114 Warga Myanmar Tewas Saat Protes di Peringatan Hari Angkatan Bersenjata

28 Maret 2021 5:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tumpukan obat-obatan yang disita dimusnahkan pada Hari Internasional Menentang Penyalahgunaan Narkoba dan Perdagangan Gelap PBB di Yangon pada 26 Juni 2015.  Foto: Ye Aung Thu/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Tumpukan obat-obatan yang disita dimusnahkan pada Hari Internasional Menentang Penyalahgunaan Narkoba dan Perdagangan Gelap PBB di Yangon pada 26 Juni 2015. Foto: Ye Aung Thu/AFP
ADVERTISEMENT
Sebanyak 114 warga tewas saat gelombang protes kudeta militer Myanmar meluas pada Sabtu (27/3). Kondisi ini terjadi di tengah peringatan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, menjadikannya sebagai hari kekerasan paling berdarah sejak kudeta dimulai Februari lalu.
ADVERTISEMENT
Portal berita Myanmar Now melaporkan 114 orang tewas di seluruh negeri dalam tindakan keras pasukan keamanan terhadap para demonstran pro-demokrasi. Korban tewas ini juga terdiri dari anak-anak. Bahkan, ada bayi yang matanya terkena peluru karet.
Sedikitnya 40 orang, termasuk seorang gadis berusia 13 tahun, tewas di Mandalay, dan 27 orang tewas di Yangon. Kemudian, seorang anak berusia 13 tahun lainnya termasuk di antara yang tewas di wilayah Sagaing tengah.
"Hari ini adalah hari yang memalukan bagi angkatan bersenjata," kata Dr. Sasa, juru bicara CRPH, kelompok anti-junta yang dibentuk anggota parlemen yang digulingkan, dikutip dari Reuters, Minggu (28/3).
Para pengunjuk rasa yang berdemonstrasi menentang kudeta dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Yangon, Myanmar, Senin (8/2). Foto: Stringer/REUTERS
Warga semakin geram dengan tindakan militer yang semakin beringas ini.
"Mereka membunuh kami seperti burung atau ayam, bahkan di rumah kami," kata Thu Ya Zaw di pusat kota Myingyan. Di kota ini, dua pengunjuk rasa tewas.
ADVERTISEMENT
"Kami akan terus memprotes. Kami harus berjuang sampai junta jatuh," tegasnya.
Sebanyak 114 kematian pada Sabtu menambah jumlah warga sipil yang gugur sejak kudeta yang dilancarkan militer dalam menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. Kini korban tewas mencapai lebih dari 440 jiwa.
Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing. Foto: Soe Zeya Tun/REUTERS
Pemimpin militer, Jenderal Min Aung Hlaing, mengatakan dalam parade peringatan Hari Angkatan Bersenjata, bahwa militer akan melindungi rakyat dan memperjuangkan demokrasi melalui pemilu ulang.
“Tentara berupaya untuk bergandengan tangan dengan seluruh bangsa untuk menjaga demokrasi. Tindakan kekerasan yang memengaruhi stabilitas dan keamanan untuk membuat tuntutan tidak pantas,” jelasnya dalam siaran televisi.
Militer mengambil alih kekuasaan karena pemilu pada November 2020 yang dimenangkan partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), diwarnai kecurangan. Saat ini, Suu Kyi tetap ditahan di lokasi yang dirahasiakan.
Polisi menembakkan meriam air selama bentrokan dengan para pengunjuk rasa yang menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Naypyitaw, Myanmar. Foto: Stringer/REUTERS
Sayangnya, gelombang demonstran menentang militer terus meningkat pada Sabtu di Yangon, Mandalay, dan kota-kota lain.
ADVERTISEMENT
Jet militer juga melancarkan serangan udara di sebuah desa di wilayah yang dikuasai kelompok bersenjata dari etnis minoritas Karen dan sedikitnya dua orang tewas.
Serangan ini diduga kuat sebagai balasan terhadap Serikat Nasional Karen yang telah menyerbu sebuah pos militer dekat perbatasan Thailand dan menewaskan 10 orang, termasuk seorang letnan kolonel.

Kecaman Barat: Militer Myanmar Mempermalukan Diri dan Hari Angkatan Bersenjata Jadi Aib

Pengunjuk rasa melakukan aksi lilin sebagai protes Anti-Militer. Foto: REUTERS/Stringer
Pembunuhan, yang terjadi pada Hari Angkatan Bersenjata ini, menuai kecaman keras dari negara-negara Barat. Duta Besar Inggris, Dan Chugg, mengatakan pasukan keamanan telah "mempermalukan diri mereka sendiri".
Sementara itu, Duta Besar Amerika Serikat, Thomas Vajda, mengatakan kondisi ini sangat mengerikan. “Rakyat Myanmar telah berbicara dengan jelas: mereka tidak ingin hidup di bawah kekuasaan militer,” ujarnya di media sosial.
ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, mengatakan pembunuhan warga sipil tak bersenjata dan anak-anak menandai titik terendah situasi di Myanmar.
Sementara delegasi Uni Eropa untuk Myanmar mengatakan peringatan Hari Angkatan Bersenjata "selamanya terukir sebagai hari teror dan aib."