Gejayan Memanggil

7 Tuntutan Mahasiswa di Balik Aksi Damai Gejayan

23 September 2019 11:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seruan poster #GejayanMemanggil Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Seruan poster #GejayanMemanggil Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Para mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak akan melakukan aksi damai di Jalan Gejayan, Sleman. Seruan untuk mengikuti aksi ini sudah ramai digaungkan sejak beberapa hari yang lalu.
ADVERTISEMENT
Tak hanya seruan langsung, di media sosial Twitter, ajakan untuk berpartisipasi di aksi itu juga marak. Tagar #GejayanMemanggil jadi trending topic pada Minggu (22/9). Hari ini, Senin (23/9), tagar #SaatnyaPeoplePower yang merujuk pada aksi damai di Gejayan juga trending topic.
Aksi ini diklaim akan sebesar aksi Gejayan pada 21 tahun yang lalu saat menggulingkan rezim Orde Baru. Satu korban tewas dalam aksi itu, yakni mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Moses Gatutkaca.
Apa sebenarnya yang membuat para mahasiswa Yogyakarta kembali bergerak serentak?
Dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/9), Aliansi Rakyat Bergerak menyebut, alasan mereka turun ke jalan adalah untuk menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan elit politik. Berikut penjelasannya.
RKUHP yang dianggap mengebiri demokrasi. Salah satunya, melalui pasal yang mengatur soal makar. RKUHP menjelma pasal karet yang jelas bisa digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi seluruh masyarakat sipil. Dengan demikian, masyarakat telah kehilangan ruang aspirasi.
ADVERTISEMENT
Pasal-pasal dalam RKUHP bahkan mengkriminalisasi berbagai bentuk perlakukan masyarakat atas nama zina, hukum yang berlaku di masyarakat (living law)— yang jelas berpotensi menjadi pasal karet. Bahkan mengkriminalisasi gelandangan dengan pidana denda satu juta rupiah. Pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, dimana fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh Negara.
Yang lebih problematis, edukasi terkait kesehatan reproduksi pun diberangus habis. Dalam pasal ini, semua orang, kecuali “petugas yang berwenang” dilarang untuk melakukan edukasi dan sosialisasi kesehatan reproduksi (terutama menggunakan kondom/pil). Bahkan kriminalisasi perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan dan memutuskan untuk aborsi.
Bahkan, dalam RKUHP, para pengguna narkoba turut dipidanakan. Padahal, dalam pendekatan hukum internasional pendekatan narkotika dilakukan terhadap kesehatan masyarakat, bukan melalui penyelesaian tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan resmi yang dilansir oleh KPK, disebutkan ada 10 isu dalam revisi ini yang sungguh melemahkan posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi, yakni:
1) Independensi KPK terancam yang akan terancam;
2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi;
3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; 4) Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi;
5) Penuntutan perkara korupsi harus melalui koordinasi dengan Kejaksaan Agung;
6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria;
7) Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas;
8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan;
9) KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan yang beresiko menciptakan potensi intervensi kasus menjadi rawan;
ADVERTISEMENT
10) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
ICW mencatat ada 91 kasus serangan fisik dan kriminalisasi yang dialami aktivis pegiat anti-korupsi sejak tahun 1996 hingga 2019 dengan korban sebanyak 115 orang. Sebagian besar dari total jumlah korban, mereka diteror dan diancam unutk dibunuh. Artinya, aparat dan preman sering terlibat pada kasus pembungkaman para aktivis anti-korupsi dan aktivis demokrasi.
Revisi KPK dibahas tanpa melakukan audiensi dan pelibatan dengan publik terkait dengan revisi UU KPK, bahkan KPK sendiri pun tidak dilibatkan dalam Revisi UU KPK ini. Hal ini jelas membuat kita bertanya-tanya, ada kepentingan busuk apa yang menyelubung di balik revisi kejar tayang ini?
ADVERTISEMENT
Pembukaan lahan dengan cara membakar ditengarai menjadi muasal asap yang mengepung kota. Titik panas, berdasar pantauan satelit Resource Watch, hanya berada di hutan-hutan pinggiran lahan sawit. Sementara tanaman lain, tentu saja termasuk sawit, tidak terbakar. Kemungkinan besar, lahan-lahan itu ditujukan untuk sawit atau tanaman penghasil lain.
Dampak dari Karhutla sejelas gajah di pelupuk mata. Banyak nyawa meninggal, 6000 orang terkena inspeksi pernapasan (ispa), dan pandangan yang kabur. Jika nyatanya negara dan korporat adalah aktor di balik semua ini, lantas ke mana masyarakat menaruh harapan untuk udara yang jernih?
Dalam RUU Ketenagakerjaan, pemerintah jelas tidak memperhatikan kesejahteraan buruh. RUU Ketenagakerjaan yang dirancang demi pasar tenaga kerja yang lebih kompetitif, secara langsung memeras keringat buruh. Terkait pesangon misalnya, masa kerja minimal yang lebih panjang yakni 9 tahun, jika hal tersebut diakomodasi dalam UU, maka gelombang PHK akan terjadi di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Selain itu usulan pengusaha untuk merevisi batas waktu kenaikan upah minimum jadi dua tahun sekali jelas tidak memerhatikan kesejahteraan buruh. Ditambah lagi, usulan pengusaha untuk merevisi ketentuan kontrak
kerja dari 3 tahun menjadi 5 tahun semakin memberatkan buruh dengan segala ketidakpastiannya. Di titik ini, RUU Ketenagakerjaan jelas tidak berpihak pada buruh, pemerintah seakan abai dan tidak peduli kesejahteraan buruh.
RUU Pertanahan berpotensi menghidupkan kembali Domein Verklaring, praktik politik agraria era kolonial. Pada masa kolonial, Domein Verklaring dipandang merugikan rakyat sebab pemerintah kolonial dapat menguruk keuntungan sebesar-besarnya dengan cara memindahkan hak eigendom rakyat kepada pihak yang meminta disertai pembayaran, singkatnya; pemilik modal.
Tanah-tanah adat juga terancam sebab inventarisasi hak adat yang bersifat pasif. Hal ini diperparah pula oleh ancaman kriminalisasi, 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar, bagi orang/kelompok yang mempertahankan tanah dari penggusuran.
ADVERTISEMENT
RUU Pertanahan juga dipenuhi pengecualian. Misalnya, Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah diberikan selama 35 tahun, bisa diperpanjang dua kali hingga total 90 tahun. Perpanjangan HGU ini melanggar aturan di pasal sebelumnya, yang mana tertulis hanya dapat diberikan sekali.
Pengecualian itu, yang diberikan setelah pertimbangan umur tanaman, skala investasi, dan daya tarik investasi, rawan oleh pemanfaatan kepentingan orang/kelompok, tanpa peduli penentu keputusan ini di hari depan.
Tidak ada lagi semangat Reforma Agraria, salah satu tuntutan reformasi dua dekade lalu. RUU Pertanahan hanya membuka lahan bagi oligarki.
Ruang lingkup pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu mengakomodasi berbagai peraturan mengenai penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan, hingga penindakan pelaku.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut penting dilakukan demi menciptakan ruang aman demi penyintas kekerasan seksual, alih-alih menghubungkannya dengan argumen-argumen soal zina dan segala hal berbau moralis yang justru malah memperkosa para korban dan penyintas kekerasan seksual untuk kedua kalinya. Sebab, acap kali, kekerasan seksual dibicarakan di ranah privat, sehingga dianggap tak perlu diselesaikan di publik karena memalukan, dan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang moralis.
Dengan demikian, untuk sebuah masalah yang merongrong banyak pihak, gerakan massa menjadi corong perlawanan. Dalam keadaan genting, aksi massa adalah jalan satu-satunya yang membentuk kesadaran waras rakyat untuk bergerak demi hak, keberpihakan kepada rakyat dan menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan elit politik.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten