5 Tahun Lebih Berstatus Tersangka, RJ Lino Akhirnya Segera Disidang

3 Agustus 2021 19:03 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino (kanan) mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3).  Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino (kanan) mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
KPK akhirnya merampungkan berkas surat dakwaan mantan Dirut Pelindo II, RJ Lino. RJ Lino adalah tersangka perkara dugaan korupsi pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) pada 2010.
ADVERTISEMENT
RJ Lino menyandang status tersangka sejak Desember 2015. Kini, setelah lebih dari lima tahun berlalu, akhirnya ia akan menjalani sidang.
"Hari ini Jaksa KPK Meyer Volmar Simanjuntak telah melimpahkan berkas perkara terdakwa RJ Lino ke Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," kata plt juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (3/8).
Kini, penahanan RJ Lino sepenuhnya kewenangan Pengadilan Tipikor. RJ Lino masih ditahan di Rutan KPK Gedung Merah Putih.
"Tim JPU akan menunggu penetapan penunjukan Majelis Hakim yang nantinya memimpin persidangan dan juga penetapan hari sidang dengan agenda awal pembacaan surat dakwaan," kata Ali.
Adapun dalam dakwaannya, RJ Lino didakwa dengan pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
ADVERTISEMENT
RJ Lino sempat menggugat praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Namun, ia kalah dan penetapan tersangka serta penahanan terhadap dirinya oleh KPK adalah sah.
Tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino di KPK. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Dalam kasusnya, RJ Lino diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirut Pelindo II dengan menunjuk langsung perusahaan China, HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM), sebagai pelaksana proyek pengadaan QCC.
Proyek pengadaan itu bernilai sekitar Rp 100 miliar untuk pengadaan QCC di tiga lokasi, yakni Palembang, Pontianak, dan Lampung.
Namun berdasarkan hasil audit BPK, kerugian negara terkait pengadaan QCC hanya mencapai USD 22.828,94 atau bila dikonversikan senilai Rp 328 juta.
Meski demikian audit BPK tersebut cuma menghitung kerugian pemeliharaan 3 unit QCC, tidak termasuk biaya pembangunan dan pengiriman. Sebab hingga proses penghitungan rampung, BPK belum mendapatkan bukti harga yang dipatok HDHM terhadap 3 QCC tersebut.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, KPK mencoba cara lain menghitung kerugian negara dengan meminta bantuan ahli ITB. KPK meminta bantuan ahli ITB untuk menghitung berapa harga QCC tersebut, termasuk ongkos kirimnya dari China ke Indonesia.
Hasilnya menurut penghitungan ahli ITB, Harga Pokok Produksi (HPP) hanya sebesar USD 2.996.123 untuk QCC Palembang, USD 3.356.742 untuk QCC Panjang Lampung, dan USD 3.314.520 untuk QCC Pontianak.
Adapun nilai kontrak pengadaan 3 unit QCC antara Pelindo II dan HDHM mencapai USD 15.554.000. Sehingga bila dibandingkan, terdapat selisih USD 5.886.615 antara penghitungan ahli ITB dengan nilai kontrak Pelindo dengan HDHM. Adapun selisih tersebut jika dikonversikan mencapai Rp 84.784.915.845.
Kasus yang ditangani KPK ini disoroti oleh sejumlah pihak. Sebab, waktu penyidikan yang dilakukan KPK yang terbilang lama.
ADVERTISEMENT