia baru saja menguji tesis mahasiswa S2, dan dalam setengah jam harus menguji tesis lainnya.
Di waktu 30 menit yang sempit itulah ia berbaik hati menemui wartawan kumparan, Tio Ridwan.
Ketika itu, jaket blouson biru tua membungkus tubuh kurus Sapardi. Ia memang konsisten berpenampilan necis. Saat itu blouson, lain waktu jas rona kalem.
Di kepalanya, menutupi rambutnya yang rata beruban, bertengger sebuah flat hat.
Pada umurnya yang saat itu 77 tahun, Sapardi tetap mempertahankan kesan penyair-akademisi dengan cermat meski sederhana.
Hanya, beberapa tahun belakangan ia harus mengenakan tongkat untuk berjalan karena pada 2014 kakinya pernah patah lantaran terpeleset di kamar sendiri.
Menemui Sapardi tiga tahun lalu adalah ikhtiar kumparan untuk mengabadikan fragmen hidup salah satu penyair terbesar Indonesia dalam 50 tahun terakhir.
Sapardi disebut-sebut telah memperbarui dunia sastra Indonesia. Ia menjadi penengah antara konvensi dan avantgardisme sastra, menjadi titik moderat di antara dua kutub (dulu Lekra vs Manikebu) yang pada suatu masa pernah saling berebut panggung.
Saking berpengaruhnya, puisi-puisi Sapardi disebut-sebut menjadi pijakan bagi ribuan sastrawan lain yang lahir setelahnya untuk menemukan gaya bahasa mereka sendiri.
Dan hari ini, 19 Juli 2020, Sapardi berpulang pada usia 80 tahun.
Meski begitu, layaknya para penulis besar, ia abadi dalam karya-karyanya.
Untuk melihat api abadi seorang Sapardi Djoko Damono, mari simak rangkaian kisah berikut:
Sapardi terkenal karena beberapa butir puisinya yang melejit meninggalkan ratusan puisinya yang lain. Aku Ingin (1989), Hujan Bulan Juni (1989), Di Restoran (1989), Yang Fana Adalah Waktu (1978), dan Tuan (1980) adalah beberapa puisi yang melambungkan namanya.
Kritikus sastra Nirwan Dewanto menyebut puisi-puisi Sapardi memiliki “kesederhanaan yang menjadi sebentuk ambiguitas, sementara keadaan yang penuh ambiguitas itu tetap dapat dipahami oleh khalayak ramai”. Hal itu menunjukkan kemampuan spesial dari puisi-puisi tersebut, dan hanya Sapardi yang bisa membuatnya.
Hasil karyanya adalah puisi-puisi yang dapat “dicintai dengan sederhana”, sementara mencintai dengan sederhana adalah hal yang luar biasa sulit. Sesederhana itu pulalah orang memahami dan mencintai karya-karya Sapardi.
Sapardi bilang, sastrawan tak akan pernah mati.
Dalam setiap bulir kata yang terus direproduksi khalayak luas, napas mereka turut mewujud, tak surut.
Selamat jalan, Sapardi.
Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi.