Ahli: Sprindik Imam Nahrawi Tetap Sah Meski UU KPK Baru Sudah Berlaku

7 November 2019 14:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi bersiap menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (15/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi bersiap menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (15/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Sidang gugatan praperadilan yang diajukan eks Menpora, Imam Nahrawi, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (7/11). Sidang kali ini beragendakan pemeriksaan ahli dari KPK selaku termohon.
ADVERTISEMENT
Kuasa hukum KPK mengajukan satu orang ahli hukum dan tata negara dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Arif Setiawan.
Sidang Praperadilan Eks Menpora Imam Nahrawi di PN Jaksel, Kamis (7/11). Foto: Darin Atiandina/kumparan
Dalam persidangan, ahli ditanya soal sah atau tidaknya surat perintah penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan KPK sebelum UU KPK baru berlaku pada 17 Oktober 2019.
Arif menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya, Sprindik yang diterbitkan KPK sebelum berlakunya UU KPK yang baru tetap sah.
"Maka dengan berlakunya UU baru ini yang penyidikan belum selesai itu (juga berlaku) UU baru, tetapi ahli melihat (UU baru berlaku) itu ke depan, kalau dia sudah berjalan misal (sudah dikeluarkan) Sprindik, Sprindiknya sudah ada, kalau Sprindiknya sudah dikeluarkan ya sudah masih berlaku," kata Arif di PN Jaksel, Kamis (7/11).
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi resmi mengenakan rompi KPK usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Menurut Arif, proses hukum yang sudah dilakukan KPK sebelum UU baru berlaku tetap sah. Namun proses hukum yang dilakukan setelah UU baru berlaku, harus mengikuti aturan baru tersebut.
ADVERTISEMENT
"Misalnya ketentuannya ketika penyidik akan melakukan menyita, maka di situ lah ada UU baru penyitaan yang dilakukan penyidik terlebih dahulu harus minta izin dewan pengawas. Kalau penyitaannya belum dilakukan," tutur Arif.
"Tapi, kalau dilakukan sebelum UU itu berlaku sudah menyita, tidak perlu kemudian minta izin," sambungnya.
Selain itu, kuasa hukum KPK juga menanyakan pendapat ahli terkait wewenang pimpinan KPK apabila telah menyampaikan penyerahan mandat kepemimpinan kepada presiden.
Menurut Arif, pimpinan KPK hanya bisa diberhentikan oleh pihak yang mengangkatnya, yakni Presiden.
“Sepanjang sepengetahuan ahli mengenai hal itu, harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum administrasi. Kalau pengangkatan seseorang berdasarkan keputusan presiden, maka pemberhentiannya pun perlu berdasarkan dasar hukum yang sama,” jawab Arif.
“Maka ketika seorang pejabat mengajukan permohonan pengunduran diri atau menyerahkan jabatan maka itu hanya bisa berlaku sesudah diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat,” tutur Arif.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, menurut Arif, pimpinan KPK baru bisa dinyatakan berhenti dari jabatannya ketika Presiden mengeluarkan Keppres untuk memberhentikan. Selama Keppres belum diberhentikan, wewenang pimpinan KPK masih melekat pada pejabat yang bersangkutan.
“Kalau ada seperti itu harus menunggu jawaban keputusan dari presiden, kalau keputusan presiden belum turun dianggap kewenangan-kewenangan masih melekat pada pejabat tersebut,” kata Arif.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi bersiap menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Diketahui dalam kasusnya, Imam ditetapkan tersangka bersama asisten pribadinya bernama Miftahul Ulum. KPK menduga keduanya terlibat dalam kasus dugaan suap terkait penyaluran dana hibah dari Kemenpora kepada KONI.
Selain itu, keduanya juga diduga menerima sejumlah uang terkait jabatan Imam sebagai Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan jabatan selaku Menpora. Total uang yang diduga diterima keduanya mencapai Rp 26,5 miliar.
ADVERTISEMENT