Apa Itu Pola Asuh Responsif Gender?

5 Oktober 2022 16:59 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi keluarga dengan anak perempuan dan anak laki-laki. Foto: Odua Images/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga dengan anak perempuan dan anak laki-laki. Foto: Odua Images/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Lingkungan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi perilaku dan karakter anak di masa depan. Ya Moms, cara lingkungan atau masyarakat dalam memperlakukan anak secara tidak langsung dapat mempengaruhi kepribadian si kecil. Salah satu unsur dari lingkungan yang mungkin paling berpengaruh adalah gender.
ADVERTISEMENT
Mengutip UNICEF, anak usia tiga tahun mulai mengembangkan rasa identitas gendernya dan akan menguat seiring bertambahnya usia. Pada usia lima tahun, anak-anak akan memiliki rasa stabilitas gender dan mulai mengekspresikan identitas gender mereka melalui perkataan dan tindakan.
Moms, perlu dipahami bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan hal yang bersifat biologis dan tidak bisa diubah, sedangkan gender mengacu pada label sosial antara perempuan dan laki-laki. Pada pengasuhan anak, misalnya. Anak perempuan umumnya selalu diperlakukan sebagai anak yang lemah dan harus diperlakukan lembut, sedangkan anak laki-laki dituntut kuat dan tidak boleh menangis.
Bias gender semacam itu disebut dapat membahayakan perkembangan sosial dan emosional si kecil. Untuk itu, UNICEF mendorong orang tua untuk melakukan pola asuh responsif gender pada anak. Seperti apa itu? Simak penjelasannya berikut ini.
ADVERTISEMENT

Pola Asuh Responsif Gender yang Perlu Dipahami Orang Tua

Ilustrasi keluarga dengan anak perempuan dan anak laki-laki. Foto: Shutter Stock
Pola asuh responsif gender berkaitan dengan cara orang tua dalam merawat dan mengasuh anak sejak dini tanpa memandang jenis kelamin anak. Orang tua direkomendasikan untuk memperlakukan anak perempuan dan anak laki-laki dengan setara.
Ya Moms. Anak-anak mungkin akan berkembang dengan cara yang berbeda, tapi tonggak perkembangan antara anak perempuan dan anak laki-laki tetap sama. Misalnya saja, anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama berhak untuk bermain dan mendapatkan akses pendidikan.
Salah satu aktivitas yang mungkin rentan terjadi bias gender adalah bermain. Anak perempuan mungkin hanya diberikan boneka atau mainan lain yang bersifat feminin, sedangkan anak laki-laki hanya boleh bermain mobil-mobilan atau mainan lain yang bersifat maskulin.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang tua, Anda mungkin perlu menyikapi hal itu dengan bijak, Moms. Tak ada salahnya jika anak ingin mencoba berbagai mainan selama itu memberikan manfaat bagi perkembangannya. Selain itu, Anda juga dapat memberikan contoh dari hal lain. Misalnya, ayah ikut memasak dan ibu ikut membantu ayah mencuci mobil.
Tak hanya lewat aktivitas, bias gender juga perlu dihindari dalam menyikapi emosi anak. Misalnya, saat anak laki-laki menangis, hindari mengucapkan “Anak laki-laki tidak boleh menangis, seperti anak perempuan aja,” Pada dasarnya, menangis merupakan hal manusiawi dan tidak memandang jenis kelamin. Untuk itu, perlakukan anak perempuan dan anak laki-laki dengan setara ya, Moms.