20 Pembeli Unit Apartemen Antasari 45 Gugat UU Kepailitan ke MK

7 Oktober 2020 17:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi apartemen Foto: ANTARA FOTO/ Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi apartemen Foto: ANTARA FOTO/ Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
Sebanyak 20 pembeli unit apartemen Antasari 45 menggugat UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada Selasa (6/10).
ADVERTISEMENT
Mereka menggugat ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 yang berbunyi:
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Gugatan puluhan orang tersebut dilatarbelakangi kekecewaan terhadap pengembang apartemen Antasari 45, PT Prospek Duta Sukses (PDS). Mereka merasa ditipu pengembang lantaran unit apartemen yang dijanjikan sejak 2017 tak kunjung diserahkan. Padahal mereka mengaku telah membayar kepada developer.
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Janji serah terima unit apartemen oleh pengembang PT PDS yang sedianya dijanjikan pada 2017, kemudian terus menerus mengalami kemunduran hingga sampai akhirnya pengembang mengubah skema waktu serah terima sampai 2020," isi gugatan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Sejak dipasarkan pada 2014 hingga saat ini, telah ada sebanyak Rp 591 miliar uang pembeli yang telah disetorkan kepada pihak pengembang. Namun pembangunan fisik yang terlaksana baru berupa lahan parkir (basement) atau hanya sekitar 10 persen dari total keseluruhan progres pembangunan," lanjut isi gugatan.
Para pemohon kemudian dikejutkan dengan adanya permohonan PKPU terhadap PT PDS yang diajukan pemohon atas nama Eko Aji Saputra dengan jumlah piutang Rp 2 miliar. Permohonan tersebut pada akhirnya dikabulkan.
"Saat ini para pemohon semakin terpuruk dan dirugikan dengan telah dinyatakannya bahwa PT PDS (dalam keadaan pailit) berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 22 September 2020," tulis isi gugatan.
Alhasil, para pemohon merasa dirugikan lantaran posisi mereka semakin tidak jelas. Terlebih sesuai UU 37/2004 dan kenyataan di lapangan, para pemohon sebagai pembeli unit apartemen ditempatkan sebagai kreditur konkuren (tidak didahulukan) ketimbang kreditur preferen maupun kreditur separatis.
Ilustrasi apartemen Foto: Unsplash
"Dengan tidak dimasukkannya pembeli apartemen sebagai kreditur separatis, maka apabila terjadi pailit yang sedang dialami para kreditur apartemen Antasari 45, selain akan berpotensi kehilangan apartemen yang telah dibeli, juga akan kehilangan uang yang telah dibayar baik secara keseluruhan maupun sebagian, akibat perhitungan ganti kerugiannya tidak didahulukan atau tidak diposisikan sebagai kreditur separatis maupun preferen," jelas isi gugatan.
ADVERTISEMENT
"Selain itu juga akan mudah bagi developer maupun pengembang untuk mempermainkan posisi dan kedudukan pembeli unit apartemen dengan skenario pailit atau sengaja menggunakan kepailitan sebagai jalan untuk mengambil keuntungan dari pembayaran yang telah dibayarkan pembeli," lanjutnya.
Sehingga dalam gugatan tersebut, para pemohon meminta MK menyatakan pembeli unit apartemen sebagai pemegang hak agunan sebagaimana Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004. Tak hanya itu, para pemohon meminta ditetapkan sebagai kreditur separatis apabila pengembang dinyatakan pailit.
"Untuk melindungi pembeli dari segala kemungkinan developer atau pengembang tidak bertanggungjawab, sangat penting melindungi posisi konsumen dalam Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004, yakni dengan memasukkan konsumen sebagai pemegang hak agunan atas kebendaan lainnya," tulis gugatan.
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
"Hak pembeli apartemen tidak dapat dikalahkan oleh pihak lain sekali pun perusahaan pailit, karenanya konsumen apartemen tidak kehilangan haknya atas pembayaran yang telah dilakukan selama proses kepailitan terjadi. Untuk itulah Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 harusnya menempatkan konsumen adalah utang yang harus didahulukan pembayarannya," sambung isi gugatan.
ADVERTISEMENT
Atas pertimbangan tersebut, para pemohon meminta MK menyatakan frasa "hak agunan atas kebendaan lainnya" di Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "konsumen/pembeli apartemen/rumah susun sebagai kreditur separatis yang didahulukan pembayarannya daripada kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek,"
Selain itu, para pemohon meminta bunyi Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 dinyatakan sebagai berikut:
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, khusus konsumen/pembeli apartemen/rumah susun didahulukan pembayarannya daripada kreditur pemegang gadai, jaminan, fidusia, hak tanggungan, dan hipotek.
ADVERTISEMENT