Jangan Sampai KDRT! Ini Bahayanya pada Perkembangan Emosional-Psikologis Anak

6 Juni 2024 14:47 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga.  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan yang layak dari orang tuanya. Akan tetapi, tidak semua anak beruntung mendapatkan hal tersebut, karena melihat adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan orang tuanya. KDRT yang dilihat atau dialami si kecil umumnya dapat memengaruhi tumbuh kembang anak.
ADVERTISEMENT
Banyak penelitian menunjukkan orang tua yang harmonis dan dekat dengan anak punya berbagai manfaat. Mulai dari memiliki emosi yang lebih stabil, kepercayaan diri yang tinggi, hingga belajar membangun hubungan yang sehat.
Namun, apabila yang dialami anak justru sebaliknya, maka bukan tidak mungkin anak tumbuh menjadi pribadi yang rentan mengalami masalah kesehatan mental.
Menurut Psikolog Klinis Anak Rumah Dandelion, Rizqina Ardiwijaya, M. Psi, KDRT yang dilakukan oleh orang tua bisa menimbulkan dampak negatif yang berbeda-beda pada setiap anak. Bila dijabarkan berdasarkan kelompok usia anak, berikut dampak-dampak yang bisa terjadi:
Usia 0-2 Tahun
Pada usia ini, hal yang penting adalah menjalin kelekatan (attachment) dengan anak. Kelekatan ini akan mempengaruhi pola hubungan anak dengan semua orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Apabila terjadi disfungsi keluarga, salah satunya KDRT, maka hal yang akan terpengaruh adalah kelekatan dengan orang tua. Anak akan mempersepsikan dunia di sekelilngnya tidak aman dan tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri.
Usia 3-6 Tahun
Perubahan atau stres intens yang dialami anak pada usia ini bisa menyebabkan adanya regresi (mundur) pada perkembangannya. Misalnya, anak sudah lulus toilet training tapi jadi ngompol lagi.
Usia 7-12 Tahun
Anak bisa memiliki self-esteem yang rendah, mereka merasa tidak percaya diri karena tumbuh dalam konflik. Dalam penelitian lain, ditemukan bahwa anak yang terpapar KDRT dari orang tuanya akan berisiko mengalami masalah pertemanan dan menurunnya fungsi kognitif. Tidak jarang, anak pun bisa menunjukkan perilaku yang agresif.
ADVERTISEMENT

Ketika Orang Tua Berpisah karena KDRT, Mungkinkah Hubungan dengan Anak Tetap Harmonis?

ilustrasi anak berbuat salah Foto: Shutterstock
Mungkin banyak yang berpikir, ketika orang tua harus bercerai setelah adanya KDRT dalam rumah tangga, anak akan kekurangan kasih sayang yang dibutuhkan pada usianya.
Rizqina menyebut, memang tidak ada perpisahan yang tidak menyisakan luka.
"Namun, tujuan utama kita saat ini adalah untuk membuat anak tetap merasa disayangi, sehingga harapannya orang tua bisa berdamai dan mengesampingkan masa lalu," ungkap Rizqina.
Maka dari itu, ketika perceraian memang jalan keluarnya, maka orang tua bisa menjalankan co-parenting atau pengasuhan anak bersama setelah berpisah.
Rizqina menjelaskan, co-parenting idealnya dijalankan orang tua dengan tetap menjalin komunikasi sehat, menentukan tujuan pengasuhan bersama, hingga mengatur waktu bersama anak secara bergiliran maupun bersamaan. Dengan cara ini, diharapkan si kecil bisa tetap merasakan kasih sayang dari orang tuanya, meski telah berpisah.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk co-parenting adalah KDRT yang dilakukan oleh salah satu pihak, dan bagaimana kondisi pihak yang menjadi korban.
"Apakah pelaku sudah menyadari kesalahannya? Apakah sudah ada upaya berubah? Jika yakin bahwa pelaku sudah lebih baik, maka bisa dilakukan co-parenting. Jika belum, kita bisa berjarak dulu dengan mempertimbangkan isu keamanan dan keselamatan bagi semua pihak," tegas dia.

Terjadi KDRT dan Enggan Berpisah karena Alasan Anak, Bagaimana Pandangan Psikolog?

Ilustrasi orang tua dan anak. Foto: Shutter Stock
Bagi beberapa pasangan yang telah menjadi pelaku maupun korban KDRT, mereka justru enggan bercerai karena alasan tidak ingin menyakiti perasaan anak. Terutama bagi korban KDRT, dia enggan berpisah dengan pasangannya karena ingin anak-anaknya memiliki orang tua yang utuh.
ADVERTISEMENT
Rizqina mengakui fenomena bertahan dalam hubungan KDRT demi anak bisa disebabkan berbagai faktor lain. Namun, orang tua diharapkan bisa mengintrospeksi diri, apakah benar demi anak? Apakah anak akan diuntungkan dengan kondisi tersebut?
Dengan memahami berbagai dampak KDRT yang mungkin bisa dialami anak, maka orang tua perlu lebih bijak lagi dalam memutuskan bertahan atau tidak.
"Pada beberapa kasus, memaksakan tetap bersama tapi anak terpapar dengan kekerasan dalam jangka waktu lama malah merusak hubungan anak. Tidak hanya dengan pelaku tapi dengan korban," ujar Rizqina.
"Korban seringkali dipersepsikan tidak berdaya dan tidak bisa mempertahankan diri. Alhasil, orang tua yang seharusnya jadi role model bagi anak malah mencontohkan hal yang tidak seharusnya," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini bisa lebih parah jika pelaku KDRT merasa defensif dan mengaku tidak ada yang salah pada dirinya. Sehingga, ia menyarankan agar orang tua perlu meninjau lagi pandangan 'memilih bertahan demi anak', demi pertumbuhan dan perkembangan si kecil sendiri.
Bagaimana menurut Anda tentang ini, Moms?