Ahli Nurhadi Nilai KPK Keliru Sebut Tersangka Hiendra Soenjoto Kabur

15 Januari 2020 20:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gugatan praperadilan eks sekretaris MA Nurhadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Foto:  Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gugatan praperadilan eks sekretaris MA Nurhadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi bersama dua tersangka kasus mafia peradilan, mengajukan 2 ahli dalam sidang gugatan praperadilan terhadap KPK. Dua tersangka itu ialah menantu Nurhadi, Rezky Herbiyanto dan Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto.
ADVERTISEMENT
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir, menjadi salah satu ahli yang diajukan Nurhadi dkk dalam persidangan.
Dalam sidang itu, Muzakir menjelaskan mengenai kekeliruan KPK saat menyebut Hiendra melarikan diri selama proses hukum berlangsung.
Sebab sebelumnya KPK menyebut Hiendra kabur sejak 12 Desember 2019 ketika penyidik menggeledah rumahnya. Bahkan KPK menyebut Hiendra selalu mangkir dari 4 panggilan penyidik, yakni 3 kali sebagai saksi dan 1 kali sebagai tersangka.
Namun Muzakir berpandangan, Hiendra tak bisa disebut melarikan diri hanya karena tidak memenuhi panggilan KPK.
"Kalau orang tersangka dipanggil berulang kali (tetapi mangkir) apakah bisa dikatakan melarikan diri? tidak bisa," ujar Muzakir dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/1).
Tersangka penyuap eks Sekretaris MA Nurhadi, Hiendra Soenjoto. Foto: Facebook/ @Hiendra Soenjoto
Menurut Muzakir, seharusnya KPK terlebih dahulu mencari keberadaan Hiendra sebelum menyimpulkan melarikan diri.
ADVERTISEMENT
"Begitu dia melarikan diri kan dicari. Di situ kalau tidak ketemu ya sudah selesai. Tapi kalau tidak ketemu, setelah itu barulah tidak ketemu itu DPO. Yang enggak ketemu itu enggak bisa disebut melarikan diri," ucapnya.
Muzakir pun menganggap KPK zalim jika telah menyimpulkan Hiendra kabur tanpa mencari terlebih dahulu. Sebab seorang tersangka yang mangkir dari panggilan penyidik belum bisa dianggap melarikan diri.
"Jadi kalau dia dicari-cari tapi tidak datang, tapi tiba-tiba dia dikatakan melarikan diri itu kan kezaliman," kata Muzakir.
"Terkait dengan panggilan tadi dikatakan tidak hadir terus disimpulkan 'oh dia melarikan diri', kan tidak bisa juga. Karena apa? karena kalau tidak hadir berarti dicari dong. Istilah bahasanya diupayakan di pengadilan atau di ruang pemeriksaan. Jadi kalau misalnya tiba-tiba ketemu, ya sudah selesai," jelasnya menambahkan.
ADVERTISEMENT
Muzakir juga menyoroti Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018. SEMA itu mengatur larangan tersangka yang melarikan diri atau dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) untuk mengajukan praperadilan. Muzakir menilai SEMA itu tak menjunjung keadilan.
Eks sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi usai diperiksa KPK terkait kasus yang menjerat tersangka Eddy Sindoro, Selasa (6/11). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
"Hak untuk praperadilan ditujukan untuk yang dirugikan oleh penegak hukum. Menurut ahli ini tidak bisa dilarang, larangan ini sudah negatif. Mengapa menggunakan larangan? padahal level hak bersumber undang-undang, harusnya larangan itu bersumber undang-undang, bukan terhadap surat," ujarnya.
Dalam kasusnya di KPK, Nurhadi diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari Hiendra Soenjoto melalui Rezky Herbiyono. Suap itu diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT yang berperkara di MA.
Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA. Namun diminta kembali oleh Hiendra karena perkaranya kalah dalam persidangan.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.