4 Poin Praperadilan Nurhadi Terhadap KPK

13 Januari 2020 14:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang Praperadilan Eks Sekretaris MA, Nurhadi, di PN Jaksel, Senin (13/1). Foto: Darin Atiandina/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Praperadilan Eks Sekretaris MA, Nurhadi, di PN Jaksel, Senin (13/1). Foto: Darin Atiandina/kumparan
ADVERTISEMENT
Sidang praperadilan yang diajukan eks Sekretaris MA, Nurhadi, digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (13/1). Sidang digelar dengan agenda membacakan permohonan dari penggugat. Sidang sebelumnya sempat ditunda pada 6 Januari karena pihak tergugat, KPK, tak hadir.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan ini, pemohon tak hanya Nurhadi. Pemohon lainnya yakni menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto. Ketiganya merupakan tersangka mafia peradilan di Mahkamah Agung.
Kuasa hukum Nurhadi dkk, Maqdir Ismail, membacakan satu per satu poin mengapa penetapan status tersangka terhadap kliennya tidak sah.
Pertama, berdasarkan penuturan Maqdir, Nurhadi tidak pernah mendapat panggilan dari KPK untuk mengonfirmasi tuduhan penerimaan suap. Maqdir mengatakan, KPK hanya meminta keterangan dari pihak pemberi suap, yakni Hiendra Soenjoto.
“Pemohon II (Nurhadi) tidak pernah dipanggil dan tidak pernah diminta memberikan keterangan atau konfirmasi oleh termohon sehubungan dengan dugaan penerimaan suap atau gratifikasi pemohon III (Hiendra),” kata Maqdir dalam persidangan di PN Jaksel, Senin (13/1).
Kuasa hukum eks Sekretaris MA Nurhadi, Maqdir Ismail, di PN Jaksel, Senin (13/1). Foto: Darin Atiandina/kumparan
“Namun demikian kemudian dengan begitu saja termohon telah memulai proses penyidikan atas tuduhan tindak pidana tersebut serta menetapkan sebagai tersangka,” kata Maqdir.
ADVERTISEMENT
Maqdir menilai seharusnya dalam kasus ini, KPK harusnya tidak hanya meminta keterangan dari pemberi suap saja. KPK juga harus meminta konfirmasi dari penerima suap.
Kedua, Maqdir menilai alat bukti yang digunakan KPK untuk menetapkan status Nurhadi sebagai tersangka tidak relevan. Namun, saat persidangan Maqdir tidak merinci alat bukti mana yang dimaksud.
“Alat bukti tidak hanya ditafsirkan secara kuantitatif 2 alat bukti atau lebih, melainkan juga harus dinilai secara kualitatif apakah alat-alat bukti tersebut memiliki relevansi dengan pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan,” kata Maqdir.
Ketiga, Maqdir mempermasalahkan status penyidik KPK yang menangani kasus Nurhadi. Sebab menurut Maqdir, penyidik tersebut bukan ASN. Padahal, kata Maqdir, berdasarkan UU KPK yang baru, penyidik harus berstatus sebagai ASN.
ADVERTISEMENT
“Proses penyidikan atas perkara dimaksud dijalankan oleh penyidik yang bernama Novel dan Rizka Anungnata. Keduanya adalah penyidik yang tidak berstatus ASN dan belum pernah diangkat sebagai ASN sejak berlakunya UU baru,” kata Maqdir.
Keempat, Maqdir juga mempermasalahkan status pimpinan KPK yang bukan lagi penyidik dalam UU yang baru. Sprindik Nurhadi tertanggal 6 Desember 2019 ditandatangani oleh Direktur Penyidikan R. Z. Panca Putra S. Tertulis juga dalam Sprindik itu:
"a.n. Pimpinan
Deputi Bidang Penindakan
u.b. Direktur Penyidikan,
Selaku Penyidik
R.Z. Panca Putra S"
"Bahwa hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pimpinan termohon seolah merasa bahwa dirinya masih memiliki status penyidik yang melekat dalam dalam jabatannya (atributif), padahal status itu telah dihapus oleh UU No.19/2019," kata Maqdir.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Maqdir juga menyinggung soal tiga dari lima pimpinan KPK yang mengembalikan mandat kepemimpinan di KPK kepada Presiden. Sprindik diteken ketika era KPK kepemimpinan Agus Rahardjo dkk. Tiga pimpinan yang mengembalikan mandat ialah Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang.
Menurut Maqdir, hal ini membuat penetapan Nurhadi tersangka adalah cacat hukum. “Keabsahan dari kedudukan pimpinan KPK, menurut UU itu mereka tidak punya kewenangan lagi untuk jadi penyidik maupun penuntut, sehingga ketika memerintahkan orang atau bawahannya untuk penyidikan atau penuntutan itu menjadi tidak sah lagi,” kata Maqdir.
Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya, bersama Rezky Herbiyanto dan Hiendra Soenjoto.
Eks sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi usai diperiksa KPK terkait kasus yang menjerat tersangka Eddy Sindoro, Selasa (6/11). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Nurhadi dijerat kasus suap dan gratifikasi. Untuk kasus suap, Nurhadi diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari Hiendra melalui menantunya, Rezky.
ADVERTISEMENT
Suap diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT. Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA.
Adapun dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu diduga untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.