Ahli Wabah UI: Rapid Test Enggak Ada Gunanya, Rakyat Sudah Termehek-mehek

9 Juli 2020 15:11 WIB
comment
36
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua petugas medis memeriksa hasil dari sejumlah alat test rapid test COVID-19 di kawasan Pasar Seruni di Jalan Panglima Aim, Pontianak, Kalimantan Barat. Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
zoom-in-whitePerbesar
Dua petugas medis memeriksa hasil dari sejumlah alat test rapid test COVID-19 di kawasan Pasar Seruni di Jalan Panglima Aim, Pontianak, Kalimantan Barat. Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
ADVERTISEMENT
Sekali lagi ahli wabah (epidemiolog) Universitas Indonesia Pandu Riono mengkritik masih diterapkannya rapid test di tengah pandemi corona. Menurut dia, rapid test tidak ada gunanya untuk menekan pandemi.
ADVERTISEMENT
"Rapid test itu enggak ada gunanya. Jadi menurut serologi saja bisa, tapi untuk deteksi orang yang bawa virus enggak ada gunanya," kata Pandu di Jakarta, Kamis (9/7).
Menurut Pandu, rapid test hanya akal-akalan pemerintah. Meski harga sudah dibatasi paling mahal Rp 150 ribu, tapi fakta di lapangan berbeda.
"Orang itu ngakal-ngakalin, tesnya Rp 150 ribu, pelayanannya Rp 50 ribu, suratnya Rp 50 ribu. Jadi akhirnya Rp 300 ribu lebih," tutur Pandu.
Apalagi, lanjut Pandu, hasil rapid test dijadikan syarat untuk bepergian menggunakan transportasi umum. Anggapan adanya komersialisasi makin kuat.
Dokter Pandu Riono, Dosen Epidemiolog UI. Foto: Dok. Pandu Riono
"Dan memang diregulasi untuk terbang, untuk ini untuk itu, bahkan untuk ujian seleksi masuk (PTN) pakai itu, itu kan pemerintah mengharapkan rapid test itu dikomersialisasikan," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Regulasi yang bikin siapa? Pemerintah. Yang membatasi harganya, pemerintah. Rakyat kan sudah termehek-mehek," sambung Pandu.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya mengalihkan anggaran rapid test untuk swab test melalui pemeriksaan PCR. Untuk itu sekali lagi ia mengimbau pemerintah menghapus rapid test.
Sebab, banyak sekali ditemukan hasil rapid test palsu. Disebut nonreaktif padahal positif, itu karena rapid test tak mendeteksi virus secara langsung melainkan melalui antibodi.
"Kalau itu ada dana yang digunakan pemerintah buat beli (rapid test kit) mereka juga rugi karena enggak ada gunanya untuk pandemi. Tapi kalau ada yang jualan gimana coba?" ungkap master Biostatistik dari Universitas Pittsburg, AS, ini.
"Ada 165 jenis rapid test. Dari awal pandemi BUMN memasukkan rapid test, buat apa? (Kami) Sudah mengingatkan, kita tak butuh rapid test, butuhnya PCR," tegas Pandu.
ADVERTISEMENT