Ahli Wabah: Aturan Dine In 60 Menit Jangan Digeneralisasi, Lihat Positivity Rate

7 September 2021 14:45 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana restoran dine-in Hangry the Alley Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Suasana restoran dine-in Hangry the Alley Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aturan dine-in atau makan di tempat selama masa PPKM Level di Jawa dan Bali berubah. Jika sebelumnya pengunjung hanya diperbolehkan makan di tempat selama 20 menit, maka kini aturan tersebut telah diubah menjadi maksimal 60 menit.
ADVERTISEMENT
Dalam keterangan pers virtual pada Senin (6/9), Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan penyesuaian waktu baru tersebut. Tak hannya itu, restoran, termasuk warteg, dibuka dengan kapasitas 50% pengunjung.
Menyikapi aturan makan di tempat dengan waktu 60 menit tersebut, epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, mengatakan bahwa pelonggaran kegiatan masyarakat di tempat tertutup seperti restoran ini perlu memperhatikan laju penyebaran maupun positivity rate di wilayah tersebut.
"Makan di resto itu tentu dipengaruhi oleh peluang apa pun yang indoor, mau di sekolah, nonton bioskop, cafe, restoran, termasuk perjalanan ya. Ya, itu dipengaruhi oleh laju penyebaran atau prevalensi, atau tes positivity rate di tempat yang kalau mau aman ya harus di bawah 5%," kata Dicky kepada kumparan, Selasa (7/9).
ADVERTISEMENT
Sampai dengan saat ini, baru DKI Jakarta yang memiliki positivity rate atau rasio kasus positif dengan jumlah orang yang dites mencapai 5%. Dalam sepekan terakhir, positivity rate Jakarta bahkan telah berada di angka 3,2%. Sedangkan daerah lainnya masih cenderung berada di atas 5% bahkan 10%.
Untuk itu, Dicky mengatakan bahwa aturan makan di tempat ini tidak bisa digeneralisasi di seluruh wilayah Jawa dan Bali.
"Jadi kalau untuk Jakarta, bisa dalam kategori itu. Tapi Bodebeknya belum, menurut saya. Apalagi di luar Jakarta yang positivity ratenya jauh di atas 10%. Dan untuk itulah, ini enggak bisa digeneralisasi," ungkapnya.
Di sisi lain, masyarakat juga harus punya pemahaman dan juga penerapan yang lebih baik terhadap protokol kesehatan. Sehingga, berapa lama aturan yang ditetapkan juga perlu adanya evaluasi secara berkala untuk melihat sejauh mana aturan ini berdampak pada laju peningkatan kasus COVID-19 maupun tingkat kepatuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Nah selain itu, selain positivity rate itu laju kasus harian, kematian, beban di faskes dan bagaimana masyarakat memahami penerapan gaya hidup baru. Dalam hal ini 5M, disiplin, sudah paham tidak. Kalau tidak, mau sebagus apa pun prokesnya, kan enggak bisa ditaati ya percuma," tambahnya.
"Jadi penerapan seperti ini mau itu dine-in berapa lama, itu harus ada uji coba untuk melihat juga, harus ada evaluasi, monitoring dan ketika setelah 2 minggu ini masyarakat bisa ini, baru Indonesia bisa sedikit-dikit," tutup Dicky.