Ahli Ekonomi: Food Estate di Tangan Prabowo Militeristik-Tak Libatkan Petani

25 November 2023 16:44 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menhan Prabowo Subianto meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalteng. Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menhan Prabowo Subianto meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalteng. Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pakar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Didin S. Damanhuri menegaskan food estate sebagai proyek strategis nasional era Jokowi yang diserahkan pada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto cenderung militeristik, pelaksanaannya bersifat pemaksaan mirip tanam paksa zaman Belanda.
ADVERTISEMENT
“Food Estate era Jokowi ini diserahkan kepada Menteri Pertahanan Prabowo sehingga warna militerisme pertanian terjadi. Dalam pelaksanaannya bersifat pemaksaan mirip tanam paksa zaman Belanda. Begitupun dalam penyelesaian konflik agraria tidak dengan cara-cara demokratis, tapi cenderung mengedepankan penggunaan aparat atau koersif,” ujarnya, Sabtu (25/11/2023).
Didin mengatakan, sebenarnya Food Estate merupakan skenario G20 untuk menghadapi krisis pangan dunia. Indonesia kebagian untuk membangun Food Estate tersebut berbasis korporasi dan tidak melibatkan petani dalam proses pelaksanaannya.
“Hal ini berdampak kepada nasib petani serta lingkungan ekologis yang rusak serta makin memperburuk konflik agraria. Petani tidak dilibatkan dalam membangun food estate tersebut, padahal mereka itulah menjadi tulang punggung produksi nasional padi dan pangan lainnya termasuk tercapainya swasembada di era Orba (1980-90) maupun sempat dicapai saat era reformasi, meski tidak panjang waktunya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Profesor Dr. Didin S. Damanhuri, Guru Besar Ekonomi IPB Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Sementara, lanjutnya, food estate mengandalkan korporasi besar dengan bentangan lahan yang sangat luas. Itu terjadi di era Susilo Bambang Yudhoyono di Papua maupun Era Jokowi di Kalimantan tengah dan Sumatera Utara.
“Hal itu berdampak pada kerusakan lingkungan, karena dalam lahan yang sangat luas itu bersifat monokultur dan umumnya melibatkan tanah gambut. Juga berdampak makin menambah parahnya konflik agraria, karena banyak mengambil tanah-tanah adat atas nama Proyek Strategis Nasional,” kata Didin.
Hasilnya pun, lanjutnya, Food Estate ini sangat jauh dari tercapainya swasembada pangan.
“Buktinya impor pangan jalan terus. Harusnya swasembada pangan melibatkan petani dengan konsolidasi lahan dan dibangun cooperative farming dan jumlah penyuluh yang memadai,” tandasnya.
(LAN)