Adu Jargon Politik Kandidat Pilpres Dinilai Tak Penting

15 November 2018 15:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi (kiri) dan Prabowo (kanan) bergandengan usai menandatangani deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi (kiri) dan Prabowo (kanan) bergandengan usai menandatangani deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menyesalkan penggunaan jargon politik oleh masing-masing kandidat Pilpres 2019. Menurut dia, istilah sontoloyo, genderuwo, hingga tempe setipis ATM tidak memberikan pendidikan politik yang baik di masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Yang menarik, kemarin dalam proses political delegation dimunculkan jargon-jargon politisi sontoloyo, genderuwo, tampang Boyolali, itu lebih tepat istilah jargon politik atau dalam bidang saya, political rhetoric," kata Hamdi di Kantor Populi Center, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (15/11).
Ia mencontohkan, saat ini di kalangan mahasiswa sudah mulai enggan mengikuti adu jargon politik yang kerap disuarakan kedua kubu. Sebab, menurutnya, para mahasiswa telah kehilangan gairah untuk mempelajari politik saat ini.
"Ini banyak jargon-jargon enggak penting. Ini masa kampanye, mari kita delegetimasi, beritakan dalam konteks adu program supaya publik enggak kehilangan minat. Ini perang jargon enggak penting, tidak ada substansinya," jelasnya.
Hamdi mengakui, dalam ilmu politik, adu jajrgon memang menjadi salah satu bagian strategi marketing untuk masing-masing calon. Penggunaan jargon ini bisanya ditujukan untuk menarik perhatian publik.
ADVERTISEMENT
"Kadang-kadang retorik sengaja diciptakan sedemikaian rupa untuk menarik perhatian, mata publik tertuju ke dia. Karena dalam teori marketing politik, ada tahapan yang harus Anda lewati, tahapan populer," ungkap Hamdi.
"Dugaan saya, ini bisa jadi juga di jargon (tempe) setipis ATM. Sandi kan awareness-nya belum setinggi Jokowi dan Prabowo, jadi dibuat jargon," imbuhnya.
Sedangkan, istilah politikus sontoloyo dan genderuwo yang dilontarkan oleh kubu Jokowi, menurut Hamdi bukan ditujukan untuk mencari awareness publik. Jargon tersebut dilontarkan sebagai bentuk pertahanan diri karena kerap diserang kubu oposisi.
"Kalau untuk Jokowi, mungkin bukan buat awareness, ini bentuk curhat, warning dia. Dia hanya ingin memberikan warning," pungkasnya.