news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

7 Catatan 100 Hari KPK: Gagal Tangkap Buronan hingga Tak Transparan Insiden PTIK

23 Maret 2020 22:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di halaman Gedung KPK Merah Putih di Jakarta, Rabu (18/3).  Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di halaman Gedung KPK Merah Putih di Jakarta, Rabu (18/3). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
ADVERTISEMENT
Pekan ini, tepatnya tanggal 29 Maret 2020, pimpinan KPK Jilid V genap menjalankan 100 hari kepemimpinannya. Indonesian Corruption Watch (ICW) pun memberikan catatan terkait dengan perjalanan 100 hari pimpinan KPK era Firli Bahuri dkk itu.
ADVERTISEMENT
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, kepemimpinan 100 hari di bawah Firli Bahuri KPK minim prestasi, tapi surplus kontroversi. Bahkan, sejumlah lembaga survei menyebut ada tren penurunan kepercayaan publik terhadap KPK.
"Alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi," kata Kurnia dalam keterangan yang diterima kumparan, Senin (23/3).
Terkait dengan itu, setidaknya ada tujuh poin catatan yang diberikan oleh ICW terhadap 100 hari kepemimpinan Firli Bahuri dkk. Apa saja?
Kurnia Ramadhan, peneliti ICW. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Pertama, Kurnia mengatakan, KPK gagal menangkap buronan. Saat ini KPK punya dua buron yakni eks caleg PDIP Harun Masiku dan eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
Selain itu sebenarnya ada dua buron lainnya yakni menantu Nurhadi, Riezky Herbiyono, dan pengusaha PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto.
ADVERTISEMENT
Padahal rekam jejak lembaga anti-rasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia.
Kedua, Kurnia mengatakan, Komisioner KPK tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.
Anggota ICW, Kurnia. Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan
Kurnia menyebut hingga saat ini tak ada satu pun komisioner KPK yang berikan informasi yang utuh dan jujur atas insiden di PTIK tersebut.
"Bahkan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK," kata Kurnia.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya. Kurnia mengatakan, bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika Penyidik KPK, Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas.
Padahal, kata Kurnia, yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku.
"Tak hanya itu, masa tugas Kompol Rossa pun baru berakhir pada September mendatang dan ia juga tidak pernah dijatuhi sanksi apa pun di KPK," ungkapnya.
Pimpinan KPK saat acara serah terima jabatan dan pisah sambut Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Keempat, komisioner KPK, kata Kurnia, berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari pada tersangka. Kurnia menyebut, alih-alih serius mencari buron, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku.
ADVERTISEMENT
Kurnia mengatakan, secara yuridis memang hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor. Akan tetapi jika dilihat lebih detail pada bagian penjelasan maka niat dari Komisioner KPK itu dianggap keliru.
Sebab, metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap.
Gedung Merah Putih KPK. Foto: Marcia Audita/kumparan
Kelima, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Kurnia membeberkan, data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga anti rasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang.
"Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindik-nya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs," kata dia.
ADVERTISEMENT
Keenam, Kurnia mengatakan bahwa ICW menilai komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independensi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara.
Kurnia membeberkan, tiga kunjungan diantaranya kunjungan ke DPR RI.
Gedung Merah Putih KPK. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
"Ini jelas menggambarkan bahwa para Komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan. Dalih sosialisasi pencegahan tidak dapat diterima dengan akal sehat karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan dan kebijakan-kebijakan teknisnya," ungkapnya.
Terkahir, komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Kurnia menganggap hal ini tak lazim dan belum pernah dilakukan oleh KPK.
Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan. Kurnia menyebut, dalam UU KPK, UU Tipikor, bahkan KUHAP, kata dia, tidak mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Kurnia menilai, faktor UU KPK baru pun secara langsung mempengaruhi ritme kerja KPK.
Ritme yang dimaksud oleh Kurnia mulai dari proses penindakan yang terlalu birokrasi karena adanya dewas, kelembagaan yang tidak lagi independen, sampai pada kekhawatiran perkara besar akan dihentikan melalui instrumen surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.
"Pada akhirnya akar persoalan pemberantasan korupsi saat ini ada pada komitmen Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI. Sebab bagaimanapun persoalan stagnasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi adalah produk politik eksekutif dan legislatif," pungkasnya.
--------
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!