news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ahli Farmasi UGM Optimistis Molnupiravir Bisa Jadi Alternatif Obat COVID-19

4 Oktober 2021 16:16 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi obat COVID-19. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi obat COVID-19. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Para ahli kesehatan maupun farmasi terus berupaya menciptakan obat-obatan yang dapat menyembuhkan pasien COVID-19. Setelah hampir 2 tahun pandemi ini, muncul obat corona yang punya potensi besar mengurangi risiko kematian akibat corona, yakni Molnupiravir.
ADVERTISEMENT
Obat oral antivirus ini tergolong obat-obatan baru. Saat ini, industri farmasi yang mengembangkannya, Merck, tengah mengajukan izin penggunaan obat darurat (EUA) di Amerika Serikat.
Sebelumnya, Merck telah merilis interim analysis pada pada Jumat (1/1) lalu atau semacam analisis di pertengahan uji klinis fase III yang menunjukkan hasil cukup baik.
Molnupiravir diklaim mampu mencegah perburukan gejala yang menimbulkan risiko perawatan rumah sakit hingga kematian mencapai 50 persen.

Kata Guru Besar Fakultas Farmasi UGM soal Molnupiravir

Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati, mengatakan obat Molnupiravir ini bisa jadi alternatif obat antivirus COVID-19. Saat ini, memang terdapat antivirus lain yang sudah digunakan seperti Remdesivir dan juga Favipiravir. Namun, Zullies menyebut Molnupiravir hampir serupa dengan Favipiravir dari segi pemberiannya.
ADVERTISEMENT
"Secara keseluruhan sama Remdesivir jelas beda cara pemberian. Remdesivir intravena, disuntik, itu yang di rumah sakit. Sedangkan Favipiravir hampir sama. Makanya kalau saya optimistis ini bisa jadi alternatif. Karena dari segi mekanismenya sama. Mekanismenya pada enzim RNA polimerasi itu sama kayak Favipiravir," kata Zullies kepada kumparan, Senin (4/10).
Dia juga mengatakan bahwa hasil uji klinis tersebut dapat dikatakan cukup menjanjikan. Namun ada baiknya menunggu sampai proses benar-benar selesai dan datanya segera dipublikasikan secara ilmiah.
"Saya bilang obat ini dari hasilnya cukup promising ya. Tapi ini belum selesai karena uji klinisnya harusnya bulan November selesai. Tapi dari interim analysis sementara itu target mereka 1.850 orang. Mereka 750-an itu mereka analisis dulu monitoring boardnya. Hasilnya yang bagus itu," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. apt. Zullies Ikawati. Foto: Dok. IDI
Masyarakat tak perlu cepat euforia
Semua pihak tentu tengah menanti obat yang mampu mengurangi risiko terburuk dari infeksi COVID-19 ini. Akan tetapi, ia meminta masyarakat terus bersabar setelah obat ini disebut ampuh mengurangi separuh risiko kematian dan rawat inap akibat virus COVID-19.
"Nah itu sebetulnya Molnupiravir ini awal tahun sudah ada muncul sudah ada viral ada video-video [yang menyebutkan] bye-bye covid. Itu sudah hoaks ya. Dalam hal obat itu ada, real, cuma ketika dikemas seperti itu jadi hoaks seolah sudah 100 persen lah. Uji klinis aja belum selesai. Kita enggak masalah tapi kita tunggu dara objektifnya. tunggu dari institusi resmi," ucap Zullies.
"Masyarakat jadi bingung juga, kan, pada euforia obat baru tapi kan belum valid. Sekarang ramai lagi, cuma ketika saya lihat ini datanya sudah banyak. Sekarang sudah mendekati final, jumlah subjek sudah banyak. Itu sudah lebih menyakinkan dari sebelumnya," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Hasil sementara uji klinis
Uji klinis Molnupiravir ini melibatkan 775 relawan usia dewasa dengan COVID-19 ringan hingga sedang. Semua relawan di uji klinis ini setidaknya memiliki komorbid seperti obesitas, diabetes, atau penyakit jantung. Seluruhnya mengkonsumsi Molnupiravir selama 5 hari sebanyak 2 kali sehari di rumah.
"Hasilnya, 7,3% yang dirawat sedangkan yang obat kosong 14%, artinya separuhnya ya. Makanya efikasinya bisa sampe 50% menekan kematian atau mencegah orang jadi berat COVID-nya,"jelas Zullies.
Sebelumya, uji klinis juga dilakukan kepada pasien yang dirawat di RS. Artinya, pasien tersebut bergejala berat ke atas. Hanya saja uji klinis dihentikan lantaran tak menimbulkan efek yang cukup signifikan.
Pengujian yang menunjukkan hasil baik tersebut didapat dari para pasien yang bergejala ringan-sedang dan belum di rawat di rumah sakit. Sehingga, obat ini dinilai mampu mengurangi perburukan gejala pada pasien agar tak sampai dirawat inap.
ADVERTISEMENT