Ahli Wabah UI: Indikator Penanganan Pandemi Wamenkes Tak Bisa Dipakai

28 Mei 2021 10:32 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wamenkes dr Dante Saksono Harbuwono memebrikan keterangan pers pada kedatangan vaksin corona Sinovac tahap ketujuh, di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Kamis (25/3). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Wamenkes dr Dante Saksono Harbuwono memebrikan keterangan pers pada kedatangan vaksin corona Sinovac tahap ketujuh, di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Kamis (25/3). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Ahli Wabah UI Pandu Riono mengkritik Wamenkes Dante Saksono Harbuwono karena menyampaikan indikator penanganan pandemi di RI yang tidak bisa dipakai di rapat DPR. Menurutnya, indikator yang dipaparkan Dante tak cocok untuk menentukan penanganan pandemi per provinsi dan tidak bisa dijadikan bahan evaluasi.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, Pandu pun menilai Dante tidak memahami apa yang dipresentasikan.
"Wamenkes mempresentasikan di forum DPR, tapi dr Dante tidak memahami bahan presentasinya, ibarat 'talking without speaking'," tulis Pandu di akun Twitternya @drpriono1 yang dikutip kumparan, Jumat (28/5).
Sebelumnya, Dante mengungkap Provinsi DKI Jakarta mendapat nilai E dalam kualitas penanganan COVID-19. Hal ini diukur dari kapasitas Bed Occupancy Rate (BOR) di Jakarta yang terus meningkat dan tindak lanjut tracing kasus COVID-19 yang kurang baik.
"Berdasarkan rekomendasi tersebut maka kami perlihatkan bahwa masih banyak daerah yang maih dalam kondisi terkendali. Kecuali DKI, ini kapasitasanya E. Karena di DKI BOR-nya sudah mulai meningkat dan kasus tracingnya tidak terlalu baik," jelas Dante dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi X DPR, Kamis (27/5).
ADVERTISEMENT
Menurut indikator penanganan yang dipaparkan Dante, nilai kualitas penanganan pandemi berkisar dari yang paling baik yakni A, hingga yang paling buruk yakni E. Pententuan level tersebut diberikan menurut kapasitas respons apabila transmisi komunitas tercatat tinggi di sebuah daerah.
Respons yang dimaksud adalah pemberlakuan 3T yakni testing, tracking, dan tracing. Transmisi komunitas COVID-19 di Jakarta tercatat berada di level 4 atau sangat tinggi, namun 3T atau respon yang diberikan terbatas.
Selain itu, BOR di DKI Jakarta juga cenderung naik dalam beberapa waktu terakhir. Jakarta menjadi satu-satunya provinsi yang mendapat nilai E.
Masyarakat menggunakan masker saat berjalan melintasi terowongan Kendal, Jakarta, Selasa (26/1). Foto: Wahyu Putro A/Antara Foto
Artinya, Jakarta adalah provinsi dengan penanganan terburuk di Indonesia. Sementara provinsi lainnya didominasi C dan D.
Meski begitu, Pandu mengkritik indikator tersebut tak bisa digunakan sebagai evaluasi karena merupakan adopsi pedoman WHO untuk melonggarkan PSBB.
ADVERTISEMENT
"Yang dibuat oleh @KemenkesRI itu tidak bisa dipakai karena adopsi pedoman @WHOIndonesia yg dipakai untuk melonggarkan PSBB atau lockdown. @BudiGSadikin," jelas Pandu.
Ia pun membagikan indikator pantau pandemi atau indikator evaluasi yang dikembangkan Pemda DKI. Alat evaluasi tersebut lebih mendetail, yakni berisi indikator epidemiologi, kesehatan publik, dan fasilitas kesehatan.
Indikator epidemiologi di antaranya tren kasus, positivity rate, dan kematian. Indikator kesehatan publik seperti tren tes PCR dan tingkat perilaku memakai masker, sedangkan indikator fasilitas kesehatan di antaranya jumlah kecukupan ventilator dan APD.
"Ini alat evaluasi untuk "self evaluation for improvement" yang sudah dikembangkan setahun yang lalu. Pemda bisa memperkuat respon," pungkasnya.