20 Alasan Jokowi Harus Segera Bersikap soal Polemik TWK KPK

28 September 2021 9:52 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo di acara Majelis Rektor Perguruan Tinggi Indonesia, Selasa (14/9). Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo di acara Majelis Rektor Perguruan Tinggi Indonesia, Selasa (14/9). Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Pemberantasan korupsi dinilai akan memasuki masa kelam. Sebanyak 56 pegawai KPK tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan akan dipecat per 30 September 2021.
ADVERTISEMENT
Pemecatan akan tetap dilakukan meski ada temuan dari Ombudsman dan Komnas HAM bahwa TWK bermasalah. Sudah ada putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mengenai TWK.
"Sedangkan dua lembaga kekuasaan kehakiman sudah menegaskan bahwa alih status kepegawaian KPK tidak dibenarkan jika melanggar hak-hak kepegawaian. Bahkan, secara langsung, putusan MA menyebutkan bahwa tindak lanjut asesmen pegawai KPK diserahkan kepada pemerintah," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (28/9).
Berangkat atas permasalahan tersebut, Presiden Jokowi dinilai menjadi otoritas tunggal yang dapat mengakhiri polemik TWK KPK. Jokowi diminta untuk segera bersikap terkait TWK tersebut, sebelum pemecatan terhadap 56 pegawai terjadi.
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
ICW menyatakan setidaknya, ada 20 alasan mengapa sikap Jokowi diperlukan untuk menyelesaikan polemik tersebut. Berikut poin-poinnya:
ADVERTISEMENT
Pertengahan Mei lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa TWK KPK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai. Bahkan saat itu Presiden turut mengutip putusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar hukum.
Pasal 25 ayat (1) UU ASN dan Pasal 3 PP 17/2020 secara tegas menyebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang mengangkat PNS. Maka dari itu, dengan melandaskan temuan ORI dan Komnas HAM, Presiden dapat mengambil alih kewenangan SekJen KPK untuk melakukan pengangkatan terhadap 56 pegawai karena terbukti malaadministrasi dan melanggar HAM.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 yang dituangkan dalam UU 19/2019 telah meletakkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif. Maka dari itu, segala persoalan yang berkaitan dengan ranah administrasi mewajibkan Presiden untuk bertindak. Dalam hal ini, polemik TWK berada dalam ranah administrasi kepegawaian. Jadi, tidak salah jika kemudian masyarakat mendesak agar Presiden segera mengeluarkan sikap untuk menyelesaikan permasalahan di tubuh KPK.
ADVERTISEMENT
Akhir Januari lalu Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Faktanya, peringkat maupun skor Indonesia anjlok. Untuk peringkat, turun dari 85 menjadi 102. Sedangkan skor, merosot tajam tiga poin menjadi 37. Maka dari itu, dengan kondisi KPK hari ini, jika tidak ada tindakan konkret dari Presiden, bukan tidak mungkin IPK Indonesia akan semakin suram pada tahun mendatang.
Putusan MA nomor 26 P/HUM/2021, tepatnya poin dua pertimbangan hakim secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK menjadi kewenangan pemerintah. Maka dari itu, tindakan Pimpinan KPK yang memutuskan pemberhentian pegawai pada akhir September nanti tidak berdasar. Sebab, keputusan itu semestinya berada pada ranah pemerintah. Jadi, dalam hal ini, Presiden menjadi pihak yang paling tepat untuk menyikapi polemik TWK KPK.
ADVERTISEMENT
Saat kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 lalu, Joko Widodo menuangkan ide dan gagasannya dalam dokumen Nawacita. Jelas sekali disebutkan pada poin 4 Nawacita bahwa Joko Widodo berjanji akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Maka dari itu, jika Presiden tidak bersikap untuk mengatasi gelombang pelemahan KPK, maka Ia telah mengingkari janjinya sendiri.
Pada tanggal 16 Agustus 2021, Komnas HAM telah memaparkan hasil pemantauannya terhadap proses asesmen TWK KPK. Dalam temuannya, Komnas HAM mengkonfirmasi adanya pelanggaran HAM saat KPK menyelenggarakan proses alih status kepegawaian. Dua di antaranya, pertanyaan bernuansa merendahkan martabat dan praktik stigmatisasi yang dialami oleh pegawai KPK.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, putusan MK terkait revisi UU KPK sudah menegaskan bahwa proses pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh merugikan hak-hak pegawai. Dengan diberhentikannya 56 pegawai, semakin jelas bahwa langkah Pimpinan KPK telah melenceng dan mengabaikan putusan MK. Untuk itu, Presiden harus mengoreksi kebijakan Pimpinan KPK tersebut dengan melantik 56 pegawai menjadi ASN.
Tepat satu pekan setelah Presiden bersikap, Pimpinan KPK memutuskan untuk memberhentikan 75 pegawai pada 25 Mei 2021 yang lalu. Sikap ini jelas merupakan pembangkangan Pimpinan KPK terhadap instruksi atau arahan Presiden tentang kelanjutan TWK KPK. Jika Presiden tidak segera bersikap, maka marwah Presiden telah runtuh karena instruksinya diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK.
ADVERTISEMENT
Presiden pasti memahami bahwa KPK kini berada pada ambang batas kehancuran. Terutama akibat tindakan Pimpinan KPK yang selalu menimbulkan kontroversi dan minim akan prestasi. Misalnya, kualitas penindakan yang buruk, pelanggaran etik, dan terakhir kontroversi penyelenggaraan TWK KPK. Sebagai pihak yang memilih Pimpinan KPK, Presiden punya tanggungjawab untuk mencegah praktik kesewenang-wenangan mereka.
Saat melaksanakan kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin berulang kali menyebutkan komitmennya untuk memberantas korupsi. Akan tetapi, komitmen itu tak pernah direalisasikan secara baik. Maka dari itu, untuk melaksanakan komitmen politik tersebut, Presiden harus mengeluarkan sikap atas polemik pemecatan 56 pegawai KPK.
ADVERTISEMENT
Pada pekan lalu Ombudsman RI (ORI) sudah menyerahkan rekomendasi kepada Presiden terkait dengan TWK KPK. ORI menegaskan adanya malaadministrasi dalam proses penyelenggaraan TWK di KPK. Atas dasar itu, rekomendasi ORI bermuara pada Presiden dan wajib dilaksanakan. Hal itu tertuang secara jelas dalam Pasal 38 ayat (1) UU ORI yang menyebutkan Terlapor (Pimpinan KPK) dan atasan Terlapor (Presiden) wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman.
Sebagaimana diketahui, polemik KPK bukan kali pertama terjadi. Jauh sebelum era ini memimpin, telah terjadi hal serupa. Namun, kala itu, Presiden turun tangan langsung untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Misalnya, kriminalisasi Pimpinan KPK (Chandra Hamzah dan Bibit Samad), tarik menarik pengusutan korupsi simulator SIM, dan kriminalisasi Novel Baswedan. Sehingga, berangkat atas fakta tersebut, Presiden Joko Widodo mesti mengambil tanggungjawab untuk menuntaskan permasalahan TWK KPK.
ADVERTISEMENT
Konstitusi telah meletakkan kewajiban dari pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Dengan logika yang sama, jika pemberantasan korupsi dikesampingkan oleh pemerintah, maka kewajiban pemerintah itu tidak akan pernah terealisasi. Saat ini, KPK sedang digempur dengan berbagai agenda pelemahan, satu di antaranya pemecatan 56 pegawai. Untuk itu, sebagaimana sumpah jabatannya, Presiden harus melaksanakan amanat konstitusi tersebut.
Pasal 28 huruf i ayat (4) UUD 1945 secara jelas menyebutkan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Atas dasar hal tersebut, lalu dikaitkan dengan kondisi pegawai KPK saat ini, mereka telah dilecehkan martabat dan dirampas hak asasi manusianya melalui TWK. Maka dari itu, Presiden punya kewajiban untuk melindungi mereka dari pemberhentian sepihak oleh Pimpinan KPK.
ADVERTISEMENT
Pasal 7 A UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden harus mengindari perbuatan tercela selama memimpin. Berangkat atas peraturan itu, maka setiap kewajiban yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan harus dijalani oleh Presiden, salah satunya adalah menjalani rekomendasi Ombudsman untuk melantik 56 pegawai KPK menjadi ASN.
KPK dimandatkan sebagai lembaga yang bisa menjalankan amanat utama reformasi, yaitu memastikan penyelenggaraan negara bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan adanya pelemahan melalui pemecatan 56 pegawai KPK, maka amanat reformasi itu akan semakin sulit untuk dijalankan. Maka dari itu, Presiden harus konsisten untuk berpegang teguh pada amanat reformasi.
ADVERTISEMENT
Sejak permasalahan TWK ini mencuat ke tengah masyarakat, setidaknya sudah ada sejumlah elemen organisasi yang menyatakan menolak pemecatan 56 pegawai KPK. Misalnya, puluhan guru besar antikorupsi, mahasiswa, organisasi keagamaan, dan jaringan masyarakat sipil. Selain itu, sudah banyak petisi dari masyarakat melalui kanal change.org yang juga menyuarakan hal sama. Satu di antaranya telah ditandatangani sejumlah 70.456 orang. Berangkat atas fakta itu, Presiden harus mendengarkan suara masyarakat untuk segera mengambil alih kekisruhan di tubuh KPK karena adanya TWK.
Melihat rekam jejak 56 pegawai KPK yang diberhentikan, sebagian besar di antaranya bekerja di ranah penindakan. Penyelidik dan Penyidik KPK tersebut diketahui sedang menangani perkara-perkara besar, di antaranya: suap pengadaan bantuan sosial Covid-19 dan suap ekspor benih lobster. Besar kemungkinan perkara besar itu akan terhambat karena adanya pemberhentian sejumlah Penyelidik dan Penyidik KPK. Atas dasar itu, untuk memastikan penegakan hukum, terlebih perkara yang menyentuh hajat hidup masyarakat, dapat berjalan lancar, Presiden harus mengambil sikap agar pemecatan pegawai KPK dihentikan.
ADVERTISEMENT
Terlihat jelas oleh masyarakat bahwa KPK enggan untuk menindaklanjuti temuan Ombudsman dan Komnas HAM terkait penyelenggaraan TWK KPK. Hal itu dibuktikan dengan kebijakan Pimpinan KPK yang mempercepat pemberhentian 56 pegawainya. Padahal, di sisi lain, Ombudsman dan Komnas HAM telah mengkonfirmasi adanya praktik malaadministrasi dan pelanggaran HAM saat menggelar TWK KPK. Ketidakpatuhan lembaga penegak hukum terhadap koreksi dari lembaga lain mesti dievaluasi oleh Presiden. Hal-hal semacam ini ke depan tidak bisa dibiarkan. Untuk itu, Presiden harus mengoreksi keputusan Pimpinan KPK yang sampai saat ini mendiamkan temuan Ombudsman dan Komnas HAM