5 Fakta 'Si Petarung' Artidjo Alkostar

1 Juni 2018 20:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Artidjo Alkostar (Foto: Satrio Rifqi Firmansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Artidjo Alkostar (Foto: Satrio Rifqi Firmansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Artidjo Alkostar tak lagi berkantor di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Artidjo, mulai Jumat, 1 Juni 2018, resmi pensiun.
ADVERTISEMENT
Usia senja yang memasuki 70 tahun pada 22 Mei lalu, membuatnya harus rela meninggalkan ruang kerja yang telah ia huni selama belasan tahun. Artidjo, pria kebanggaan Sumenep itu, telah menorehkan banyak pahala bagi dunia peradilan Indonesia.
Kekhawatiran masyarakat seketika bermunculan, bagaimana jika tak ada hakim setegas ia lagi?
Artidjo menepisnya. Dia menjamin MA akan lebih baik meski telah ia tinggalkan.
Berbicara Artidjo, berikut kumparan rangkum lima fakta seputar sosoknya.
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. (Foto:  Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
1. Nama aslinya Artidjo Alkautsar
Dalam buku Artidjo Alkostar: Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan, Artidjo menceritakan tentang asal-usul namanya. Berbekal dari analisis Prof. Rifyal Ka'bah saat masih menjabat Hakim Agung, Artidjo diambil dari nama 'Artijja'.
"Pak Artidjo ini nama aslinya Artijja, artinya tukang protes," begitu kata Artidjo.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, nama Alkostar sendiri, merupakan nama yang salah dilafalkan. Semestinya, Alkostar yang dimaksud adalah 'Alkautsar'. Namun, petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil salah menangkap lafal ayah Artidjo kala menyebutkan nama anaknya.
"Masyarakat Madura dialek bahasanya sangat khas. Waktu ayah saya mengucapkan nama saya Alkautsar, maka terdengar Alkostar. Lalu Petugas Catatan Sipil tersebut menuliskan nama saya menjadi Artidjo Alkostar, bukan Artidjo Alkautsar," kata dia.
Aktivitas Alrtidjo Alkostar (Foto: Dok. Artidjo Alkostar)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas Alrtidjo Alkostar (Foto: Dok. Artidjo Alkostar)
2. Menjadi petarung sejak kecil
Petarung yang dimaksud bukan sembarang tawuran atau sok-sokan jagoan. Keberaniannya sudah teruji saat Artidjo kecil berani untuk ikut karapan sapi atau mengikuti tradisi keket dan kokol (gulat). Jika kemarau datang, masyarakat Kumbangsari melakukan tradisi itu untuk meminta hujan.
Masyarakat membuat lingkaran, lalu, dua orang di dalam lingkaran itu, akan menjatuhkan lawan hingga jatuh terlentang. "Para petarung siap kalah dan siap menang secara ksatria. Yang kalah ada yang sampai keseleo atau patah tulang," tulis Artidjo dalam bukunya.
Aktivitas Alrtidjo Alkostar (Foto: Dok. Artidjo Alkostar)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas Alrtidjo Alkostar (Foto: Dok. Artidjo Alkostar)
3. Diancam dibunuh hingga disantet
ADVERTISEMENT
"Pengalaman-pengalaman itu membentuk kepribadian saya untuk tidak takut akan teror, ancaman, dan santet. Setelah mengaji, biasanya saya juga mengikuti pencak silat, baik dengan tangan kosong, pakai pisau, celurit, pedang dan sebagainya," kata Artidjo.
Semua pengalamannya itu ia tuangkan dalam bukunya. Saat ditemui kumparan di ruang kerjanya di lantai 8 Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (28/5), Artidjo kembali sedikit mengenang berbagai teror santet hingga dibunuh.
"Waktu saya jadi advokat dulu, waktu membela pembunuhan misterius, waktu teror, saya pernah mau dihabisi, dibunuh di Timor-timor. Waktu saya membela Santa Cruz," kenangnya.
Artidjo dan beberapa temannya mendapat ancaman pembunuhan dari seseorang yang seperti ninja. Bahkan Artidjo terancam terbunuh. Beruntung, ninja tersebut salah kamar sehingga nyawa Artidjo selamat.
Artidjo Alkosar. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Artidjo Alkosar. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
"Pernah mau dibunuh saya jam 12 malam. Tapi Allah melindungi saya, yang didatangi oleh ninja itu, tahulah di Timor Timor itu siapa ninja. Keliru. Bukan saya kebal, bukan. Tapi, dia keliru. Allah melindungi saya," tutur Artidjo.
ADVERTISEMENT
Artidjo juga pernah mendapat ancaman misterius saat membela korban kasus petrus --penembakan misterius-- di Yogyakarta. Akan tetapi, darah Madura yang mengalir di tubuhnya, membuat pria kelahiran Situbondo, 22 Mei 1948, itu tak mempedulikan ancaman itu.
"Saya pernah diancam 'Artidjo, kamu jangan sok pahlawan. Penembak misterius datang ke tempat tidur kamu' katanya. Tentu ini tidak saya hiraukan. Jadi, memang background saya tidak memungkinkan saya diancam. Sejak kecil saya sudah menjadi joki karapan sapi, berkelahi gulat, dan silat, sudah ada di sini semuanya," kata Artidjo seraya tertawa.
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. (Foto:  Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
4. Sering naik bajaj kala bekerja di MA
Dulu, sekitar tahun 2000, Artidjo diterima menjadi Hakim Agung. Saat itu, Artidjo mengontrak rumah di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat. Lantaran dekat dengan kantor, Artidjo sering ke MA dengan salah satu kendaraan umum khas ibu kota.
ADVERTISEMENT
"Dulu kan belum ada perubahan seperti sekarang. Di Kwitang itu kan dekat, ada bajaj, itu kan biasa saja," katanya.
Aktivitas Alrtidjo Alkostar (Foto: Dok. Artidjo Alkostar)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas Alrtidjo Alkostar (Foto: Dok. Artidjo Alkostar)
5. Tak pernah bermimpi menjadi hakim
Siapa sangka, algojo MA yang ditakuti para koruptor itu, tak pernah berkeinginan menjadi seorang hakim? Sejak dulu, Artidjo menyenangi dunia pertanian. Dia berharap bisa masuk ke Universitas Gadjah Mada dengan bidang favoritnya itu.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Pendaftaran sudah tutup. Temannya lalu menyarankannya untuk mendaftarkan diri ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Setahun berikutnya, Artidjo terlanjur nyaman dan jatuh cinta. Dia melupakan impian pertaniannya itu.
"Said itu, teman saya, dia dari FH UII, setelah saya titipkan lamaran saya itu, tapi nampaknya pendaftaran fakultas di Universitas Gadjah Mada itu sudah tutup. Lalu si Said bilang sama saya 'bagaimana kalau kamu sambil menunggu pendaftaran pertaniannya tahun depan, kamu masuk saja di FH UII dulu. Enggak apa-apa’' tuturnya.
ADVERTISEMENT