Ahli Wabah: Data Kematian untuk Indikator PPKM Diperbaiki, Sepekan Dipakai Lagi

13 Agustus 2021 15:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 mengusung jenazah pasien corona di TPU Desa Bakalankrapyak, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (27/5/2021). Foto: Yusuf Nugroho/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 mengusung jenazah pasien corona di TPU Desa Bakalankrapyak, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (27/5/2021). Foto: Yusuf Nugroho/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Ahli Wabah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, angkat bicara meluruskan polemik angka kematian yang dihapus dari indikator penanganan COVID-19 oleh pemerintah. Ia menerangkan bahwa indikator tersebut hanya dihapus sementara karena masalah data, namun tak selamanya.
ADVERTISEMENT
“Saya juga kaget [dengar kabar] indikator kematian dihapus. Jadi saya coba komunikasi ke teman-temen pejabat di Kemenkes dan Kemenkomarves. [Perubahan ] ini apa? Dari situ saya mempelajari. Jadi bukan dihapus, ya indikator itu. Yang betul tidak dipakai untuk menilai PPKM saat ini,” kata Iwan dalam Live Corona Update ‘Siapkah Kita Hidup Bersama Corona?' bersama kumparan, Jumat (13/8).
“Karena ada masalah data kematian terlambat dilaporkan, jadi seolah tinggi. Atau terlambat sehingga angka kematiannya renda. Membingungkan. Sehingga tidak dipakai dulu untuk penilaian level PPKM saat ini, tapi setelah itu akan dipakai lagi. Enggak dihapus selamanya,” imbuh dia.
Lebih lanjut, Iwan mengakui bahwa pendataan adalah salah satu kelemahan Indonesia dalam penanganan pandemi COVID-19. Oleh sebab itu, ini salah satunya berdampak pada data angka kematian.
ADVERTISEMENT
“Jadi memang salah satu kelemahan kita dalam penanganan pandemi ini data kita. Kita akui itu, memang data kita ada masalah. Nah, jadi kalau yang saya dapat dari hasil diskusi, banyak data kematian yang terlambat dilaporkan sehingga akhir-akhir ini seolah naik. Padahal karena laporannya rapel,” terang dia.
“Di sisi lain ada kematian yang belum dilaporkan sehingga seolah kabupaten itu bagus. Itu yang sedang diperbaiki oleh Kemenkes supaya mendekati real time, sehingga apa yang dilaporkan itu kurang lebih [memag terjadinya] sekarang,” imbuhnya.
Petugas yang mengenakan APD memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Tegal Alur, Jakarta, Selasa (29/12). Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
Menurut Iwan, alasan tersebut dapat diterima. Namun ia menegaskan masalah data kematian ini tentu harus segera diselesaikan.
“Kalau [alasannya] itu, oke. Karena toh masih ada indikator level PPKM lain, akan tercermin juga. Tapi [data kematian] ini harus diperbaiki, 1-2 minggu kemudian dipakai lagi,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Luhut mengatakan terdapat 26 kabupaten/kota yang berhasil turun dari PPKM Level 4 ke Level 3. Kondisi ini berarti ada perbaikan situasi pandemi virus corona usai penerapan PPKM Level sebulan terakhir.
Meski ada sejumlah daerah yang mengalami perbaikan situasi, dalam beberapa hari terakhir angka kematian akibat COVID-19 tercatat masih di atas 1.000 orang per hari. Padahal, angka kasus konfirmasi di Jawa dan Bali mengalami penurunan yang cukup signifikan di mayoritas provinsi, salah satunya di DKI Jakarta.
Hal itu, kata Luhut, diakibatkan oleh adanya kesalahan pada saat memasukkan data kematian. Sehingga keputusan selanjutnya yakni meniadakan angka kematian dari indikator penanganan COVID-19.
"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," kata Luhut dalam konferensi pers virtual, Senin (9/8) malam, saat mengumumkan perpanjangan PPKM Level Jawa-Bali hingga 16 Agustus 2021.
ADVERTISEMENT