3 Siswa SD di Tarakan Tak Naik Kelas 3 Tahun, Diduga karena Agama yang Dianut

21 November 2021 18:48 WIB
·
waktu baca 8 menit
Mendikbud Nadiem Makarim saat melakukan rapat kerja dengan Komisi X DPR RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mendikbud Nadiem Makarim saat melakukan rapat kerja dengan Komisi X DPR RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Mendikbudristek Dikti, Nadiem Makarim, menyampaikan pernyataan tentang 3 dosa besar di pendidikan yang ingin dihapus yaitu kekerasan, kekerasan seksual dan intoleransi.
ADVERTISEMENT
Keinginan KemendikbudRistek untuk menghapus 3 dosa besar bukan tanpa alasan kuat. Sebab faktanya banyak terjadi seperti di salah satu SD di Kota Tarakan di Kalimantan Utara. Diduga ada kasus intoleransi di sana.
Komisioner KPAI, Retno Listyarti, menyebut ada 3 kakak beradik beragama Saksi Yehuwa tidak naik kelas selama 3 tahun berturut-turut karena permasalahan nilai agama di rapot.
Mereka bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Ketiga adik kakak itu berinisial M (14) kelas 5 SD; Y (13) kelas 4 SD; dan YT (11) kelas 2 SD. Mereka tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019; 2019/2020 dan tahun ajaran 2020/2021.
“Orang tua korban membuat pengaduan ke KPAI dan atas pengaduan tersebut, KPAI segera melakukan koordinasi dengan Itjen KemendikbudRistek untuk pemantauan bersama ke Tarakan,” kata Retno Listyarti dalam keterangannya, Minggu (21/11).
ADVERTISEMENT
Alasan tidak naik kelas ketiga anak tersebut berbeda-beda setiap tahun. Mulai dari sekolah menolak memberikan pelajaran agama sampai anak diminta menyanyikan lagu rohani yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
Atas keputusan sekolah, orang tua anak korban melakukan perlawanan ke jalur hukum, mereka selalu menang di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pihak sekolah selalu punya cara setiap tahun untuk tidak menaikkan ketiga anak tersebut. Keputusan jalur hukum ditempuh orang tua korban karena jalur dialog dan mediasi menemui jalur buntu.
Komisioner KPAI, Retno Listyarti di SMPN 147 Ciracas. Foto: Reki Febrian/kumparan
Menurut Retno, psikologi 3 anak itu sudah sangat terpukul. Mulai kehilangan semangat belajar, merasa malu dengan teman-teman sebaya karena sudah tertinggal kelas selama 3 tahun berturut-turut bukan karena mereka tidak pandai akademik. Mereka tidak naik kelas karena perlakuan diskriminasi atas keyakinan yang mereka anut.
ADVERTISEMENT
“Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen KemendikbudRistek bahwa mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya," kata dia.
Retno yang menjadi penanggungjawab Tim Pemantauan Kasus Intoleransi di Tarakan atas penugasan Itjen KemendikbudRistek, memberikan kronologi dari kejadian tersebut.
Berikut rangkumannya:
Tinggal Kelas Kali Pertama (2018-2019): Dianggap Absen tanpa keterangan
Ketiga anak tidak naik kelas karena dianggap tidak hadir tanpa alasan selama lebih dari 3 bulan. Padahal, ketiga anak tersebut tidak hadir karena dikeluarkan dari sekolah dan baru dapat kembali setelah penetapan PTUN Samarinda.
Pada 15 Desember 2018. Keputusan sekolah secara resmi mengeluarkan ketiga anak dari sekolah. Sejak ini, ketiga anak tidak diperbolehkan ikut kegiatan belajar mengajar. Kemudian pada 16 April 2019, melalui penetapan PTUN Samarinda (putusan sela) ketiga anak dikembalikan ke sekolah, hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Pada kenaikan kelas tahun ajaran 2018-2019, anak-anak tinggal kelas.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada 8 Agustus 2019, Putusan PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah, karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinannya. Mengeluarkan anak-anak dari sekolah, menghukum mereka, menganggap pelaksanaan keyakinannya sebagai pelanggaran hukum adalah tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah. Juga merupakan bentuk intoleransi di lingkungan pendidikan. PTUN memutuskan mengembalikan anak ke sekolah.
“Meski hak-hak ketiga anak atas keyakinan beragama dan pendidikan dihormati dan diteguhkan di PTUN, sehingga mereka kembali ke sekolah, namun mereka diperlakukan secara tidak adil karena tidak naik kelas untuk alasan yang tidak sah," ungkap Retno.
Ruang kelas 1 SDN Bejen 1 Temanggung, tempat sekolah anak di Temanggung yang tewas karena diruwat. Foto: kumparan
Tinggal Kelas Kali Kedua (2019-2020): Tidak diberikan pelajaran Agama dan tidak punya nilai Agama
Sejak ketiga anak kembali ke sekolah melalui putusan PTUN Samarinda, ketiga anak dibiarkan tanpa akses pada kelas pendidikan Agama Kristen yang disediakan sekolah. AT (orang tua ketiga anak korban) telah berulangkali meminta agar anak-anak diberikan pelajaran Agama Kristen, agar bisa naik kelas, namun itu dipersulit dengan berbagai syarat yang tidak berdasar hukum. Keadaan mana terus dibiarkan oleh sekolah hingga akhir tahun ajaran, ketiga anak tidak naik kelas karena tidak punya nilai pelajaran Agama Kristen.
ADVERTISEMENT
“Selama tahun ajaran 2019-2020, Bapak AT terus berupaya meminta agar ketiga anaknya diberikan akses pendidikan Agama dari pihak sekolah. AT tidak pernah menolak kelas Agama Kristen tersebut, bahkan memintanya,” ujar Retno.
Retno menambahkan, Sekolah mensyaratkan agar Bapak AT mendapatkan rekomendasi dari Bimans Kristen Kota Tarakan agar dapat akses pada pelajaran Agama Kristen. Hal mana dilakukan oleh Bapak Tunbonat, hingga mendapatkan Surat Rekomendasi dari Kementerian Agama No.: B.017/KK.34.03/6/BA.03/01/2020 tanggal 3 Januari 2020.
Ibu DR yang merupakan Guru Pendidikan Jasmani dan Pembimbing Pendidikan Agama Kristen SDN 051, mengakui bahwa sejak awal tahun 2019, bapak AT sudah terus menemuinya untuk memohon agar ketiga anaknya dilibatkan dalam pelajaran Agama di sekolah, namun dirinya keberatan karena adanya perbedaan akidah dan ajaran antara keyakinannya dan agama ketiga anak sebagai Kristen Saksi-Saksi Yehuwa.
ADVERTISEMENT
Karena ketiadaan pelajaran Agama, Sidang Jemaat Kristen Saksi-Saksi Yehuwa Tarakan pernah mengeluarkan surat tertanggal 20 Juli 2021, yang menerangkan bahwa selama tahun ajaran 2019-2020, ketiga anak tersebut belajar Agama di tempat ibadahnya. Meskipun seharusnya itu bisa dipertimbangkan sebagai sumber pendidikan Agama dari Lembaga masyarakat (non-formal), namun sekolah mengabaikannya dan tetap memutuskan agar ketiga anak tidak naik kelas.
“Sekolah telah melanggar hukum dengan sama sekali tidak memberikan pelajaran Agama, menetapkan syarat-syarat yang tidak berdasar hukum, serta mempersoalkan keyakinan Agama dari ketiga anak”, ujar Retno.
Retno menambahkan, “Sekolah bukan hanya tidak mampu memberikan pendidikan Agama dari guru yang seagama bagi ketiga anak tersebut, sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundangan, namun dengan aktif menghalangi ketiga anak mendapatkannya.
ADVERTISEMENT
Pada kasus kedua ini, PTUN Samarinda memutuskan bahwa keputusan sekolah untuk membuat ketiga anak tidak naik kelas karena pelajaran Agama adalah keputusan yang keliru, dilatarbelakangi pada tindakan diskriminatif yang tidak menghormati hak ketiga anak atas keyakinan agama dan pendidikan yang berkelanjutan.
Atas keputusan PTUN tersebut, sekolah mengajukan banding atas putusan tersebut dan sekarang sedang dalam proses Kasasi. Meski tahun ajaran 2019-2020 berakhir, ketiga anak tersebut masih belum naik kelas.
Ilustrasi ajaran agama. Foto: Shutter Stock
Tinggal Kelas Kali Ketiga (2020-2021): Nilai Agama rendah/lagu rohani
Kali ini, meski telah diberikan pelajaran Agama (karena permohonan orang tua), ketiga anak diberikan nilai Agama yang rendah sehingga tidak naik kelas. Ketiga anak dipaksa menyanyikan lagu rohani, meskipun sang guru tahu bahwa itu tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan agamanya. Karena tidak dapat melakukannya, ketiga anak diberi nilai rendah dan tidak naik kelas lagi.
ADVERTISEMENT
Sejak awal tahun ajaran, ketiga anak masih tidak diberikan pelajaran Agama. Pada 17 Maret 2021. Surat permohonan orang tua agar diberikan pelajaran Agama Kristen oleh sekolah. Kemudian, pada 25 Maret 2021. Ketiga anak diizinkan ikut pelajaran Agama, yang diajar oleh Ibu Deborah.
Pada 6 Mei 2021. Permohonan orang tua untuk ujian susulan tengah semester 1 dan akhir semester 1. Hal ini dimohonkan karena anak-anak baru diberikan pelajaran Agama setelah semester 1 berlalu, sehingga perlu ujian susulan agar tidak ada alasan tidak naik kelas. Lalu, 21 Juni 2021. Setelah berbagai komunikasi, akhirnya ketiga anak diberikan ujian susulan.
Selanjutnya pada 24 Juni 2021. Ujian praktik pelajaran Agama, anak-anak diminta menyanyikan lagu rohani. Karena tidak sesuai dengan akidah agamanya, ketiga anak menawarkan lagu rohani lain, sesuai dengan Alkitab, namun ditolak. Komunikasi mengenai hal ini terus berlanjut melalui WA, hingga akhirnya mereka semua tidak naik kelas lagi.
ADVERTISEMENT
Akhirnya pada 31 Juli 2021. Rapot ketiga anak terbit. Mereka mendapatkan rapor, setelah berminggu-minggu tahun ajaran baru mulai dan ketiga anak tidak diperbolehkan masuk kelas. Ketiga anak kembali tidak naik kelas.
Kegiatan belajar mengajar dari ketiga anak tersebut, tugas yang mereka kerjakan, kelas yang mereka hadiri, semuanya sia-sia hanya karena mereka mempertahankan dan menjaga keyakinan agamanya mengenai lagu rohani. Di sisi lain, sekolah mengabaikan semua hal itu serta bahkan tidak mempertimbangkan sama sekali keyakinan Agama dan ibadah dari ketiga anak tersebut atas lagu rohani.
Berkaca dari kejadian itu, KPAI memberikan kesimpulan. Hasilnya sekolah di duga kuat melakukan pelanggaran atas sejumlah peraturan perundangan.
Berikut 5 temuan dari KPAI
Ilustrasi anak sekolah. Foto: Shutter Stock
Atas dasar dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut, maka Itjen KemendikbudRistek bersama KPAI akan melakukan pemantauan langsung ke Tarakan pada 22-26 November 2021.
ADVERTISEMENT
Tim Pemantauan akan bertemu dengan sejumlah pihak, mulai dari orang tua pengadu dan anak-anaknya, pihak sekolah, Dinas Pendidikan Kota Tarakan, Inspektorat Kota Tarakan dan LPMP Kalimantan Utara.
“Itjen KemendikbudRistek juga sudah mengajukan permohonan kepada Wali Kota Tarakan untuk difasilitasi rapat koordinasi sekaligus FGD dengan seluruh instansi terkait di Kantor Wali Kota, termasuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan rehabilitasi psikologis terhadap ke-3 anak korban,” pungkas Retno.