Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Cinta memberi energi untuk bergerak, mencari posisi terbaiknya untuk melihat keindahan di antara persoalan urban. Solo Love Story adalah sebuah kisah tentang penghuni kota yang menciptakan ruang romantis di ruang-ruang publik, yang terlewatkan oleh orang-orang sibuk entah oleh apa.
Film karya penulis dan sutradara Fanny Chotimah ini mengisahkan tentang perjalanan cinta tiga pasangan lintas generasi: Bu Ning dan Pak Tris, generasi sepuh yang mengabdikan diri untuk wayang beber; Vera dan Imron, yang memulai kisah cinta menjelang Reformasi 1998; serta Devita dan Yogi, generasi masa kini yang berkenalan di Twitter.
Dari mana datangnya ide cerita film dokumenter ini? Bagaimana proses produksinya? Fanny Chotimah menceritakan hal-hal tersebut dan proses menarik di balik layar kepada kumparan melalui wawancara berikut.
Kenapa sih harus Solo?
Jadi, saya aslinya dari Bandung, lahir di Bandung, sampai akhirnya (sekarang) pindah ke Solo. Terus ini kan bagian dari pengalaman personal soal bagaimana bisa tinggal di Solo, memilih hidup di sini, beradaptasi, mencari teman baru, dan melihat kota ini. Jadi kupikir, ini momen penting juga dalam hidupku saat memutuskan kenapa Solo, lalu bisa jatuh cinta sama Kota Solo dan bekerja di sini.
Ide untuk Solo Love Story ini sebenarnya sudah lama, cuma kebetulan momennya pas. Saat kumparan menawarkan (memproduksi Solo Love Story), jadi kayak, “oh iya, ini ada cerita yang ingin aku share tentang Kota Solo, persoalan urban juga, dan (tentang) teman-teman yang kukenal.” Jadi ya seperti gayung bersambut.
Mbak Fanny kan lebih dulu dikenal sebagai penulis. Apakah pengalaman Mbak sebagai penulis berpengaruh besar dalam proses berkarya Mbak sebagai sineas?
Ya pastinya sih (berpengaruh). Kupikir intinya menulis atau (membuat) film atau lainnya itu enggak jauh-jauh dari storytelling. Jadi yang beda cuma medianya saja. Kalau di film kan lebih ke visual, kalau di tulisan ya lebih ke tulisannya.
Mungkin dari situ (dari menjadi penulis) lebih terlatih untuk bertutur juga, storytelling, bercerita, menyampaikan kisah. Tentu ada tantangannya juga karena kan medianya berbeda, mediumnya beda. Di film kan enggak berhenti di script yang ditulis, tapi juga mentransfernya ke dalam bahasa visual.
Selain itu, apa sih tantangan terbesar dari pembuatan Solo Love Story ini? Apalagi kalau dibandingkan dengan film Mbak sebelumnya, You and I, itu kan nuansanya beda banget
Yang pasti kalau You and I kan politis ya, mungkin lebih berat begitu secara pendekatan isu. Kalau yang ini kan lebih ringan, ngomongin romansa, ngomongin kota.
Kalau tantangannya ya, sebenarnya fun sih. Pengerjaannya juga (menyenangkan). Syuting empat hari, jadi enggak intensif begitu. Janjian satu narasumber satu hari. Lalu kita ambil Kota Solo, gitu.
Jadi ya memang enggak ada tantangan berarti karena dari awal juga (sudah ada rencananya). Meski seperti Mbak Vera dan Mas Imron itu masih malu-malu begitu. Kayak, “ah kita malu sama teman-teman kalau share” begitu. Jadi harus meyakinkan mereka, “udah enggak usah malu, seru bisa sharing cerita sama teman-teman”.
Orang mungkin malu-malu ya untuk membagikan kisah, apalagi kisah cinta mereka ke publik. Tapi kubilang, karena kan (film ini) bukan cuma (soal) tempat romansa juga, tapi bagaimana kita membaca setiap zaman, bagaimana Kota Solo juga bertumbuh, misalnya. Itu visiku sebagai sutradara kusampaikan, jadi narasumber bisa melihat dari sisi visi kami. Lalu mereka oke, mereka setuju. Terus ya sudah, berproses, bisa datang, wawancara, ngobrol, direkam.
Sebenarnya Mbak bisa nemu narasumber-narasumber lintas generasi dengan cerita menarik ini di mana sih, Mbak?
Ya kebetulan kami sudah berteman, begitu. Jadi sebenarnya saat memutuskan cerita ini, saya sudah kepikiran teman-teman sendiri.
Misalnya yang paling sepuh, Bu Ning dan Pak Tris, yang seniman wayang beber. Kebetulan aku pernah ada riset tentang wayang beber, jadi sudah kenal mereka. Kupikir mereka yang paling mewakili (generasinya) karena menarik. Sudah sepuh tapi masih konsisten jadi seniman dengan segala resiko dalam kehidupannya. Dan ya, ceritanya cukup menginspirasi juga buatku, dan kupikir juga akan menginspirasi penonton.
Terus ada Mbak Vera dan Mas Imron, pasangan yang ketemunya saat jadi aktivis di tahun 1998. Itu juga karena aku ada komitas lain dengan Mbak Vera, di Jejer Wadon, komunitas tentang perempuan di kesetaraan gender. Dulu mereka sempat cerita-cerita, gimana mereka ketemu. Menarik ya, romantis gitu. Jadi kayaknya yang mewakili generasi itu yang paling tepat ya mereka.
Terus yang lebih muda dari aku, pasangan (generasi) sekarang, itu Devita dan Yogi. Yogi kebetulan filmmaker juga, jadi kadang kami ketemu di berbagai acara komunitas film.
Ada enggak sih Mbak kisah atau pelajaran yang Mbak dapat dari Solo, tapi belum sempat dituangkan dalam film? Apalagi kan Mbak lahir dan besar di Bandung, merantau ke Jakarta sebelum memutuskan menetap di Solo
Yang pasti tiap kota punya keunikan, terus ada fase-fase hidup. Di Bandung itu kan aku (dari lahir) sampai SMA. Tapi dari SD karena kakak di Jakarta, terus Papa juga akhirnya pindah ke Jakarta, makanya aku pilih kuliah di Jakarta. Jadi kenapa pindah ke Jakarta, ya salah satunya karena pekerjaan orang tua.
Jakarta juga cukup dekat dan familiar. Dari kecil sering main ke Jakarta dan selalu bermimpi akan kuliah di sana, atau bekerja. Jakarta kan menarik ya, seperti menawarkan banyak mimpi-mimpi. Dulu juga sempat berpikir, “kalau misalnya bisa tinggal di Jakarta, di belahan kota manapun di dunia tentu bakal survive.”
Saat itu juga aku sudah mulai bergaul dengan komunitas film dokumenter. Kalau mungkin waktu di Bandung belum tahu atau kenal sama komunitas seperti itu. Jadi di Jakarta itu strategis juga untuk mengenal komunitas film dari pasti awalnya selalu di sana, baru sampai ke daerah lain.
Terus ketemu jodoh juga, yang orang Solo. Akhirnya menikah, lalu pindah ke Solo yang waktu itu masih sangat sepi, tahun 2015. Saat itu masih mikir, karena aku baru hamil, mungkin (di Solo) cuma untuk melahirkan saja, lalu pindah ke Jakarta karena kami sudah kontrak rumah di Lebak Bulus, Jakarta.
Tapi ada momen yang membuatku merasa, kayak di Solo Love Story itu, kalau Solo ini ya memang tempat saat aku mau melahirkan, membesarkan anak-anak. Kotanya lebih santai, lebih ramah anak. Ada waktu untuk jalan-jalan, anak-anak bisa ikut sanggar-sanggar kesenian, mereka bisa bebas berlarian tanpa takut menyeberang jalan. (Solo) bukan kota yang macet, sibuk, seperti di Jakarta yang waktunya habis di jalan.
Jadi ya, Solo jadi tujuan terakhir untukku bermukim saat ini. Jadi tempat yang tepat untuk fase hidupku di mana aku akan berkeluarga.
Waktu awal dulu, apakah sulit beradaptasinya?
Itu udah pasti. Di Solo kan hampir susah menemukan rumah makan Sunda. Kalau ada pun sudah disesuaikan sama lidah orang Solo. Jadi mau enggak mau, aku jadi sering telepon Mama minta resep. Di sini juga susah banget nemuin oncom. Itu kan enak, dan aku enggak bisa bikin oncom.
Terus juga karena kotanya sepi, jadi hari berjalan lama. Ada satu hal yang kusuka dari hari yang berjalan lama itu. Aku jadi punya banyak waktu untuk mengerjakan banyak hal. Lalu karena kesepian, aku cari teman saja. Cari teman, cari komunitas, bergaul terus, lalu jadilah film Solo Love Story ini.
Ada enggak pesan untuk penonton Solo Love Story?
Solo Love Story ini memang narasi sederhana dari pertemuan dengan teman-teman di Solo, teman-teman spesial yang juga reflektif dari perjalanan dan pilihan hidupku untuk tinggal di Solo. Dan kita akan selalu memaknai pilihan-pilihan hidup kita, memaknai cinta. Mungkin itu sih pesannya.